4

1.1K 211 16
                                    

Vania punya firasat hidupnya tak akan lama. Dia bahkan tidak yakin dia akan tetap hidup sampai besok. 

Dia tidak yakin bisa keluar dari hotel ini hidup-hidup.

Vania tidak punya sakit kronis, dia hanya terlibat dengan orang-orang yang amat berkuasa, dan amat jahat.

Jemari Vania yang menggenggam gelas minuman terasa berkeringat dan gemetaran. Isi perutnya bergolak.

Partner dansanya, orang yang membawanya ke pesta di ballroom hotel ini, dan kemungkinan besar, orang yang akan menghabisi nyawanya malam ini, sedang pergi pamit sebentar untuk mengobrol dengan tamu lain. 

Jadi Vania bebas berjalan sendirian mengelilingi ruangan, perlahan, langkahnya satu demi satu. 

Vania belum tahu apa yang harus dia lakukan, tapi dia berusaha agar keputusaasaan yang mulai merambati lehernya ini tidak membuatnya lumpuh.

"Itu sih adik iparnya Ernest. Jangan deh, sama dia..."

Vania hanya mendengar kalimat itu sekilas, dan telinganya tegak seketika. Satu-satunya 'Ernest' yang mungkin sedang dibicarakan adalah Ernest Sugondo.

Dan kalau ada yang yang bisa menolongnya dari situasi ini, itu adalah anggota keluarga Sugondo, siapa pun orangnya. Hanya mereka yang cukup kuat untuk bisa melawan balik. Vania meraba tas kecilnya yang berbahan sutra, merasakan benjolan kecil di sana, merasakan botol kaca yang dia gunakan untuk menyimpan flashdisk berada di sana.

Oh, Vania tetap akan mati, tapi kematiannya tidak akan terlalu sia-sia... kalau dia beruntung. 

"Kelihatannya emang polos dan manis, kayak malaikat, tapi kata Ricky lemot banget. Jangan... bisa-bisa lo gundul gara-gara suka narik rambut, frustrasi punya cewek lemot..."

Vania kini makin mendekati tiga lelaki muda yang sedang mengobrol dengan lancangnya itu. Tangan Vania sudah tidak terlalu gemetaran dan dia menyesap soda herbal di tangannya, matanya mencari ke arah mata ketiga pemuda itu tertuju.

Ketika Vania mendengar deskripsi "...manis, kayak malaikat..." Vania tidak mengira maksudnya benar-benar seperti malaikat. Dengan rambut mengikal dan pipi bulat tembam, gadis yang merupakan adik ipar Ernest Sugondo itu sedang duduk di sofa merah di tepi ruangan bersama beberapa orang lain yang asyik mengobrol.

Vania melirik ke arah pangkuan gadis itu. Sebuah tas kulit dengan kantung kecil di sisi tas. Sempurna sekali. 

Dengan langkah tegap dan percaya diri, hasil bertahun-tahun melangkah di catwalk dan menjadi model,  Vania berjalan menuju sofa. Dia lalu berdiri di samping sofa dan menundukkan kepala, senyumnya terulas manis. 

"Halo, boleh ikut duduk?" tanya Vania. Botol kaca yang tadinya ada di tasnya kini sudah ada dalam genggamannya.

Gadis yang menjadi targetnya seketika menatap Vania dan dengan cepat bergeser, memberi tempat untuk Vania agar bisa duduk. Saat Vania duduk itu, dia dengan cepat menyisipkan botol kecil itu ke tas gadis itu.

Gadis itu sama sekali tidak menyadari ada benda terkutuk di dalam tasnya dan saat Vania sudah duduk, gadis menatap Vania dan tersenyum kecil.

Vania merasa agak bersalah. Setelah ini, mungkin hidup gadis ini tidak akan pernah sama--seperti halnya kutukan, kemalangan akan mengikutinya kemana-mana.

Tapi Vania tidak punya pilihan lain. Vania hanya berharap gadis ini jauh lebih kuat darinya, memiliki penolong dan pelindung yang bisa memastikan keselamatannya dan semoga, gadis muda ini tahu apa yang harus dia lakukan dengan flashdisk di dalam botol yang kini ada di tasnya.

Dengan senyum lebar dan ceria, Vania lalu mengangsurkan tangannya, "Hai, aku Vania."

Gadis itu mengenggam erat tangan Vania, dan senyumnya mengembang. "Aku Aishin," katanya.

*** 

A/N:

Pendek banget i knoww, tapi ini cuma bab flashback, hoho... bab selanjutnya insyaAllah panjangnya normal lagi.



Sengkarut AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang