Baru Permulaan

0 0 0
                                    

Hidup lagi capek-capeknya mikir buat nraktir Inka, malah ditinggal nikah. Aku ingin dicintai, tapi harus sadar diri hanya menjadi pacar sehari. Kok, begini amat beban hidup.

Aku belum selesai menangis sambil meratapi nasib, mendadak ponsel dalam tasku memberi tanda notifikasi pesan masuk. Kalau chat bukti transferan nyasar sih tidak apa-apa, setelah aku buka, ternyata chat dari Kak Faiz.


[Oliv, bisa ketemuan kapan? Aku ingin menjelaskan semuanya. Please, Liv, kasih aku kesempatan ketemu kamu"


Random banget suami orang. Baru saja menikahi gadis cantik putri dokter pribadi keluarganya, masih sempat-sempatnya mau ketemu pacar selingan dengan alasan minta maaf.


Sabar, Oliv, sabar. Nggak boleh bar-bar.


[Besok, ya, Kak. Di kafe Buana, jam tujuh malam]


Meskipun terpaksa, aku tetap membalas pesan Kak Faiz. Bagaimana pun juga awal yang ingin diakhiri harus jelas, terlebih ini masalah hati. Soal rela atau tidak, urusan nanti.


Sorenya, aku ke luar kamar setelah berhasil menenangkan diri. Langsung disambut Inka dengan rentetan pertanyaan tentang hati. Tentu saja aku berbohong dengan mengatakan baik-baik saja.


"Aku salut sama kamu, Liv. Kok, bisa kuat banget liat calon mantan nikah depan mata," puji Inka mirip emak-emak tetangga yang suka membicarakan masalah orang lain.


Awalnya takjub memuji, endingnya serentak membully.


"Iya, mau gimana lagi. Yang dijodohin sama pilihan orang tuanya aja bahagia, In. Kenapa aku enggak," balasku acuh.


"Laki kok gitu! Terlalu nurut, anak mami, nggak punya pendirian ..." Mukadimah Inka dimulai, semua harus diam mendengarkan hingga selesai. "Percuma dong, ya, jadi direktur muda dengan segudang penghargaan dan relasi bisnis yang banyak. Otaknya aja encer, hatinya melempem kayak kerupuk kecemplung kuah seblak!"


Aku tertawa menanggapi ucapan Inka, memang begitu adanya.


"In, kalau Kak Faiz nurutnya terpaksa gimana?" celetukku membalas omelan pedas Inka. "Nggak mau nikah sama Sofia, bakal dicoret dari kartu keluarga dan nggak dapat warisan ... dia bisa apa?"


"Kok, kamu belain dia, Liv?"


"Aku ngomong fakta, In."


Inka terdiam, pikirannya keliling Jakarta sampai Penang untuk memikirkan ucapanku, mungkin.


"Bener juga apa yang kamu bilang, Liv. Iya, kalau aku jadi Pak Faiz, milih nurut daripada diusir." Inka akhirnya menyerah mengakui kejeniusan pemikiranku.

Aku Ingin Menjadi PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang