Chapter 23

207 16 7
                                    

Matahari meninggi. Bukan lagi matahari pagi, melainkan matahari siang yang berada tepat di atas kepala manusia. Gadis itu. Gadis yang masih terlelap dalam mimpinya. Perlahan mulai membuka mata cantiknya. Mengernyit bingung, Lolita usap risi matanya yang gatal khas orang bangun tidur. Merasakan sinar hangat mentari siang yang menyelinap masuk melalui celah-celah gorden. Mulut kecil itu menguap lebar. Lolita meregangkan otot-otot tangannya diikuti dengan tungkai kakinya yang mengejan. Bingung. Kalut. Takut. Lolita tidak pandai mencerna semuanya. Otaknya belum bisa berkompromi meski telah tertidur hampir semalaman. Bergerak bebas. Lolita melenguh panjang saat merasakan sakit pada area kewanitaannya.

"Hiic, sakitt."

Tidak ada seorang pun yang dapat mengerti rasa sakitnya sekarang. Tidak ada seorang pun yang dapat mendengar raungan gilanya saat ini. Wajah lonjong itu. Mata bulatnya yang terpejam nyeri, hanya mampu menghimpit kewanitaannya rapat-rapat demi mengurangi rasa sakit yang dia alami saat ini. Hingga bibir mungil yang biasanya hanya tersenyum. Kini terpaksa harus menjerit ngilu akibat rasa sakit yang dia rasakan.

"HIKS! Mama!"  Terkejut. Seorang wanita paruh baya yang sudah cukup renta, berlari tergesa ke dalam kamar. Meraih pundak ringkih gadis itu, lalu mengguncang-guncangkannya kasar.

"Nyonya! Di mana yang sakit?"

"Hiks. Sakit." Tidak dapat mengekspresikan reaksi emosionalnya dengan kata-kata. Lolita hanya terus meraung sambil mengeluh sakit. Maret tekuk alisnya ringan. Bingung bagaimana menyimpulkan kaca matanya saat ini. Seorang Frederick Nasution melakukan tindakan asusila? Sulit untuk dipercaya. Tapi itulah yang ia lihat sekarang. Setidaknya sampai gadis itu menyebutkan satu kalimat yang membuat Maret menahan napas.

"Tempat pipis aku sakit, Om."

"Astaga. Bapak yang melakukannya?" Desis Maret cukup kencang. Lolita tidak paham maksud perkataan wanita itu. Dan siapa 'Bapak' yang di maksud Maret. Tapi ia hanya mengangguk sambil lanjut berkata,

"Om Beckh sentuh aku di sini tadi malam."

"Dia nggak suka lihat aku ngompol." Dalam diamnya Lolita menangis pilu. Ia meraih pergelangan tangan kiri Maret. Menatapnya sendu sambil memasang wajah memelas dengan mata yang berkaca-kaca.

Mematung di tempatnya. Maret membeku kaku dalam keheningan. Seperti orang yang terserang serangan jantung. Dadanya bergemuruh dan hatinya merasa 'cekitan' kecil di dalam sana. Sang oligark Indonesia. Entrepreneur kelas kakap negeri ini. Melakukan sebuah pelecehan seksual pada sesosok wanita—yang siapa pun dapat melihat jika ada hal 'tidak biasa' dalam diri wanita itu.

"Berapa usia kamu?" Gemetar. Lolita mulai tenang dan menarik genggaman tangannya pada pergelangan tangan kiri Maret. Ia memilah-milah kata yang baik yang ingin ia ucapkan.

"Dua puluh dua." Cicit Lolita tersenyum malu. Ia tersipu, menyembunyikan wajahnya di balik lutut yang menekuk. Dada Maret meluruh. Hatinya membiru melihat tatapan 'sakit' itu. Tega sekali Frederick Nasution melakukan tindak asusila pada wanita cacat mental seperti itu? Media bisa heboh jika publik tahu apa yang dilakukan majikannya.

"Sakit." Cicit Lolita lagi. Seperti mengadu dengan tatapan selugu anak kucing. Maret menahan tangisnya yang ingin pecah.

"I, iya. Saya segera kembali, Nyonya." Lolita mengangguk lembut. Meremas kedua seprai di masing-masing sisi tubuhnya. Ia hanya terdiam patuh saat melihat Maret beranjak keluar dari dalam kamar.

* * * * *

"Saya rindu Amalia." Ucap Soraya sembari berdiri di sisi makam kecil anaknya.

Lolita's : Nothing is PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang