01. Chat

6 1 0
                                    

Aldi Wisnu Laksana

Entah keberanian dari mana, aku nekat mengirimkan pesan kepadanya. Setelah kembali melihatnya, ada dorongan dalam diriku untuk sedikit bisa berbalas pesan singkat dengannya. Sebenarnya aku sudah memiliki kontaknya dari setahun yang lalu, sekitar dua bulan sebelum ia menghilang, tetapi saat itu aku masih benar-benar ragu. Kupikir, rasanya akan seperti ABG kebelet pacaran.

Jangan tanya dari mana aku berhasil mendapatkan kontaknya, karena aku berani bersumpah bahwa tidak satu 'pun dari temanku mengetahui perkara ini. Ini karena kebetulan berbalut keberuntungan saat sepucuk kertas sobek jatuh dari bukunya. Di kertas kecil itu juga bukan hanya ada sederet nomor, tapi juga ada sebuah kutipan singkat.

Have courage and.

Ya, hanya sampai di situ, sebab sobekannya sampai di huruf d. Aku sebenernya cukup tidak yakin apakah ini nomornya atau bukan, tetapi mana mungkin ia menuliskan nomor orang lain kan? Jadi, untuk berjaga-jaga aku hanya mengenalkan diri di pesan singkat itu.

Tidak ada balasan, bahkan setelah tiga jam berlalu. Aku memutuskan untuk melupakannya dengan mengalihkan fokus pada tugas kuliah. Sedikit informasi, aku adalah anak IT. Cukup membuat kepala pening.

Terdengar ketukan di pintu kamar, lalu muncul Ayah. Beliau agaknya tengah memperhatikan kegiatanku. "Kuliah aman, Dek?" tanya beliau.

Sebelumnya, tolong dimengerti bahwa aku adalah anak bungsu yang memiliki satu kakak laki-laki dan satu kakak perempuan. Jadi, tidak aneh jika Ayah menyebutku "Dek".

"Aman, Yah."

"Gak salah kan kamu ambil IT?"

"Nggak terlalu."

"Nggak terlalu?"

"Aldi minat jurusannya, Yah, tapi coding-an yang bener-bener rumit kadang bikin merasa salah jurusan."

Ayah tertawa. "Mungkin emang harus banyak sabar," katanya.

Aku meringis seraya mengangguk.

Hening sesaat, sebelum tiba-tiba Ayah menepuk pelan bahu kananku. Terdengar hembusan nafas yang cukup berat dari mulutnya, lantas berujar, "Jadi laki-laki yang baik, ya, Dek. Jangan kayak Ayah."

Apa maksudnya? Beliau laki-laki sekaligus Ayah yang baik. Namun, belum sempat aku membalas, beliau sudah lebih dulu melangkah keluar kamar. Tidak aneh, Ayah terkadang cukup misterius. Aku tidak heran, beliau termasuk kategori laki-laki pendiam yang tak suka banyak bertingkah. Jika saja aku tidak memiliki gen Ibu, mungkin aku akan sedingin beliau. Untunglah Ibu memiliki perangai yang ceria dan banyak bicara. Jadi, karakterku seimbang.

Terdengar notifikasi ponsel. Aku buru-buru melihatnya. Nahas, kukira itu balasan darinya. Ternyata hanya peringatan perihal tugas kuliah di grup jurusan. Untunglah aku sudah mengumpulkan tugas itu dari tiga hari yang lalu. Kata Ibu, lebih enak cepat-cepat mengerjakan, karena menunda-nunda lantas lupa lalu dikejar deadline sungguh tidak menyenangkan.

Ada pesan masuk lagi, dari Rival.

Rivaldi [20.02]
Di tolong gue sih :(

Aldi W.L. [20.03]
Kebiasaan

Rivaldi [20.03]
Gak banyak, gue udah kerjain setengahnya kok

Buku Kosong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang