BAB 3. RUMAH BARU PAPA

21 0 0
                                    

Saking lelahnya Nayla menangis, akhirnya ia tertidur di mobil dengan mata sembab. Perjalanan menuju rumah baru sudah hampir sampai. Laju mobil pun menjadi melambat saat masuk di kawasan elit di kota Surabaya.

Pak Udin sopir pribadinya menghentikan mobil sedan hitam yang dikemudikannya di depan bangunan megah berlantai dua. Danu tersenyum puas atas apa yang telah ia lakukan malam ini. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Nayla masih meringkuk dalam tidur lelapnya.

"Nayla, bangun! Kita sudah sampai. Nayla!!" Suara Danu mengagetkan Putri semata wayangnya itu.

Nayla terpaksa membuka kedua matanya yang masih ngantuk. Ia tak langsung keluar dari mobil. Pandangannya memindai sekeliling yang masih asing baginya.

'Dimanakah ini?' bisiknya dalam hati.

Gadis kecil ini nampak bingung dengan pemandangan di hadapannya sekarang. Ia masih duduk di mobil, belum beranjak dari sana hingga suara Danu mengejutkannya sekali lagi.

"Cepat turun, Nayla! Apa kamu mau di mobil selamanya, hah?" Bentak Danu dengan suara lantang.

Nayla terjingkat dan buru-buru menurunkan kakinya satu-persatu dengan ragu-ragu. Akhirnya ia keluar dari mobil masih dengan ekspresi bingung.

"Sini Nayla. Ayo ikut masuk ke rumah baru Papa! Kamu pasti suka dengan kamar mu yang luas dan indah."

Tangan Nayla di gandeng Danu dengan erat. Namun Nayla masih saja bingung atas apa yang terjadi pada dirinya saat ini.

"Benarkah ini rumah Papa?" Tiba-tiba suara Nayla menyibak kesunyian malam itu.

"Iya, Sayang. Ini rumah baru Papa. Kamu suka kan?" Jawab Danu bangga dan terus melanjutkan langkahnya yang mulai menapaki tangga rumah mewah bernuansa warna putih itu.

Rumah baru Danu sangat jauh berbeda dengan rumah sederhana yang biasa ditinggali Nayla bersama Ranti, mama kandungnya. Seperti bumi dan langit.

Rumah Ranti hanya beralaskan ubin hitam yang sudah usang dengan ukuran dinding yang sudah mengelupas tembok apalagi catnya. Ukurannya juga sangat kecil, hanya ada satu kamar dan ruang tamu, dapur kecil serta kamar mandi yang seadanya.

Sedangkan bangunan putih yang kini akan ditinggali Nayla, beralaskan marmer mengkilat dengan tembok tinggi nan kokoh. Terdapat kolam renang yang ada di samping bangunan serta taman yang dipenuhi berbagai bunga-bunga indah berwarna-warni.

Setelah memasuki bangunan megah dengan beberapa langkah, Danu melepas pegangan tangannya pada Nayla. Lalu ia menunjukkan tangga yang menghubungkan antara lantai dasar dan lantai dua rumahnya.

"Nah... itu tangga menuju kamar pribadimu, Nayla. Kamu boleh naik ke sana. Kamar mu terletak paling ujung dekat dengan ruang keluarga. Kamu berani kan naik sendiri? Papa mau beres-beres barang yang masih ada di mobil."

"I... iya, Pa." Jawab Nayla singkat.

Dengan sangat hati-hati ia mulai melangkahkan kakinya menapaki tangga yang dilapisi karpet warna merah membuat makin mewah dan elegant.

Tapi tetap saja gadis kecil ini nampak bengong dengan situasi di sekitarnya. Akhirnya ia sampai pada bangunan lantai dua. Di sana terdapat tiga kamar yang berjajar dengan ukuran yang berbeda.

Satu diantaranya berukuran paling luas dibanding dua kamar yang lain.

'Apakah ini kamar ku seperti yang di maksud Papa tadi?' Pikir Nayla, sambil melangkah menuju kamar paling ujung sesuai petunjuk Danu.

Namun belum sampai membuka pintu kamar di depannya, ia dikejutkan dengan suara sapaan wanita di belakangnya.

"Apakah ini Non Nayla? Selamat datang di rumah ini." Ucap seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan tersemat senyum di sudut bibirnya.

Nayla kaget mendengar suara itu, spontan kepalanya menoleh ke belakang karena penasaran.

