Satu - Not So Funny Things

75 19 5
                                    

"Jadi ... Kira-kira Bu Zetta minat nggak kalau saya jodohkan sama Paman saya? Dia duda. Umurnya 50 tahun. Kalau untuk harta jangan ditanya. Paman saya punya banyak sawah. Ibu nggak akan kekurangan apapun," ujar salah satu guru dengan berapi-api.

Zetta hanya bisa menghela napas panjang melihat kehebohan rekan sesama gurunya itu tanpa mendengarkan kalimat selanjutnya. Dia sudah lelah dengan deretan duda yang ditawarkan kepadanya. Setelah dulu pernah menuduhnya berniat menggoda suaminya, kini rekan kerjanya itu menawarkan banyak kandidat untuk dia nikahi. Termasuk salah satunya, Paman dari rekan kerjanya tersebut.

Umurnya semakin matang dan pilihannya semakin terbatas. Banyak yang menyarankan Zetta menikah dengan pria yang usianya dua kali lipat dari usianya tanpa memedulikan apa yang Zetta pikirkan. Mungkin mereka pikir, perawan tua memangnya apalagi yang harus dicari? Harta? Tahta? Wajah yang masih belia? Astaga ... Muluk sekali! Kalau perawan tua ya pasnya dengan duda. Kalau mau cari perjaka, mereka pasti cari yang masih muda. Yang belum punya jejeran keriput halus di wajah. Itu baru ideal.

"Ini foto Paman saya. Tolong dipertimbangkan baik-baik, Bu Zetta. Saya jamin Bu Zetta pasti tidak akan menyesal kalau mau sama beliau. Paman saya ini kaya dan sangat royal dengan istri."

Zetta melotot melihat gambar pria berbadan bantet dengan kepala yang nyaris tak berambut secara keseluruhan. Wajahnya tersenyum dengan seringai yang tampak mesum. Sementara perutnya bulat seperti badut ulang tahun. Melihatnya saja membuat Zetta tidak berani membayangkan hari-hari seperti apa yang akan dia hadapi nantinya.

"Lumayan kalau mau. Dia butuh sekali punya anak. Malam pertama langsung jalan dan langsung punya anak. Maunya begitu. Bu Zetta kan dulu perawat. Pasti paham caranya bikin anak dengan akurat."

Zetta begidik ngeri mendengar pernyataan yang baginya amat sangat tidak sopan itu. Apa hubungannya dengan kuliah yang dulu dia geluti dengan apa yang saat ini dia jalani? Dan soal menikah ... Memangnya orientasi menikah selalu soal anak? Bukannya tujuan awal menikah itu adalah ibadah?

"Saya kirim nomornya Bu Zetta ke Paman saya dulu ya biar beliau bisa VC an sama Ibu. Siapa tau jodoh."

Belum sampai Zetta menanggapi apa-apa, rekan sejawatnya itu sudah mengirimkan nomornya dan tak lama setelah itu ada panggilan video yang masuk ke ponselnya.

"Diangkat aja atuh Bu. Itu Paman saya."

Zetta mematung. Apa yang mau dibicarakannya dengan pria bulat yang nyaris botak? Sangat tidak 'yes' dan cara pengenalannya sangat tidak sopan.

"Nih, saya bantu angkatkan siapa tau Ibu malu."

Tombol hijau digeser dan menampilkan sosok berperut buncit dengan mata kecil yang terlihat menelisik. Cukup menyeramkan karena Zetta tidak tahu apa yang pria itu lihat dari sosok Zetta pada layar ponselnya.

"Wah ... Ibu Zetta ... Perkenalkan saya Pramono. Saya Paman dari Tiar. Kalau dilihat dari sini Ibu sepertinya punya penampakan subur ya. Jelas mudah untuk memiliki anak kalau saya menikah dengan Ibu."

Zetta kembali dibuat melotot mendengar kalimat yang jelas menusuk dan bernada menghina tersebut. Bagaimana bisa seorang pria langsung mengatakan kesan pertama soal fisik yang bertema mesum dengan santainya? Bahkan ketika pertemuan pertama!

"Saya tidak suka basa-basi. Setelah menikah langsung saja memiliki anak. Untuk mas kawin saya akan berikan apapun yang Ibu Zetta mau. Termasuk aset dan perhiasan. Ibu tinggal sebutkan saja bagaimana baiknya."

Pernikahan? Dengan pria tua yang bermulut kotor itu?

"Maaf, sebelumnya. Saya bahkan belum menyampaikan kesediaan saya. Kenapa langsung tiba-tiba anda menilai fisik dan juga maskawin? Saya bukan sapi yang bisa ditawar seketika. Sayangnya saya manusia. Dan saya memiliki perasaan juga keluarga besar yang perlu saya pertimbangkan untuk membuat keputusan sebesar ini."

