BAB 4. PERKENALAN DENGAN MAMA TIRI

36 0 0
                                    

Dengan ragu Nayla mulai memegang gagang pintu kamar di depannya.

"Sini bik Ina bantu. Non Nayla takut ya? Jangan takut, rumah ini milik papa Non Nayla. Silahkan istirahat sebentar, nanti kalau makanan sudah siap, bik Ina akan ke sini lagi, Non."

Ucap bik Ina sambil merapikan baju kebaya yang menjadi pakaian kesukaannya. Bawahan jarik parang khas perempuan Jawa. Usia bik Ina sekitar empat puluh tahun. Ia mengabdi pada Pak Danu sekitar tiga bulan lalu, sejak papa Nayla itu pindah ke rumah mewahnya di kawasan elit.

Lalu bik Ina membalikkan badan, gegas melangkah menuju dapur yang ada di lantai satu. Wanita ini harus segera menyiapkan makan malam untuk semua penghuni rumah itu.

Sementara Nayla gadis kecil yang masih lugu itu segera duduk di tepi ranjang medium size yang sekarang menjadi kamar pribadinya. Ia memindai setiap sudut ruangan yang nampak rapi dan sedap di pandang. Nayla tersenyum sejenak menatap sekelilingnya, tapi tiba-tiba ia menjadi murung dan sedih, saat mengingat mamanya yang tinggal sendiri di rumah sederhana itu.

"Mama... andai mama ikut pulang ke rumah ini. Pasti Nayla senang sekali. Kita bisa saling canda, bercerita dan mama akan selalu memeluk ku saat tidur. Nayla kangen mama, hik... hik." Nayla bermonolog sambil menatap pemandangan di balik jendela kamarnya. Tangisnya kembali pecah, setiap kali membayangkan wajah Ranti mamanya yang semakin hari semakin keriput dan tak berdaya.

"Mama sekarang pasti kesepian. Nggak ada lagi yang menemani. Kalau mama sendirian dan sakit, siapa yang merawatnya? Kalau mama nggak bisa kemana-mana karena sakit, siapa yang membelikan makanan?? Oh... mama, aku ingin kembali pulang ke rumah mama. Rumah ini memang besar, Ma. Tapi aku lebih senang bersama mama, hik...hik...hik."

Lalu Nayla mencari ponselnya yang tersimpan di dalam tas ranselnya. Ia ingin segera mendengar suara mamanya. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan pada wanita yang sangat ia cintai itu.

Namun, keinginannya tidak terpenuhi. Karena sudah beberapa kali ia hubungi, tak ada jawaban sama sekali.

"Mama, angkat Ma. Nayla kangen. Kenapa nggak mau angkat telpon dari ku, Ma."

Nayla nampak sangat sedih, harapannya pupus sudah. Kini ia memilih merebahkan tubuh kecilnya di atas kasur yang sangat empuk, beda jauh dengan kasur yang ada di rumah mamanya.

Tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk

TOK TOK TOK

"Non, waktunya makan malam. Buka pintunya, Non. Silahkan makan malam dulu."

Suara bik Ina mengejutkan Nayla yang masih melamun tentang mamanya.

"iya, Bik. Saya segera turun." Jawab Nayla sambil setengah berlari membuka pintunya.

Setelah itu gadis kecil ini merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena selesai rebahan di ranjangnya. Di rasa telah rapi, Nayla segera keluar kamar dan menuruni tangga menuju ruang makan yang ada di lantai satu.

Namun langkahnya terhenti ketika di sana ada seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Wanita berparas cantik, lebih muda dari mamanya dan duduk bersebelahan dengan papanya.

'Siapa wanita itu? Kenapa sangat dekat dan akrab sama Papa?' bisiknya dalam hati.

Nayla terdiam tak lagi melangkah. Namun kedatangannya telah diketahui papanya yang sudah menunggunya di meja makan.

"Nayla, sini sayang! Kita makan malam bersama. Kamu pasti sudah lapar. Ada banyak makanan kesukaan mu sayang. Ayo, duduk sini!"

Danu melambaikan tangannya sebagai isyarat agar Nayla segera mendekat ke meja makan yang hanya berjarak beberapa langkah lagi dari tempat Nayla berdiri.

"I... iya, Pa." Jawabnya agak ragu.

Tatap mata Nayla lebih fokus pada sosok wanita yang masih asing untuknya. Wanita itu tersenyum manis ke arahnya dan mencoba memasang muka ramah.

"Sini Nayla, kita kenalan dulu ya! Aku mama Nayla sekarang. Panggil saja mama Melisa atau cukup mama Lisa saja biar lebih mudah."

Nayla tersentak kaget mendengar kata mama. Tapi ia tetap melanjutkan langkahnya untuk segera berjabat tangan pada mama barunya. Tak lupa ia juga mencium tangan mama Lisa dengan takzim.

Nayla sudah terbiasa di didik sopan santun pada orang yang lebih tua darinya. Sejak dini, mama kandungnya Ranti mengajarkannya menghormati dan menghargai sesama tanpa membeda-bedakan segi apapun. Itulah sebabnya ia selalu berusaha melakukannya, walau sekarang Nayla sudah tak lagi berdampingan dengan mama yang melahirkan dan membesarkannya.

"Nayla," Ucapnya lirih sambil tersenyum manis.

Lalu Nayla duduk di depan papanya, mereka menikmati makan malamnya dengan suasana riang kecuali Nayla. Gadis ini nampak murung dan tak begitu antusias menghabiskan makanan di piringnya.

"Kenapa Nayla? Apa makanannya nggak enak? Ini makanan kesukaan mu lho sayang. Masakan bik Ina semua. Nayla sudah kenal bik Ina kan?"

Tanya Danu yang sedari tadi memperhatikan anak kandungnya itu tak bersemangat dan enggan menghabiskan makanannya.

"E... enak Pa. Masakan bik Ina enak, Nayla suka." Ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.

"Tapi kenapa makannya cuma sedikit sayang? Nanti perutnya nggak kenyang lho... jadi nggak bisa nyenyak tidurnya dong?"

Melisa ikut mengakrabkan diri dan mencoba mengambil hati anak tirinya itu. Ia mengulas senyum saat menatap wajah mungil Nayla yang masih malu dan banyak diam.

"Maaf, Nayla nggak bisa makan banyak. Karena... karena ingat mama." Jawabnya jujur dengan mata berkaca-kaca menahan sedih.

Mendengar jawaban anaknya yang tak begitu diharapkan, Danu terbatuk-batuk karena tersedak. Lalu ia minum segelas air untuk mengurangi rasa yang mengganjal di tenggorokannya.

"Nayla, kamu jangan mikirin mama Ranti terus! Sekarang kamu punya mama Lisa yang lebih pantas jadi mama kamu, dia lebih cantik dan sehat, nggak seperti mama Ranti. Ayo, habiskan makanannya! Setelah itu kamu istirahat dan segera tidur! Karena besok kamu harus bangun pagi untuk daftar ke sekolah baru diantar mama Lisa. Sekolah yang lebih layak buat Nayla. Pasti kamu suka sekolah di sana."

Nada suara Danu lebih keras, mengisyaratkan ia kurang suka dengan tanggapan Nayla dan mengingatkannya pada mantan istrinya yang sekarang menderita sakit kanker sendirian dan ditinggalkannya begitu saja.

Lelaki yang makin sukses dalam bisnisnya ini, lebih memilih membuang istri pertamanya demi membahagiakan dirinya dan istri barunya yang saat ini sudah hamil setelah dinikahinya secara siri sebelum perceraian secara resmi didapatkan.

Pernikahan siri itu pun dilaksanakan secara mendadak, setelah pengakuan Melisa bahwa ia sudah berbadan dua. Dan wanita yang dulu menjadi sekretarisnya itu merengek ingin secepatnya dinikahi oleh Danu.

Dengan alasan itu, Danu tak bisa menolak permintaan wanita yang sudah mengisi hatinya dan membuatnya terbuai dalam rayuannya.

Kini Danu tinggal di rumah mewahnya atas permintaan Melisa istri barunya, karena ia tak mau tinggal di tempat yang sederhana saja. Apapun permintaan wanita itu selalu dituruti oleh Danu, karena Melisa paling pandai mengambil hatinya. Dan Danu tak berdaya dengan buaian dan rayuannya yang selama ini membelenggunya.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ


BERSAMBUNG

KEPALSUAN MAMA TIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang