Aldi Wisnu Laksana
"Ibu berpesan sama Kakak ya, Kak, jangan deketin dia. Kalau perlu, jangan sampai kenal."
"Tapi, Bu—"
"Ibu mohon."
***
Syahlaa Annisa Shiriin
"Ayah pergi ke mana, Mah? Kenapa Mamah nggak larang Ayah pergi?"
"Jangan pernah cari Ayah lagi, ya, Sayang. Dia bukan Ayah kamu lagi. Nanti Mamah carikan Ayah baru yang lebih baik buat Lala."
"Tapi, Mah—"
"Mamah tahu kalau Lala kuat."
***
Aldi Wisnu Laksana
Aku selalu memperhatikannya. Dia tidak banyak berubah setelah terakhir kali aku melihatnya, yaitu sekitar setahun yang lalu. Entah ke mana dia pergi selama setahun terakhir. Dia menghilang begitu saja bersama sisa-sisa sunyi yang melekat kuat pada kursi bercat coklat. Aku tidak mungkin mencarinya, bertanya di mana keberadaannya, atau sekedar mencari tahu apakah dia masih hidup atau sebaliknya. Itu bukan tugasku.
Dia masih sama, atau malah mungkin semakin menarik. Dia tampak tak banyak tingkah, meski tidak kuketahui pasti bagaimana perangainya bersama orang dekat, sebab dia selalu sendirian duduk di sana, berkutat dengan headphone, buku dan juga pulpen. Seringnya ia terpejam seolah menikmati alunan musik dari headphone berwarna putihnya yang tampak estetik, atau seringnya lagi ia tampak berpikir sembari menggoreskan tinta-tinta pulpennya ke kertas.
Kali ini ia mengenakan celana panjang standar berwarna coklat susu, dipadu dengan kaus oversize berwarna putih senada, juga tak lupa sling bag berukuran sedang. Oh iya, satu lagi, rambut yang dikuncir. Ia selalu tampak elegan berbalut kesederhanaan.
"Heh!"
Seseorang datang dan membuat atensiku seketika buyar. Seseorang itu tak lain adalah Rival, temanku. Ia menyodorkan sebotol minuman rasa kopi. Aku menerimanya dengan senang hati.
"Malah ngelamun. Mikirin apa, sih?"
"Siapa yang ngelamun? Gue cuma lagi liat-liat."
"Liat-liat?" Rival mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Matanya berhenti di sosok itu sejenak, sebelum kembali menatapku penuh selidik. "Ohhh, jadi selama ini ...."
Aku hanya diam, tetapi itu berhasil membuat Rival dapat menyimpulkan sesuatu hal.
"Okay, okay. Jadi, siapa namanya?"
Aku mengedikkan bahu, bersikap seadanya. Aku memang tidak tahu siapa namanya, dan belum ada niatan untuk mengetahuinya dalam waktu dekat. Biarkan rasa penasaran ini mengakar kuat selama mungkin.
"Lah? Secret admirer macam apa yang gatau nama targetnya?" cibir Rival.
"Gue bukan secret admirer. Dan siapa yang lu sebut target? Dia bukan semacam target," jelasku terkesan tidak terima.
Rival terdiam, tampaknya tidak mau berdebat lebih lama. Menit berikutnya, aku mengajaknya kembali ke tempat teman-teman kami berada. Hari sudah mulai petang, dan sosok menarik itu pun sudah lebih dulu pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Kosong
Teen FictionKarena yang kosong harus diisi, yang rusak harus diperbaiki, yang patah harus tumbuh lagi, dan yang sakit harus diobati. Ini semua adalah karena kita harus tetap hidup sampai esok hari. Aldi dan Syahlaa terlibat dalam kisah pendekatan yang awalnya...