Pulang terapi Alara benar-benar tertidur pulas hingga sore menjelang. Mama mertuanya sudah kembali sejak mereka tiba di rumah. Melihat ponselnya yang sejak tadi sunyi, Diva mengeceknya. Pesan darinya belum terbalaskan, biasanya Mas Ghibran selalu membalas meski hanya satu kata. Tapi, sejak tadi pagi Diva belum mendapat kabar apapun.
"Mungkin Mas Ghibran benar-benar sibuk." Gumamnya.
Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju kamar Alara. Di bukanya pintu bercat cokelat dengan aksesoris bertuliskan Alara di bagian depan pintu. Di atas ranjang, Diva melihat Alara tidur dengan tenang. Seolah tak memiliki beban apapun.
Perlahan, Diva duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya membelai halus rambut Alara. Gadis kecil ini benar-benar cantik meski memiliki keistimewaan. Sebelah kakinya yang tumbuh tak sempurna membuat jalannya terseok-seok.
Alara bukan lah anak yang harus di benci, Alara adalah anak yang harus di lindungi. Hidupnya sama berharga dengan anak-anak lain di luar sana.
"Begitu besar Allah menyayangimu, Alara." Ucapnya parau.
Menikah dengan Mas Ghibran menjadikan Diva tahu, jika Alara tumbuh dan besar tanpa tangan kedua orang tuanya. "Apa karena keistimewaan yang kamu miliki membuat Mama mu pergi?"
"Sungguh, dia adalah ibu yang rugi." Menyeka air mata yang sudah menganak sungai, Diva mengulas senyum.
"Selagi ada Bunda, semuanya akan baik-baik saja. Bunda berjanji, akan membuat Papa menyayangi Alara. Bunda janji." Diva menatap wajah Alara yang masih tertidur, tak sedikit pun terganggu dengan belaiannya.
Tiba-tiba Diva teringat sesuatu, pembicaraannya bersama Mama mertua. Permintaan Mama mertuanya sungguh membuat Diva berpikir puluhan kali.
Menunda anak?
Bahkan Mas Ghibran selalu menyentuhnya hampir tiap malam, membuat Diva kewalahan dengan nafsu suaminya. Mas Ghibran begitu terobsesi memiliki anak dari rahimnya. Berbeda dengan Mama mertuanya yang meminta agar menunda anak, hingga Mas Ghibran menerima kehadiran Alara.
Diva mengalihkan pandangan ke sekeliling kamar Alara, kamar yang tampak polos hanya di isi dengan meja belajar dan beberapa boneka. Selain itu banyak buku yang berjejer rapi di lemari baca. Kamar yang terlalu dewasa untuk anak seusia Alara. Seharusnya hanya mainan yang mengisi kamarnya, bukan buku yang bahkan nyaris satu lemari penuh.
Melihat Alara sekali lagi, Diva telah mengambil sebuah keputusan besar yang tentu berdampak pada pernikahannya. Menguatkan diri, Diva hanya ingin yang terbaik. Dan Diva merasa keputusan yang ia ambil adalah yang terbaik.
"Bunda sayang Alara, Bunda berjanji akan membuat Papa menyayangi Alara." Bisiknya lembut sebelum meninggalkan kamar Alara.
"Maafkan aku Mas, aku memilih keputusan besar tanpa melibatkan mu. Maafkan aku..."
Bergegas Diva pergi sebelum suaminya pulang. Tekadnya sudah bulat, ia akan memprioritaskan Alara diatas keinginan suaminya. Keluarga bahagia adalah impian putri kecilnya.
Diva berjanji akan mengabulkannya.
***
Malam menjelang begitu cepat, saat dirinya sibuk memasak bersama Bi Iyul ternyata Mas Ghibran mengabari jika pria itu pulang besok pagi. Diva mengiyakan, mengatakan untuk tetap berhati-hati dan jaga kesehatan.
Kata Mas Ghibran, terjadi perdebatan panas di tengah rapat bersama pemegang saham. Diva mengangguk saja karena tidak mengerti, yang terpenting suaminya pulang dengan selamat dan pekerjaannya diberikan kelancaran.
"Bunda, Papa pulang kapan?"
Alara, gadis itu menghentikan kegiatan berhitungnya. Ah, Diva lupa memberi tahu Alara jika Papanya diluar kota. Pasti Alara sangat cemas dengan keadaan Papanya.
"Maaf ya, Alara. Bunda lupa memberi tahu jika Papa diluar kota. Ada urusan pekerjaan disana." Jawab sebisa Diva.
"Jadi Papa tidak pulang ya, Bunda?"
Diva menggeleng, "Papa pulang besok pagi."
"Yaaahhhh, padahal Alara mau kasih lihat gambaran Alara yang kemarin." Diva menunduk mengusap kepala Alara, bocah perempuan itu nampak bersedih.
"Tidak apa-apa Alara, masih ada kesempatan lain."
"Tapi Bunda, Alara pengen liat Papa bangga sama hasil gambarannya Alara. Bunda Mita di sekolah bilang kalo gambaran Alara juara satu di kelas! Dan Alara mau tunjukin ke Papa!" Kata Alara bersemangat.
Diva tersenyum, "Iya, Bunda Mita juga bilang ke Bunda kalau gambaran Alara sangat bagus. Dan faktanya, Bunda lihat semua gambaran Alara di kamar bagus-bagus. Jadi Papa pasti bangga."
"Alara mau sesuatu dari Papa? Biar nanti Bunda sampaikan."
Alara, meninggalkan pensilnya. Kini perhatiannya teralihkan penuh menerawang, tampak berpikir sesuatu.
"Em, sebenernya Alara mau liat kebun binatang. Kata Bunda Mita, binatang disana banyak dan cantik-cantik! Alara ingin melihatnya Bunda!" Seru Alara bersemangat.
"Oh ya? Selain itu, apalagi yang Bunda Mita katakan tentang kebun binatang?" Tanya Diva menanggapi cerita Alara.
"Em, katanya ada lumba-lumba yang beratraksi? Memang ada ya Bunda? Bukannya, lumba-lumba itu hanya hidup di laut?" Diva tertawa kecil melihat rasa penasaran Alara.
"Beberapa kebun binatang memang ada pertunjukan seperti itu, tapi tidak semua kebun binatang ada."
"Benarkah Bunda?" Alara kian dilanda penasaran.
"Alara mau kesana? Ke kebun binatang yang ada atraksi lumba-lumbanya?" Pertanyaan disambut suka cita oleh Alara.
"Mau Bunda! Alara mau!"
"Boleh, nanti Bunda sampaikan ke Papa ya."
"Benar ya Bunda!"
"Benar dong Sayang, nanti kita pergi bertiga ke kebun binatang."
"Asyikkkk! Saaaaaaayang Bunda!" Alara menghambur ke pelukan Diva. Tentu saja perempuan berhijab itu menerima pelukan Alara suka cita.
"Bunda juga sayang Alara." Diva mengecup kepala Alara penuh kasih sayang.
Tiba-tiba Alara melepas pelukan, "Kalau burung ini ada di kebun binatang tidak Bunda?" Alara mengambil buku mewarnanya.
Alara menunjukkan satu gambar hewan yang belum di beri warna, "Ini Bunda, di kebun binatang ada burung ini tidak?"
"Bisa Alara sebutkan pada Bunda, namanya burung apa?"
"Em, Cen-de-ra-wa-sih?" Eja Alara sesuai alphabet di atas gambar.
"Benar, Alara pintar sekali!" Puji Diva membuat Alara tersenyum puas, "Ini namanya burung Cendrawasih, salah satu burung langka yang dilindungi. Ekornya memiliki warna yang sangat indah."
Alara nampak antusias, "Alara jadi penasaran sekali, seperti apa warnanya."
Nampaknya Diva mulai paham, "Jadi, Alara penasaran dengan warna burung Cendrawasih? Makanya gambar burung Cendrawasihnya masih polos?"
Tanpa ragu Alara mengangguk, bocah perempuan itu membalikkan gambar hewan lain yang masih polos. "Gambar hewan yang belum pernah Alara lihat belum Alara warnai."
"Lihat Bunda! Disini juga ada ti-kus, ada je-ra-pah, ada ba-dak, dan banyak hewan lain! Alara baru memberikan warna pada hewan kucing dan anjing, soalnya disini banyak banget." Alara begitu antusias menunjukkan gambarnya, Diva tentu tidak keberatan.
"Baiklah Sayang, pelan-pelan gambar yang masih polos kita warnai bersama! Bunda pasti bantu Alara!"
"Sayang Bunda banyak-banyak!"
"Sayang Alara lebih banyak dari banyak-banyak!" Balas Diva mengecup Alara bertubi-tubi.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa
ChickLit📌#2 Mas Duda series Terlahir dengan istimewa tak membuat Alara Diba Afsana putus asa dan minder di tengah kalangan anak seusianya. Sejak kecil, Alara di titipkan di rumah sang Nenek karena Papa yang sibuk bekerja. Sedangkan Mama? Alara tidak menget...