Empat - Alya dan Ide Gilanya

36 10 3
                                    

"Pulang nanti mampir ke rumah ya, Ta? Si Abang ulang tahun," ujar Farah dari seberang ponsel.

"Insya Allah kalau beres ngoreksi, ya? Ponakan gue udah gede aja deh perasaan. Oh ya, ini ultah keberapa ya omong-omong?"

"Ke delapan, Onti. Lupa ya?"

"Astaga ... Gue beneran lupa. Nanti deh gue siapin kadonya."

"Beneran dateng lho ya? Awal kalau nggak."

"Kuusahakan yang terbaik. Kurang apalagi coba gue ini."

Farah tergelak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Zetta dengan nada lebay-nya yang khas. "Pokoknya makasih banget kalau lo mau beneran datang."

"Ya Allah, Fa. Kaya sama siapa aja sih lo ini. Zetta itu suka sama bocil. Jelas nggak bakal ngelewatin momen mainan sama buntut-buntut kalian. Apalagi lo yang buntutnya udah tiga. Gila ya, hobi banget bikin anak."

"Hus! Bahasanya itu lho bisa nggak sih diperhalus? Ntar kalau kedengeran buntut gue, gue nggak tau gimana cara jelsainnya."

"Iya, iya. Janji nanti kalau di rumah lo gue nggak bakal ngomong aneh-aneh. Paling juga habisin stok kue lo sampai bikin lo sakit kepala."

"Kalau mampu habisin ya silahkan. Gue sama Mas Yusuf bakal stok kue terus sampai lo bilang lo nyerah buat habisin semua kuenya."

"Ish! Jahatnya jadi temen. Kalau gue gembul lagi mau tanggung jawab?"

"Of course not."

Zetta menggelengkan kepala dan menoleh pada guru yang kini tengah memanggilnya. "Udah dulu ya, Fa? Gue ada panggilan tugas negara. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Zetta buru-buru memasukkan ponselnya dan melihat salah satu rekan kerjanya dan menatap ke arah wanita tersebut dengan kedua alis terangkat.

"Robi kakinya luka habis jatuh dari tangga. Coba Bu Zetta lihat dulu apa perlu segera dilarikan ke rumah sakit atau tidak."

.

.

"Maaf banget aku datang telat. Abang, maafin Onti Zetta ya udah telat datang ke pesta ulang tahun kamu. Ini sedikit kado. Gapapa kan, ya?" cerocos Zetta setelah sampai di kediaman Farah tepat tiga jam setelah pesta dimulai.

"Nggak pa-pa, Onti. Makasih buat kadonya," ujar Umar, anak sulung dari Farah dan Yusuf. Bocah kecil itu menunjukkan senyum manis yang mewarisi senyum ayahnya seratus persen. Membuat Zetta gemas dan langsung menoel pipinya sebelum membimbing Umar masuk ke dalam rumah.

Zetta melambaikan tangan pada teman-temannya yang sudah duduk di kursi ruang tamu sembari mengawasi para buntut yang tengah bermain dengan akur.

"Lama banget baru nyampai. Ada apa?" tanya Alya.

"Tadi ada murid yang jatuh dari tangga. Kakinya patah. Aku kasih pertolongan pertama sebelum bawa murid ke rumah sakit. konsul macem-macem sama dokternya sebelum nunggu orang tuanya datang. Jadi gitu deh. Maunya segera datang. Tapi apa daya?" terang Zetta sembari menggendong Raisa, anak kedua Jennie dan Riski yang baru berusia tujuh bulan.

"Kenapa jatuhnya? Berantem?" tanya Alya lagi.

"Main sama temennya. Sebenernya mereka itu lagi bikin video tiktok gitu, Cuman mainnya itu kok ya di tangga. Pas jatuh pada nggak bisa ditanyain."

"Tiktok bisa jadi bahaya juga ya?"

"Bukannya semua sosmed gitu? Kalau gue pribadi, gue download tiktok demi bisa nontonin EXO."

Perkataan itu jelas menimbulkan gelengan kepala super gemas dari teman-temannya. "Hobi halu gini gimana bisa dapat suami coba?" tanya Alya dengan menggelengkan kepalanya penuh drama.

"Ya namanya juga jodoh belum datang. Lo mau berekspektasi apa, Al?" tanya Zetta jengah.

"Belum datang apa lo yang nggak mau nerima? Beda arti , Ta."

"Sama aja."

"Ih ni perawan satu ini ngeselin banget kalau dikasih tau. Mbok ya nurut gitu lho. Ngakuin kalau emang belum bisa berpaling. Kalau misalkan lo emang membuka hati, udah dari dulu kali lo nerima puluhan dokter temen Mas Juna yang aku tawarin ke elo."

"Lo cuma nawarin 12 orang, Al. Nggak sampai puluhan."

"intinya udah lebih dari 10. Sama aja, kan?"

Zetta hanya mengedikkan bahu. Tidak begitu berminat membahas soal ini bersama dengan sahabatnya yang paling bawel soal menikah. Sejak Alya menikah tiga tahun lalu, hidup Zetta seolah berubah menjadi tidak tenang. Setiap kali bertemu, Alya selalu menggalakkan kampanye 'menikah itu enak' atau 'menikah itu baik'. Seolah-olah Zetta selama ini tidak bisa melihat keuntungan dari sebuah pernikahan.

"Ta, jangan menganggap kalau kita ini pemaksa. Kita semua sayang banget sama lo. Rasanya waktu ada orang yang berani ngejekin lo karena status lo yang masih sendiri terdengar di kuping gue itu beneran menyakitkan. Walau gue bukan lo, tapi penghinaan yang dilayangkan orang yang nggak tau apa-apa itu bikin gue ngerasa gue nggak becus jadi sahabat. Kalau dengan bikin lo segera menemukan the one and only man dalam hidup lo membuat mereka berhenti kasih label yang nggak-nggak soal lo, gue bakal lakuin," jelas Alya.

"Tapi kalau urusan jodoh emang rada susah, Al. Kalau Allah belum kasih, ya nggak akan datang. Kita juga nggak bisa memaksakan kehendak ke Zetta walau lo sudah mengompori dengan kasih label ke bebera orang yang lo sebut punya kualitas premium itu," nasehat Farah dengan bijak.

"Itu kan bentuk ikhtiar, Fa. Aku nggak rela banget kalau Zetta dijadiin bulan-bulanan mulut yang nggak bertanggung jawab," balas Alya.

"Semua di sini khawatir juga kali, Al. Nggak cuma lo. Gue sama Mas Riski juga bawaannya pengen ketekin Dimas si biang kerok. Kalau dia nggak ada juga nggak akan mungkin Zetta jadi menutup diri dari segala macam perjodohan. Nutup jodoh orang pinter banget tuh orang. Kalau niatnya nggak suka kenapa nggak dari awal aja ngejauh dari Zetta?" tanggap Jennie dengan dongkol.

"Gaes, yang kalian bicarain itu masih ada di sini lho. Kalian ini ngobrolin gue seolah-olah gue nggak lagi ada di deket kalian. Bisa-bisanya sampai segitunya," protes Zetta jengkel.

"Kita ini dalam rangka khawatir. Ya maklumin aja."

Zetta mengangguk-angguk dengan senyum tipis. "Gue hargain itu. Doa dan semangat dari kalian snagat berarti. Lagian, mungkin ini salah satu jalan biar gue bisa lebih banyak berbakti. Menikmati jadi nenek-nenek single yang super bahagia. Gue juga bisa bahagiain ibu gue dengan lebih baik."

Farah tersenyum lembut ke arah Zetta. "Gue salut sama lo. Lo masih dengan mudahnya lihat segalanya dari sisi terbaik padahal lo juga terluka."

"Gue nggak sebaik itu juga kali, Fa. Masih banyak salahnya."

Alya yang sejak tadi terdiam tiba-tiba terbangun dari duduknya. Kedua netranya menatap sejurus pada Zetta yang kini nampak kebingungan. "Kriteria cowok lo yang kaya gimana sih, Ta?" tanya wanita berbuntut satu itu dengan alis bertaut.

"Yang kaya dia? Maksud gue ... Minimal sebaik dan seperhatian dia dulu ..."

"Oke kalau gitu. Lo mau nyoba hal gila sama gue nggak?" tanya Alya yang langsung memotong perkataan Zetta dengan sepihak.

"Hal gila apa?"

Alya tidak menjawab. Tangan wanita itu langsung meraih kamera DSLR dengan lensa berharga puluhan juta itu dan membidikkannya ke arah Zetta. Tangannya cekatan mengambil foto dengan sisi terbaik sehingga Zetta terlihat luar biasa cantik dari Zetta yang biasanya.

"Al, kenapa lo tiba-tiba ambil foto gue? Lo mau ngapain, sih?" protes Zetta setelah Alya memutar-mutarnya dan memaksanya mengambil beberapa pose layaknya model.

"Gue mau bikin iklan sih. Siapa tau juga ada yang minat."

"Iklan apa?"

Alya menyeringai jahil dengan kedua netra yang menyipit. "Mau bikin iklan di facebook buat cari suami sesuai sama kriteria lo."

"WHAT?!!"

-Bersambung-

Dicari! Suami yang Seperti Dia [End] - Akan TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang