Jalan terjal mereka lewati, penuh rintangan dan suka duka.
Jalan terjal mereka lewati, terjerembab ke dalam lautan.
Jalan terjal mereka lewati, tak ada tempat kembali.
Anette house" Tuan putri, apakah tidak apa-apa kita membiarkan kak Gilbert seperti itu?" Tanya Jeannete prihatin.
Dia kali ini berada di belakang tuan putri Athanasia. Alasannya, karna tuan putri ingin teman bicara. Alasan aslinya, karna dia tidak ingin Jeannete menjadi gila dengan segala macam tingkah diluar nalar Gilbert.
" Sudahlah Jeane, biarkan saja dia dengan habitatnya. Dia terlihat bahagia."
Athanasia tersenyum pada sepupunya. Dia harus tetap waras diantara orang nekat dan orang polos, agar salah satu dari mereka tidak melakukan hal-hal menakjubkan lainnya. Athanasia pernah mendengar kutipan ini di dunia modern. Orang nekat itu menyerempet gila dan orang polos menyerempet bodoh. Jadi, harus diawasi.
Dia sudah dari tadi melihat kakak tirinya, dalam dunia ini membawakan syair tidak jelas. Baik itu setelah melewati pintu, menyusuri jalan setapak di hutan tandus, melewati petak demi petak bukit kecil, dan mereka sampai di pesisir pantai.
Syair tersebut selalu memiliki ujung kutipan yang sama. Dengan nama Rumah Anette. Seperti kaset rusak yang tak bisa berhenti berputar, dia melantunkan syair tersebut meski kadang beberapa bait melupakan kalimatnya.
Athanasia tidak mengerti. Apa hubungannya tempat ini dengan batu bintang jatuh dan benua Utara? Dia mungkin sedikit memahami niat Gilbert di pemukiman kumuh, apa yang ingin ia tunjukkan, dan apa yang ia cari.
Tetapi tempat ini hanya memperlihatkan pemandangan alam sepanjang perjalanan. Dan semakin indah tempat yang mereka lalui, semakin membuat Athanasia yakin, apa yang ingin ia tunjukkan. Bisa jadi, ini bahkan lebih mengerikan daripada wilayah kumuh Duchy Helion.
Ia jadi mengingat realitas kehidupannya di dunia modern. Entah karna lingkungan istana, kasih sayang dari Lily dan Felix, perhatian dari semua orang, dan sikapnya yang menjadi kekanak-kanakan, membuat instingnya menurun.
Dia lebih kagum dengan insting bertahan hidup Gilbert. Dia tidak bisa membayangkan sudah berapa bahaya dan malaikat maut yang ia temui.
Mengayuh sepedanya, dia bisa melihat jalan buntu. Mungkin ini adalah ujung tempat yang mereka datangi. Tapi ia salah.
Di ujung pantai ada jalan bercabang yang mengarah ke sebuah tebing yang menjorok ke lautan. Tebing itu memiliki bangunan seperti kastil dengan warna hitam. Baik atap, dinding, maupun pagar di sekitarnya.
Gilbert berhenti, mengerem sepedanya dan memarkirkan sepeda itu. Ia turun dan mulai meletakkan kubus kecil di sekitar tempat itu. Pada sepedanya, dan pada liontin yang dipakaikan masing-masing di leher Athanasia dan Jeannete.
" Ini untuk jaga-jaga. Tempat ini memiliki roh yang mudah marah. Kalian harus tetap hati-hati, aku hanya ingin mengambil dokumen lainnya di tempat ini. Tuan putri dan lady Jean amda bisa di luar demi keselamatan."
Jeanette menelan ludah melihat jalan setapak yang hanya cukup dilalui oleh satu sepeda. Dia tidak bisa membayangkan mereka tergelincir dan langsung terjun ke lautan lepas. Rumput-rumput di ujung tempat ini tumbuh dengan lebat, berwarna hijau tua dan memiliki tinggi diatas mata kaki.
Kastil itu berdiri dengan kokoh dibawah langit mendung. Petir datang menjerit di atas kastil. Gilbert perlahan melepas kontak mata miliknya, kemudian dia mengambil sebuah lentera dari sakunya dan mulai mengendarai sepeda.
" Kami akan ikut!"
Jeanette bersyukur bahwa tuan putri akan tinggal bersamanya di sini. Katakanlah, dia penakut dan cengeng. Tidak seperti tuan putri Athanasia yang pemberani. Tapi mendengar ucapan tuan putri, itu adalah suatu kesempatan. Baginya untuk menjadi orang yang berani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Im I Prince?
FanfictionTeresa, bertransmigrasi di tubuh seorang bocah laki-laki anak dari bangsawan yang memimpin kota kecil, baroness Stevia. Dia memasuki tubuh seorang bocah laki-laki dengan rambut pirang keemasan dan mata biru permata yang kalau dilihat-lihat, mirip de...