"Anda pasti akan menerima saya. Memangnya apalagi yang dicari oleh wanita berumur seperti anda, Bu Zetta? Daun muda? Pria yang mapan dan seusia? Jangan konyol, Bu. Kalau toh ada pria seusia Ibu yang mapan, sudah pasti akan mencari yang lebih muda dan lebih segar dari Bu Zetta.

Wanita berambut sebahu itu sontak menggenggam tangannya erat. Mencoba menahan amarah atas komentar tak berakhlak dari pria yang bahkan usianya nyaris dua kali lipat dari usianya. Seharusnya pria yang seperti ini banyak-banyak beristighfar. Bukannya malah berupaya mencari istri dan langsung memikirkan soal malam pertama layaknya sedang menilai ternak di pasar.

"Pak Pramono yang terhormat, saya harus meminta maaf yang amat sangat dengan anda karena saya rasa saya bahkan tidak bisa mempertimbangkan tawaran pernikahan yang Bapak berikan. Jadi, lebih baik Bapak mencari daun muda yang masih segar seperti kata anda dibandingkan dengan bunga layu seperti saya. Permisi."

Klik!

Zetta menghela napas panjang sebelum menatap sinis pada rekan kerjanya yang kini berwajah masam. Jauh dari kata menyenangkan. "Saya hargai usaha Bu Tiar untuk mencarikan saya suami. Tapi bisakah kalau soal seperti ini dibicarakan dulu dengan saya sebelum langsung menerima panggilan dari ponsel saya tanpa seizin saya? Saya rasa Bu Tiar juga tau kalau apa yang Bu Tiar lakukan sangat tidak sopan. Jadi saya harap Ibu tidak akan bertanya-tanya alasan mengapa saya menolak Paman dari Bu Tiar."

"Huh! Kamu siapa sampai menolak Paman saya? Sudah merasa lebih hebat? Kalau memang kamu hebat, seharusnya kamu sudah menikah! Kamu masih belum menikah seperti ini biar bebas bisa gangguin ketentraman rumah tangga orang, kan? Senang kalau begitu? Puas?!"

"Apa maksud anda, Bu Tiar?"

"Kenapa? Takut belangnya kelihatan makanya berusaha playing victim sama keadaan? Basi! Perawan tua ya perawan tua aja! Jangan bikin gelisah rumah orang. Kalau emang mau cari simpenan, Paman saya juga bisa! Kenapa sih pakai pilih-pilih? Memangnya dengan gitu bisa bikin pasaran Bu Zetta naik? Jadi tambah banyak yang mau, gitu?"

Zetta yang sejak tadi ingin menyerang rekan kerjanya yang sudah keterlaluan. Menginjak privasinya tanpa ampun seolah apa yang dilakukan olehnya adalah sebuah kebenaran. Atau mungkin malah berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang mulia untuk dikerjakan.

"Saya rasa urusan siapa saya menikah adalah urusan saya. Jadi terima kasih banyak atas perhatiannya. Saya harus pamit untuk mengajar. Permisi."

Tanpa menunggu, Zetta beranjak menuju kelas tempatnya mengajar. Mengabaikan pekikan penuh amarah yang dilayangkan Tiar padanya. Entah jenis sumpah serapah atau sebagainya. Zetta tidak begitu peduli.

Statusnya yang perawan tua entah mengapa menjadi ketakutan tersendiri bagi para rekan kerjanya yang perempuan. Dari sekedar menggunjingnya dengan mengatakan hal yang tidak-tidak tentangnya. Atau hanya sekedar mengejeknya yang masih belum menikah di usia 29 tahun. Ada juga yang memberinya label 'perawan tua hobi halu' karena kegemarannya terhadap salah satu grup boyband asal Korea Selatan. Memangnya apa yang salah dengan memiliki idola?

Belum lagi jika mereka menyebarkan rumor asal jika dia adalah wanita penggoda yang berusaha mencari mangsa seorang taipan tanpa memedulikan jika pria tersebut sudah memiliki istri atau tidak. Rumor itu terang saja membuat Zetta sakit kepala. Belum menikah bukan berarti dia harus merendahkan diri dan menghalalkan segala cara untuk merebut milik orang lain. Kenapa juga harus rumor yang seperti itu yang tersebar?

Zetta tidak pernah merencanakan untuk menikah di usia tua. Dia juga tidak pernah merencanakan untuk sendiri di usia yang seperti ini. Jika ditanya, dia tentu ingin menikah. Siapa yang tidak ingin? Tapi keadaan membuatnya seperti itu. Hatinya telah lama tertutup setelah mendapatkan rasa sakit terhebat setelah dilambungkan setinggi mungkin oleh seseorang. Sampai akhirnya Zetta takut memulai hubungan dengan seorang pria walau sebenarnya Zetta ingin menikah.

- Bersambung -

Dicari! Suami yang Seperti Dia [End] - Akan TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang