BAB 5. MIMPI BURUK

44 0 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Tak biasanya pintu rumah Ranti masih tertutup rapat. Seperti biasa mak Entin menyempatkan waktunya untuk mengunjungi dan menemani Ranti.

Tak lupa ia juga membawa serantang makanan untuk diberikan pada wanita yang sudah tak bisa melakukan banyak hal lagi. Ya... kesehatan Ranti semakin menurun, apalagi setelah ia dipisahkan dengan paksa dengan anaknya yang cantik dan pintar, Nayla.

"Tumben pintunya masih tertutup rapat. Ada apa dengan Ranti? Biasanya jam segini pintu dan jendelanya sudah terbuka semua." Monolog mak Entin setelah sampai di depan rumah Ranti.

"Ranti... Ranti..." Mak Entin mengetuk sambil memanggil-manggil nama si empunya rumah. Namun ia tak mendapatkan jawaban.

Hati mak Entin tak enak, seakan ada firasat yang mengganggu perasaannya saat ini. Karena sudah berkali-kali ia mengetuk pintu tapi tak ada sahutan dari dalam.

Tapi mak Entin tak putus asa. Ia mencari jendela kamar Ranti dan mengetuk sambil memanggil-manggil namanya.

"Ranti... Ranti... Kamu kenapa? Buka pintunya Ranti. Ini mak Entin. Kamu baik-baik saja kan, Ranti??"

Panggilan Mak Entin dengan suara lantang tak juga mendapat jawaban. Lalu wanita yang sudah berumur ini mengintip sela-sela jendela kayu yang ada di depannya dengan sedikit berjinjit karena tinggi badan mak Entin tak bisa menjangkaunya.

Tapi apa yang ia lihat membuatnya kaget dan berteriak histeris.

"Ranti... kamu tertelungkup di lantai?? Ya Allah... lindungilah Ranti."

Mak Entin secepatnya berlari mencari pertolongan pada tetangga terdekat. Karena masih pagi, banyak tetangga yang berada di rumah.

"Ada apa mak Entin? Kenapa lari-lari ngos-ngosan seperti itu?" tanya pak Aliman yang kebetulan lewat di depan rumah Ranti.

"To... tolong Pak Aliman. Ranti nggak bergerak dan tertelungkup di lantai kamarnya. Barusan saya  intip di sela-sela jendela kamarnya. Saya takut terjadi apa-apa sama dia. Karena semalam saya menemani dan keadaannya sangat lemah." Ucap Mak Entin masih dengan napas yang tersengal-sengal.

"Ooo... Kasihan Ranti. Kita harus buka pintunya biar tahu keadaan yang sebenarnya terjadi. Kalau masih tertutup biar saya dobrak, Mak Entin. Saya akan nyari bantuan bapak-bapak yang lain."

Lalu pak Aliman menoleh ke belakang dan mengajak Ujang dan Parto yang kebetulan lewat.

"Ayo Kang, kita dobrak pintunya, satu... dua... tiga."

BRAKKK

Lalu terbukalah pintu depan rumah Ranti yang terbuat dari kayu. Rumah itu nampak sepi, tak ada suara apapun didalamnya.

Mak Entin mulai melangkah masuk dan berlari menuju kamar Ranti yang terbuka pintunya.

"Ooo... Ranti, kamu kenapa? Bangun Ranti...! bangun... !! Sadar Ranti, ini mak Entin!!" Wanita itu menggoyang-goyang tubuh Ranti yang masih tertelungkup di lantai. Namun tetap saja tak bergerak dan mak Entin akhirnya sadar, kalau Ranti sudah dingin sekujur tubuhnya.

"Ranti, kaki mu dingin, tangan mu juga dingin. Tolooong!!!" Teriak Mak Entin membuat terkejut tiga pria yang masih berada di teras rumah Ranti.

"Ada apa mak Entin teriak seperti itu. Ayo kita masuk saja Kang." Ujar pak Aliman sambil melangkahkan kakinya cepat disusul oleh Ujang dan Parto.

Lalu pak Aliman memeriksa nadi di tangan Ranti, ternyata sudah tak berdenyut.

"Kang, mari kita angkat tubuh Ranti ke atas ranjang, biar bisa melihat apakah Ranti masih bisa kita tolong." Perintahnya pada Ujang dan Parto.

"Iya, Pak Aliman." Jawabnya bersamaan.

Lalu ketiganya mengangkat tubuh Ranti yang sudah dingin dan tak bergerak lagi.

Setelah tubuh Ranti diletakkan di atas kasur dalam keadaan terlentang, pak Aliman memeriksa hidung untuk memastikan masih bernapas atau tidak.

Namun seperti dugaannya, Ranti sudah tak bernapas lagi.

Tiba-tiba pak Aliman mengucapkan kalimat, "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun." Ranti sudah meninggal dunia.

Mendengar penjelasan pak Aliman, Mak Entin memanggil nama Ranti dengan histeris.

"Ranti... kasihan kamu. Pasti semalam kamu kesepian dan tak ada yang mendampingi mu menghadapi sakaratul maut. Ya Allah...sungguh malang nasib mu, Ranti. Semoga Allah mengampuni segala dosa mu dan menerima amal ibadah mu."

Mak Entin menangis tersedu-sedu sembari mendoakan wanita yang tergeletak tak bernyawa di hadapannya.

Tubuh Ranti tinggal tulang dan kulit saja. Secantikannya pun telah pudar di gerogoti kanker ganas yang sudah ia alami setahun terakhir.

Sanak saudara sudah tak punya. Orang tuanya sudah meninggal setelah ia menikah dengan Danu karena kecelakaan. Ia pun tak punya saudara karena anak tunggal.

Kini yang mengurus jenazahnya adalah para tetangga terutama mak Entin yang paling perhatian yang selama ini menganggap Ranti seperti anaknya sendiri.

****************


Seperti pesan papanya, Nayla adalah gadis cantik yang penurut. Walaupun ia tak begitu suka dengan tindakan papanya karena memaksa meninggalkan mamanya seorang diri. Tapi Nayla tetap menghormati dan menuruti titah papanya. Walau dalam hati kecil ia ingin berontak, namun apa daya  seorang Nayla kecil yang tak punya kekuatan apa-apa.

Malam semakin larut, Nayla kecil sudah masuk kamarnya kembali. Ia membolak-balik tubuhnya ke kanan dan kiri karena merasakan sesuatu yang membuat dirinya tak bisa istirahat dengan nyaman.

Ia mulai mengambil ponselnya kembali. Ditekannya nomor ponsel dengan nama Mamaku, namun seperti yang sudah-sudah. Rasa kecewa ia dapatkan sekali lagi, karena panggilan telpon darinya tak mendapat jawaban.

Karena ingat akan pesan papanya saat makan tadi, bahwa besok pagi ia bersama mama Lisa akan daftar sekolah di tempat yang baru, maka dengan terpaksa ia berusaha segera menutup kedua matanya. Dan akhirnya Nayla kecil bisa tidur juga, walaupun hati kecilnya kecewa.

Kini jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tiba-tiba Nayla mengigau dan berteriak memanggil mama kandungnya.

"Mama... Mama... Mama... jangan tinggalkan Nayla, Ma. Mama mau kemana? Nayla ikut Ma. Mamaaa... Mamaaaaa..." Racauan Nayla di dalam kamarnya tak bisa di dengar siapa pun yang ada di rumah itu.

Kamar papa dan mama Lisa terhalang tembok tinggi dan tentu saja tertutup rapat walaupun kamarnya bersebelahan. Sedang kamar bik Ina ada di lantai satu, dekat dengan dapur.

Akhirnya dengan napas tersengal-sengal dan keringat mengucur deras dari pelipis dan lehernya, Nayla terbangun dengan sendirinya dengan tetap memanggil nama mamanya.

"Mamaaaa, hah... hah... hah..."

Nayla terduduk dari tidurnya seketika, matanya di kucek-kucek sambil menangis tersedu di kamar sendirian.

"Mamaaa... jangan tinggalkan Nayla! Nayla sayang Mama. Mamaaa... kenapa Mama berjalan menjauhi Nayla dan tak menoleh lagi saat Nayla panggil-panggil Mama, hik...hik..."

Nayla kembali bermonolog sambil mengingat mimpi yang baru saja ia lewati seakan nyata dan ia tak bisa menceritakan mimpinya saat ini pada siapa pun.

Kini ia hanya meringkuk sambil mendekap kedua kakinya dan melanjutkan tangisnya serta terus-menerus memanggil mamanya.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ


BERSAMBUNG

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KEPALSUAN MAMA TIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang