Aku merupakan seseorang yang beruntung karena bertemu dengannya. Dia yang membuatku jatuh cinta, dia juga yang membuatku kecewa, serta dia pula yang membuatku belajar akan apa itu kasih cinta. Aku Andara, seorang pemuda biasa berusia 16 tahun, yang sekarang menginjak bangku SMA.
Ya, tempat orang-orang menjalin kisah kasih hubungan asmara.
Saat itu matahari terbenam, aku beranjak pulang. Tetapi di jalan aku malah menabrak seseorang. Buku dan kertas yang ia bawa jatuh terbang.
“Eh, maaf," ucapku spontan. Segera aku bantu dia karena kasihan, tapi saat itu tak sengaja kulihat wajahnya yang tampak seperti bunga mawar.
“Terima kasih.” Kata-kata yang ia lontarkan membuat hatiku erupsi. Sekali lagi kupuji dalam hati paras dan suaranya yang seperti bidadari.
“Maaf udah nyenggol tadi, btw namamu siapa?” Kucoba tuk berani menanyakan nama sang bidadari.
"Eh iya ngga apa-apa kok. Namaku, Andhini."
Andhini, nama yang luar biasa indah bahkan melebihi cahaya bintang-bintang di malam yang sepi. Tak kusangka ada seseorang yang secantik ini di sekolahku. Kucoba tuk ulur waktu dengan berbasa-basi sembari menatap matanya yang membinar bagai matahari, kulitnya yang putih bagai susu. Entah majas apalagi yang pantas bagimu, Yang Muliaku.
“Halo? Kamu gapapa? Aku pulang dulu ya, kasian papaku nungguin." Aku pun sadar dari halu setelah ia melambaikan tangannya tepat di depan mataku. Kulihat ia berlari, sejujurnya aku tak ingin ia pergi. Namun itu bukan masalah bagi diriku. Akan kupastikan kita akan berdansa suatu hari nanti.
Besoknya kuterbangun dan menjalani hariku seperti biasa. Hanya ibuku di sana berdiri sedang memasak sarapan untukku. Dia hanyalah seorang single parent yang patut dikasihani. Ayah meninggal ketika aku berumur 5 tahun. Kemudian di sini hanya akulah yang bisa menjadi pemberi semangat untuknya.
Untungnya tidak seperti di kisah-kisah novel. Keluarga kami tidak mengalami kekurangan dalam hal finansial. Itulah yang membuatku menjadi anak yang puas akan kehidupan. Itu membuatku bisa bebas melakukan apapun yang aku mau di kehidupan ini.
Lalu duduklah aku seperti biasa menikmati makanan ibuku. Hal lain dari ibuku, ia seseorang yang religius. Dia mengingatkanku untuk berdoa sebelum melakukan apapun. Itu membuatku menjadi seseorang yang terkendali dan bisa berpikir sebelum mengambil tindakan.
”Bu, apa jadinya jika aku mencintai seseorang?”
"Hmm... Jadi kamu suka seseorang ya sekarang?"
"Hehe iya bu".
"Cinta itu indah tapi kadang menyakitkan. Ibu dulu juga begitu, tapi ibu memaksakan diri agar tidak jatuh cinta agar terhindar dari zina".
"Jadi apa saran ibu untukku?"
Aku mendengar hal tersebut cukup kaget dan sedikit kecewa apalagi setelah beliau berkata, "Jangan dulu ya, Nak."
Aku pun bimbang karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karena aku merasa cintaku sudah sedalam lautan sehingga susah bagiku untuk menghindar.
Di sekolah aku bertemu lagi dengannya. Lalu seperti yang aku bilang, cintaku sudah sedalam lautan. Kemudian kudekati dia, dan kuajak ia berbicara.
"Hai, Andhini, kan? Aku yang kemarin."
"Ohhhhhhh, kamu yang kemarin kesenggol aku kan? Aku kemarin udah minta maaf gak si? Maaf ya huhu... "
Cukup kaget kulihat reaksi yang dia berikan. Kukira dia akan sedikit lebih dingin, tapi dia malah memberiku kehangatan. Rasanya hidupku diwarnai oleh cinta.
Hari-hari pun berlalu, semakin lama aku semakin dekat dengannya. Beberapa kali kuajak ia menonton film, jalan-jalan di taman, mengobrol di cafe.
Kemudian suatu hari kutetapkan hati dan kuberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan yang telah kupendam selama beberapa minggu. Kuberkata, "Aku cinta padamu".
Sambil kuberikan bouquet yang telah aku bawa. Kuperlihatkan cinta yang seakan tiada yang bisa menandinginya. Hatiku bergejolak letusan gunung berapi, menunggu jawaban yang akan Andhini beri.
"Aku juga mencintaimu".
Aku sangat bahagia saat itu hingga jiwaku lepas dan menari di atas langit. Apakah jantungku masih berdetak saat ini?
Lalu setelahnya aku menjadi sangat bahagia dan lebih bahagia setelah mengenalnya dan keluarga lebih dalam.
Suatu malam, saat itu sedang hujan deras disertai petir. Tapi malam itu masih tetap normal seperti biasa. Aku dan ibuku duduk sambil menikmati makan malam.
Saat itu aku coba memberanikan diri sekali lagi, karena sejujurnya aku belum bercerita tentang Andhini. Aku terlalu takut untuk mendengar jawaban Ibu.
"Bu, aku ingin cerita tentang sesuatu... "
"Oh iya nak, silahkan"
"Sebenarnya, aku mempunyai pacar. Namanya Andhini, dia orang yang baik. Keluarganya juga—"
"Nak, kenapa? Bukankah ibu sudah bilang?" Ibu dengan cepat pergi dengan kecewa dan menyuruh untuk pergi ke kondangan tetangga demi menjadi pengalih perhatian.
Di perjalanan sambil ditemani hujan, aku bingung. Di satu sisi aku sangat bahagia sampai dunia itu terasa seperti bola sepak bagiku. Tapi di sisi lain kulihat ibuku yang sedih dan kecewa.
Karena apa gunanya kebahagiaan ketika penyebab kebahagiaanku tidak menyukainya? Sejujurnya dari awal aku tau yang kulakukan itu salah, tapi aku tetap memaksa. Lalu akhirnya berujung pada ibu yang kecewa.
Di situ aku mulai meragukan cintaku, apakah ini benar atau salah? Hingga akhirnya aku sampai di tempat kondanganku.
Di situ seperti biasa aku melakukan aktivitas kondangan, sampai akhirnya sang pembicara mulai sedikit berceramah. Beliau berkata, "Banyak pemuda yang hanya ingin nikmatnya saja, padahal ketika mereka berpacaran. Orang tua mereka jadi taruhan."
Di situ aku sampai tersedak mendengar kata-kata yang langsung menusuk dan membuatku hampir menangis. Akhirnya aku menetapkan diri sekali lagi.
Namun sebelum itu aku mulai belajar tentang hukum berpacaran dari kajian ulama dan ustadz. Sampai akhirnya aku membuat kesimpulan.
Pacaran adalah hal yang salah, itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan istri atau mahramnya sendiri.
Akhirnya aku memutuskan sesuatu. Besoknya aku mengajak Andhini untuk bertemu dan menjelaskan kebimbanganku. Aku tidak ingin secara tiba-tiba mengajak ia untuk putus.
Setelah Andhini mendengarkanku, ia pun mengerti. Lalu besoknya secara mengagetkan orang tua Andhini datang dan membahas sesuatu dengan ibuku secara empat mata.
Setelahnya Ibu dan ayah Andhini menjelaskan bahwa aku telah diikat sebuah perjodohan dengan Andhini. Hal itu membuatku bahagia, tapi karena kami masih belum menjadi suami istri. Kami tidak boleh menjadi terlalu dekat.
Kemudian suatu hari aku dan Andhini pun menikah. Kami mempunyai dua anak. Keluarga kecil kami bahagia.
Kesimpulan ceritaku ialah tiada yang tidak mungkin ketika kita tersadar atas apa yang kita lakukan. Tetap bersyukur dan berdoa sesuai dengan syariat Islam yang ada. Jangan berdoa untuk bersama dengan seseorang sementara engkau bukan mahramnya.
———akhir dari cerita
Meski terhitung penuh majas hiperbola, tapi pilihan diksinya pas. Jadi, senyum-senyum sendiri bacanya😂
Terus amanatnya juga tersampaikan dengan halus dan tidak dipaksakan gitu menurut sayarating: Yang Muliaku/10
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengarsip Karya
Cerita Pendek;karena apresiasi untuk sebuah karya tidak terbatas pada penilaian di rapor semata.