"Iya, saya Nayla." Jawab gadis kecil itu dengan wajah bingung.

"Saya Bik Ina. Saya yang bersih-bersih rumah dan memasak setiap harinya. Kalau ada apa-apa, silahkan Non Nayla panggil Bik Ina saja ya!" Ucapnya ramah.

"Iya, Bik Ina. Terima kasih." Ucap Nayla sambil memberi senyuman manisnya.

................


Malam semakin larut, kedua mata Ranti tak bisa terpejam. Ia terus saja membayangkan wajah mungil putri kesayangannya dengan mata sembab karena hampir berjam-jam menangis di kamarnya.

"Kamu sedang apa sekarang, Nak. Semoga Nayla baik-baik saja ya, Sayang. Memang benar apa yang dikatakan Papa mu. Lebih baik Nayla ikut dengannya. Karena kehidupan Nayla akan lebih terjamin dan nggak sengsara lagi seperti akhir-akhir ini bersama mama. Biarlah mama mu ini melanjutkan akhir hidupnya sendiri. Mama rela Sayang, asal kamu bahagia bersama Papa." Ranti bermonolog sambil sesekali menyeka air mata yang lagi-lagi menetes membasahi kedua pipinya yang semakin keriput karena di gerogoti kanker ganas pada tubuhnya.

Ranti tak lagi bisa mengobati penyakitnya saat ini, karena tabungan dan warisan peninggalan orang tuanya sudah habis untuk mengobati kanker yang tak bisa dikendalikan lagi. Hari-harinya dihabiskan dengan melakukan kegiatan di dalam rumahnya sekuat tenaganya yang tersisa.

Makan dan minum kadang di bantu tetangga sebelah yang sangat prihatin atas nasibnya. Untunglah masih ada orang-orang baik yang mau mengulurkan tangan padanya.

Seperti pagi ini, Ranti tak bisa melakukan apa-apa lagi. Ia merintih kesakitan di bilik kamarnya yang sedikit berantakan karena beberapa hari tak dirapikan. Bukan karena ia malas melakukannya, melainkan tubuh lemahnya dan rasa sakit yang mendera tubuhnya membuat ia tak berdaya melakukan apapun sendiri.

"Selamat pagi, Ranti." Sapa Mak Entin tetangga sebelah yang sudah berumur namun masih sehat dan bugar.

"Selamat pagi, Mak." Jawab Ranti yang duduk bersandar di ranjangnya yang sempit.

"ini aku bawakan nasi hangat, sayur sop serta ayam goreng buat sarapan. Ada juga teh hangat biar tenggorokan mu seger ya, Ranti." Ucap Mak Entin sambil meletakkan rantang plastik di atas meja kecil di sudut kamar.

"Makasih, Mak. Aku jadi nggak enak, sering merepotkan Mak Entin seperti ini." Ucap Ranti lirih.

"Nggak apa-apa, Ranti. Emak nggak ngerasa repot kok. Ayo makan dulu, mumpung masih hangat."

Lalu Ranti menepikan badannya dan duduk di tepi ranjang. Mak Entin mengambilkan rantang yang berisi makanan yang disebutkan tadi.

Sesuap demi suap, Ranti menikmati sarapan pagi itu dengan pelan. Hingga ia menghabiskan separuh dari nasi yang diambilkan Mak Entin padanya.

"Kamu sudah kenyang ya, Ranti? Ini sekarang minum teh hangatnya!" Mak Entin mengambilkan teh hangat yang ada dalam termos kecil, lalu ia tuangkan ke dalam gelas.

Lalu Ranti meraihnya dengan rasa haru. Karena ia nggak nyangka dipertemukan dengan orang baik seperti Mak Entin.

"Dari tadi aku nggak lihat Nayla? Hari minggu biasanya Nayla di rumah kan? Masak sih minggu-minggu tetap sekolah.

Dengan tatapan sayu, Ranti menjawab ketidak beradaannya Nayla saat ini. " Semalam Nayla di bawa dengan paksa oleh mantan suami ku. Karena ia yang memenangkan hak asuh atas anak ku itu."

"Oo... jadi mulai semalam, kamu sendiri di rumah ini, Ranti?"

"Iya, Mak. Biarlah anak ku ikut papanya. Biar punya masa depan yang lebih baik" Jawab Ranti dengan senyuman penuh harap.

******

BERSAMBUNG

KEPALSUAN MAMA TIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang