15

1K 159 25
                                    

Saat Rangga sampai ke rumah, rumah sudah penuh oleh pegawai yang berdatangan.  Meja makan kini penuh terhampar dengan piring-piring dan kotak-kotak berisi makanan. Sudah ada nasi di magiccom besar. Syahdan rupanya mengirim lauk; beberapa ekor ayam panggang madu lengkap dengan sambal, sekotak plastik besar capcay sayuran, kerupuk udang satu toples serta satu butir semangka. 

Aishin juga sudah menghangatkan lauk pauk beku--yang selamanya akan Rangga ingat sebagai ujung pangkal semua kerusuhan hari ini.

Saat Rangga datang, makanan yang dia bawa ikut dihidangkan dan makan malam pun dimulai. 

Malam berjalan sesuai keinginan Rangga; yaitu bertemu dengan Aishin di tengah banyak orang. Menghaluskan 'pendaratan' agar tidak ada yang terguncang--baik dia maupun Aishin.

Hidup Rangga menjemukan, hidupnya hanya berputar di rutinisme pergi bekerja dan pulang lagi--tapi kalau dipikir-pikir, dia juga tidak mau kalau hidupnya 'terlalu menarik'. 

Semua klien GSR punya kehidupan yang menarik, dan lihat bagaimana mereka berakhir jadi membutuhkan jasa pengawalan.

Aishin mungkin satu-satunya klien perusahaannya dengan hidup yang sama membosankannya; Aishin bisa hidup berbulan-bulan tanpa keluar rumah. Aishin juga makhluk ritual yang mudah ditebak; Aishin bisa duduk berjam-jam di tempat yang sama membaca buku, Aishin selalu keluar menonton TV di jam yang selalu sama, dan yang paling utama, Aishin merupakan teman bicara yang menyenangkan. 

Tak masalah Rangga tidak memahami apa yang sedang dibicarakan Aishin, tak masalah Aishin bicara seperti orang yang terlalu sering melihat keributan di Internet. Setelah setengah tahun mengenal Aishin, Rangga menyukai hubungannya dengan Aishin selama ini. Dipenuhi dengan interaksi sehari-hari yang ringan dan familier. 

Bahkan kalaupun mereka tidak jadi apa-apa, Rangga merasa tidak masalah. 

Tapi dia akan menyayangkan kalau dia salah mengambil langkah, yang berakhir membuat hubungannya dengan Aishin akan jadi canggung dan beku.

Untungnya, sikap Aishin malam ini terhadapnya biasa saja. Sesekali Aishin menoleh ke arah Rangga saat posisi mereka di ruang makan itu bersebrangan--lalu Aishin nyengir dan Rangga membalasnya dengan senyum simpul. 

Malam makin larut dan satu per satu, orang-orang mulai berpamitan pulang--termasuk semua pegawai wanita--meski banyak juga yang masih tinggal dan mengobrol. 

Rangga mengobrol juga sejenak, di ruang TV. Tapi ketika kopi di cangkirnya habis, dia akhirnya beranjak pergi menuju dapur untuk mencuci gelas. Hampir seluruh ruangan di rumah itu tetap bersih meski beberapa jam sebelumnya ada acara makan-makan yang dihadiri cukup banyak orang. Terutama karena semua yang datang pegawai GSR, semua orang cukup disiplin untuk membersihkan sisa piring maupun sampah masing-masing  

Beberapa meter menuju dapur dan Rangga menyadari masih ada orang di depan wastafel.

Aishin.

Gadis itu sedang mencuci tangannya, dengan air keran yang hanya dibuka separuh.

Aishin pasti mendengar suara langkah kaki Rangga--bahkan meski ada suara TV dan suara obrolan dari ruangan tengah--karena kemudian Aishin menutup keran memutar badannya menghadap Rangga.

Sepersekian detik, perasaan canggung dan malu mendominasi. Rangga merasakan keengganan untuk tetap melangkah maju. Rasanya lebih mudah berhenti saja.

Tapi, dia memaksakan diri. Dia sudah menunda berjumpa empat mata dengan Aishin dengan mengundang teman-teman kantornya datang, dia tidak mau melarikan diri lagi. 

Tadi sore, dia mungkin memanggil Aishin dengan sebutan Sayang karena ketidaksengajaan dan kesalahpahaman. 

Hanya saja, kalau di kemudian hari Rangga ingin bisa memanggil nama Aishin dengan panggilan Sayang dengan kesadaran penuh dan hak penuh, Rangga tak bisa berhenti sekarang. 

Sengkarut AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang