"Assalamualaikum Ma, gimana hasilnya?"
Mama yang melihat menantunya datang tersenyum, "Wa'alaikummussalam, masih terapi di dalam sama terapisnya."
Diva mengangguk, setelah mengantar Alara dan Mama mertuanya Diva harus ke sekolah. Karena tidak mungkin membolos, apalagi mendadak. Jadi Diva mengajar sebentar sebelum akhirnya ijin untuk menemani Alara terapi.
"Mama tidak menemani Alara di dalam?" Tanya Diva menatap bingung Mama mertuanya.
"Mama tidak mau melihat Alara yang merengek. Mama cukup menunggunya disini."
"Apakah biasanya Alara selalu seperti itu?"
"Ya, Alara selalu menolak terapi. Menurut Alara, kakinya terasa sakit jika harus dipaksa menggunakan alat yang tidak dia sukai. Tapi Mama harus melakukannya, semua demi kebaikan Alara. Jika Mama masuk, maka Alara akan terus merengek dan meminta pulang."
"Tapi tadi Alara tidak menolak." Ingat Diva melihat dirinya menyiapkan anaknya berdandan.
Mama tersenyum lembut, "Itu karena kamu,"
"Diva?" Tunjuk Diva pada dirinya sendiri.
Mama mengangguk pasti, "Percayalah Nak, kamu adalah ibu impian Alara. Selagi ada kamu, Alara akan baik-baik saja. Selama ini, Alara jarang sekali dirumah. Alasannya hanya satu, Mama tidak membiarkan Alara terluka karena sikap dingin Ghibran. Anak Mama itu perlu Mama ancam hanya sekedar menjemput Alara sepulang sekolah."
"Ya, Mas Ghibran memang seperti itu." Kali ini Diva memusatkan perhatian pada ibu mertuanya, "Tapi Mama jangan khawatir, Diva akan berusaha sekuat mungkin untuk keluarga Diva."
"Mama pasti akan selalu mendukung. Mama akan berada di garda terdepan membela kamu dari anak Mama sendiri."
Diva tersenyum haru, setelah kematian kedua orang tuanya Diva merasakan kembali bagaimana perhatian yang dulu ia rindukan kini ia dapatkan. Sungguh, rasanya Diva tidak percaya. Memiliki ibu mertua yang baik padanya.
"Makasih Ma, Diva jadi ngerasain gimana rasanya punya ibu." Diva memeluk ibu mertuanya.
"Mama adalah ibu kamu Diva, jangan ragukan itu. Bahkan rasa sayang Mama ke kamu melebihi rasa sayang Mama ke Ghibran." Ucap Mama menepuk pelan punggung Diva.
"Mama jangan gitu, nanti Mas Ghibran cemburu." Kata Diva seraya tertawa kecil.
"Biarkan saja, justru biar anak Mama tahu rasa!"
Keduanya tertawa bersama. Mengurai pelukan saat pintu ruang terapi terbuka. Disana menampilkan seorang asisten terapis yang membantu proses terapi Alara. Sepertinya terapi hari ini usai lebih cepat.
"Keluarga dari Anak Alara silahkan masuk." Katanya.
Sontak Mama dan Diva bangkit dari kursi masuk menuju ruang terapi. Disana, terlihat Alara yang masih tiduran di brankar menahan isak. Melihat kedatangan sosok yang ia sayangi, membuat bocah kecil itu bergegas menghapus jejak air mata yang tertinggal.
"Silahkan duduk." Kata Dokter mempersilahkan keduanya duduk.
Namun, berbeda dengan Diva. Perempuan berhijab merah marun itu langsung menghampiri Alara. Tersenyum lembut dan mengusap kepalanya. Membantu anaknya bangkit dari atas brankar.
"Bunda bantu ya, Sayang." Alara mengangguk, tampaknya gadis kecil itu enggan bersuara karena takut kelihatan menangis. Diva membiarkan saja, meski Alara tidak pandai menutupi.
"Jadi, ini Bundanya Alara ya?" Tanya Dokter, yang dibalas anggukan oleh Alara.
Diva yang merasa disebut menatap bingung, "Memangnya ada apa ya, Dok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa
ChickLit📌#2 Mas Duda series Terlahir dengan istimewa tak membuat Alara Diba Afsana putus asa dan minder di tengah kalangan anak seusianya. Sejak kecil, Alara di titipkan di rumah sang Nenek karena Papa yang sibuk bekerja. Sedangkan Mama? Alara tidak menget...