Tentang seseorang yang sungguh mencintaimu. Dia tidak pernah menjanjikan apa pun untuk membuatmu merasa paling dicintai, dia akan berkata aku disini untukmu, lalu membuktikannya.
Aku telah jatuh sejak lama pada laki-laki berparas menawan itu. Bahkan sejak pertama kali aku mendengar musik yang mengalun dari gitar tua miliknya. Sejak perayaan ulang tahun sekolah hari itu, aku tak lagi menoleh kepada laki-laki lain selain Yama.
Mungkin ini terdengar lucu, tapi laki-laki itu adalah pacarku. Hubungan kami berjalan dua tahun setelah dia dengan sikap amat aneh mengajakku berpacaran melalui semangkuk Ramen. Hari ini aku melihatnya, digerombol banyak perempuan lain. Itu hal yang lumrah, Yama yang baik dan suka membantu, ramah terhadap semuanya. Siapa yang tak akan jatuh cinta dengan sosok sempurna seperti itu?
Yama melihatku, senyumnya tersungging, aku balas tersenyum. Lalu melangkah patah-patah menjauhinya, sebenarnya Yama tak akan pernah marah kalau aku mendatanginya, menghalau semua perempuan yang bersikap manis di sekelilingnya. Tapi aku merasa tidak pantas melakukan semua itu. Bel istirahat pertama dibunyikan, aku membawa dua bekal kotak makan siang, melangkah memasuki ruang musik. Dan menemukan Yama di dalamnya sedang memainkan gitar, dia tersenyum melihatku, meletakkan gitarnya. Tangan Yama terentang, aku menghampiri Yama dan memeluknya dengan amat erat.
Setelah itu aku hanya memandangnya makan dengan bekal yang telah kusiapkan, lekat; karena aku selalu jatuh dengan laki-laki ini. Yama menatapku, mengelus kepalaku dengan lembut sambil membisik, "I love you." dan aku balas mengangguk kepada Yama.
"Kamu pacaran kan sama Yama?" sahabatku, Vien, tiba-tiba menyodorkan pertanyaan itu. Aku menatapnya dengan sedikit bingung. Maksudnya di antara seluruh murid di sekolah kami, Vienlah yang paling tahu tentang aku dan Yama.
"Maksudnya itu, Rika. Kenapa kamu enggak pernah marah waktu lihat Yama dideketin banyak cewek kayak gitu? Apalagi tadi di kantin aku lihat ada yang gelendotan tauuu! Najis banget deh!"
Aku tersenyum maklum. "Aku takut aja," jawabku aneh.
"Heh!" Rika memandangku tidak percaya. Matanya bahkan ikut melotot.
"Aku takut, Vien. Kalau perasaan Yama bakal berubah kalau aku banyak ulah. Aku udah seneng dengan kenyataan Yama itu pacarku."
"Aku enggak pernah berharap lebih dari itu," lanjutku.
"Harusnya kamu berharap! kamu punya hak, kamu itu pacarnya Rik. Aku yang sakit ngelihat kamu sok kuat waktu Yama dideketin banyak cewek kayak gitu." Aku menggeleng, menepuk bahu Vien. Iya, aku merasa cukup meski hatiku selalu hancur di atas kata cukup itu.
Yama selalu bilang kalau aku berbeda, perempuan yang tidak banyak menuntut katanya. Dan Yama amat bersyukur mendapatkan perempuan sepertiku. Maka aku akan selalu berusaha untuk membuat Yama merasa bersyukur, dengan menjadi penurut atau pun tidak pernah menuntut.
Sama seperti hari ini, ketika seharusnya kami menghabiskan waktu bersama dengan sekadar berjalan-jalan di sekitar pusat kuliner ataupun hanya menaiki sepeda motor Yama dan berkeliling kota. Yama membatalkan janji itu sepihak, ada urusan organisasi yang mendesak. Dan aku lagi-lagi berusaha memahami, berusaha menurut, menatap sedih pantulan kaca yang menampilkan wajahku yang telah berpoles.
Vien selalu bilang bahwa hubungan kami sakit. Katanya hanya aku yang berusaha. Hanya aku yang bertahan dan Yama seakan abai dengan semua itu. Pikiranku berkecamuk, apa mungkin semua itu benar?
Aku pada akhirnya menangis, mengabaikan panggilan dari Yama di ponselku yang berdering berkali-kali.
Mataku masih sembab saat aku melihat Yama di kantin. Di sampingnya ada seorang perempuan yang kuketahui sebagai anggota di organisasi yang diketuai Yama. Sengaja mendekatkan dirinya pada Yama, meskipun Yama tak terlihat hendak merespon perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengarsip Karya
Historia Corta;karena apresiasi untuk sebuah karya tidak terbatas pada penilaian di rapor semata.