Kita bertemu di kedai kopi ini, ketika hujan deras melanda kota. Waktu itu, kamu dan aku sama-sama berteduh. Pukul sembilan malam, kedai kopi ini tutup, kita berdua berdiri di depannya sambil memandang hujan yang sama. Menyaksikan jutaan air yang jatuh bunuh diri di depan pintu kedai kopi.
Kamu menawarkan jaket kepadaku yang menggigil kedinginan, padahal kamu sendiri hanya memakai kaos tipis di balik jaket milikmu. Aku menolaknya, tapi tidak sengaja menjatuhkan jaket itu, jatuh ke kubangan air di bawah kaki kita, waktu itu ekspresimu terlihat lucu. Terlihat ingin marah, kesal, entahlah. Aku juga sedikit merasa bersalah, tapi lagi-lagi ingin tertawa melihat ekspresi yang terukir di wajahmu.
Di pertemuan pertama, kita berpelukan. Karena aku dan kamu sama-sama kedinginan.
Ruan, setelah hari itu, kita bertemu setiap hari. Menghabiskan banyak waktu, mengobrol tentang banyak hal. Tawa kita merdu memekak di mana-mana dan aku suka, suka caramu menatapku dengan matamu yang teduh. Tatapanmu yang lembut, pun tanganmu yang menggenggam erat jemariku. Katamu takut aku pergi, padahal aku duduk tepat di depanmu. Kamu itu lucu, Ruan.
Hari itu Ruan, di kedai kopi yang sama kamu mengatakan cinta. Dan aku ingat, seminggu kemudian tepat pada hari ulang tahunku kamu memberikan origami kertas berbentuk hati, 'selamat ulang tahun, duniaku.' waktu itu kamu jujur kalau keadaanmu susah, aku sama sekali tak mempermasalahkan hadiah apapun yang kamu berikan, karena bagiku yang penting itu adalah kehadiranmu.
Kertas itu aku pajang, kupandangi setiap malam sambil bilang aku beruntung memilikimu, Ruan.
Tapi hari-hari yang indah itu berganti, seperti siang yang berganti malam. Minggu yang berganti bulan, pada akhirnya hari-hari yang membahagiakan itu juga berakhir begitu mengenaskan.
"Aku melihatnya Reu, sungguh. Aku melihatnya berciuman dengan perempuan lain di kedai kopi itu." pada awalnya aku marah, aku tidak percaya dan menyangkal segalanya. Aku meminta bukti pada temanku yang telah menuduhmu, dia memberikannya. Kakiku mulai gemetaran, foto itu teramat jelas, karena kemeja biru yang kamu pakai di dalam foto itu, adalah kemeja pemberianku. Kemeja yang aku jahit sendiri meski tertusuk jarum berkali-kali.
Aku selalu ingat, kita bertengkar hebat atas hal itu. Tanganku gatal sekali ingin menampar wajahmu, tapi malah kugunakan untuk menyeka tangisku yang tak sudah-sudah. Kamu berdalih, berkata beribu alasan. Menyangkal, menyangkal, dan terus menyangkal. Dan entah untuk hal apa, aku percaya, memaafkan kesalahanmu dengan janji kamu tak mengulangi hal yang sama. Perasaan itu tanpa kusadari telah bertumbuh begitu besar, ketika aku ingin memangkasnya dengan paksa, perasaan itu malah ganas menyebar. Tak memberi ruang, dan membuatku sesak karenanya.
Hari itu aku benci Ruan, benci pada diriku sendiri yang memintamu untuk tetap tinggal, di posisi seharusnya aku yang pergi meninggalkanmu.
Kamu memberikanku pelukan yang hangat setelah pertengkaran hebat itu, kakiku yang gemetaran perlahan kembali normal. Dan aku juga benci mengapa aku begitu nyaman berada dalam pelukanmu.
Temanku marah karena atas semua kesalahanmu, aku tak pergi. Aku terbata menjelaskan bahwa aku yang memintamu tetap tinggal, dia memelukku yang tengah menangis.
"Cinta itu bukan menyakitkan seperti ini Reu, ini namanya luka. Bukan cinta." aku tersedan, bilang padanya bahwa kamu akan berubah. Tapi temanku menolak untuk percaya, katanya kamu akan tetap sama.
Lalu hari-hari berlalu seperti sedia kala, aku pun selalu memaksa hatiku untuk mengugu rasa percaya. Percaya bahwa kamu akan berubah sedikit banyaknya.
Dan ternyata temanku benar. Kali ini aku sendiri yang melihat hal yang menyakitkan itu, lewat ponselmu yang berdering waktu kamu pergi ke toilet, dan aku mengangkat panggilan itu karena ponselmu berdering berkali-kali. Aku masih ingat betapa campur aduknya hatiku waktu menerima panggilan itu, sebuah suara perempuan yang mendayu sambil memanggil kamu dengan kata sayang.
Ruan, aku mematikan panggilannya, tak kuasa. Maaf karena aku telah lancang mengobrak-abrik isi ponselmu, banyak yang kutemukan di ponsel itu, Ruan.
Kebenaran, kebenaran yang menyakitkan.
Kebenaran yang paling menusuk jantungku bahwasanya ketika kamu memberiku origami kertas, dan kamu bilang kalau keadaanmu susah, tapi yang sebenarnya kamu pergi keluar dengan perempuan lain. Membelanjakannya baju dari brand ternama.
Hatiku ngilu, terasa tercabik-cabik dari segala arah. Aku tidak seberarti itu ya di matamu?
Aku lagi-lagi gemetaran, kuletakkan ponselmu sembarangan, aku lantas bergegas pergi. Karena nanti, ketika melihat wajahmu aku takut akan goyah. Ruan, lihatlah pada saat aku mengetahui kebenaran paling menyakitkan itu, aku tak kunjung bisa menghapus rasaku padamu.
Hari-hari itu Ruan, kamu mencoba menghubungiku, berkali-kali sampai aku muak mendengar bunyi ponsel atau ketukan pintu. Ketika melihat origami itu, perutku bergejolak, aku memuntahkan cairan bening, tentu saja. Aku tidak makan berhari-hari.
Bagaimana bisa, Ruan? Melihat makanan aku teringat wajahmu yang tersenyum saat melihatku makan. Ruan, aku sekarat. Mungkin akan mati kalau temanku tak mendobrak paksa kamar kosku. Menemukanku yang hampir mati dengan kondisi menyedihkan.
Pada akhirnya aku masuk rumah sakit. Temanku menangis di sisiku, tak pernah kudengar tangisannya yang sekeras itu. Ruan hatiku sakit, sakit sekali sampai yang bisa kulakukan hanya diam dan menangisi keadaan. "Reu, luka adalah seni kehidupan. Sejauh apapun kata bahagia berlari di ujung selalu menunggu luka yang akan mengucapkan kata selamat datang. Tapi Reu, kita tidak pernah boleh kalah dari luka, boleh jadi esok hari pada akhirnya, kita menang. Dan luka akan berucap selamat tinggal." Mendengar katanya, aku menangis, tergugu atas semuanya.
Kalau sekarang aku masih hidup Ruan, itu berkat temanku, kalau saat ini aku nyata di depanmu di kedai kopi ini, semuanya juga berkat temanku. Kalau aku masih mau bertemu denganmu untuk yang terakhir kalinya, ini semua juga berkat temanku.
"Kamu mungkin sudah berubah, Ruan. Tapi aku juga enggan, enggan bersama sang pemberi luka." Kutatap wajahmu yang tak lagi teduh, senyummu memudar. Aku tersenyum kecut, "Aku berharap, kalau nanti takdir kembali jahat mempertemukan kita, aku harap kita enggak memulai kembali. Karena kisah kita cuma akan terjadi satu kali tanpa perlu pengulangan."
"Ini semua untukmu Ruan, dariku yang tak sudi mengucap terima kasih."
Saat itu aku sadar, separuh hatiku selalu meminta kamu untuk tetap tinggal. Tapi saat itu aku juga sadar, kalau hatiku yang separuhnya terlalu berharga untuk dikorbankan. Di detik terakhir itu aku selalu mengenang bahwa daripada mencintaimu dengan sebegitu besarnya, aku seharusnya mencintai diriku sendiri lebih besar dari apapun. Ruan, aku selalu berharap kamu baik-baik saja, tapi tidak untuk bahagia.
–————akhir dari cerita
Udah pengen ngepost yang ini dari lama tapi emang belum sempat, terus menyesal sekali baru ngepost ini karena dari awal sampai akhir ini tuh cheff kiss!
Rapi banget kepenulisannya, rapi banget pilihan katanya.
Salsa, kalau kamu baca sampai di sini sekarang, kamu harus tahu kalau Bu Diana selalu suka baca tulisanmu💕rating: jangan berhenti menulis!/100
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengarsip Karya
Short Story;karena apresiasi untuk sebuah karya tidak terbatas pada penilaian di rapor semata.