ACDS 04

994 174 8
                                    

Ara menghempaskan tubuhnya ke sofa, rumahnya yang besar tampak kosong. Bahkan sang nenek yang biasanya menyambut di depan pintu tidak ada sama sekali.

"Nenek..."

"Mama..."

"Papa..."

Ara memanggil seluruh anggota keluarganya, tapi setelah sekian lama menunggu tidak ada balasan dari panggilannya.

"Kayaknya lagi keluar"

Karena lelah seharian di sekolah belajar Ara bangkit lalu menuju ke kamarnya.

Langit sebentar lagi hitam, dia akan mandi sambil menunggu kedua orang tua serta neneknya kembali.

Sesudah mandi, Ara keluar dengan tubuhnya yang terlilit handuk. Kulitnya yang seputih salju terekspos dengan bebas yang dapat membuat darah mendesir hebat, beruntung tidak ada siapapun selain dia di kamar ini.

Ara bersenandung kecil ketika tangannya bergerak membuka lemari, mencari-cari pakaian apa yang nyaman untuk di pakainya malam ini, dan pilihannya jatuh pada kaos oblong berwarna hitam serta celana pendek yang tidak mampu menutupi seluruh pahanya.

Setelahnya, dia dengan anteng merebahkan tubuh ke atas kasur empuk. Mungkin karena terlalu lelah, hanya dalam hitungan menit matanya terpejam dan dia jatuh tertidur.

"INI SALAH KAMU!!!"

Tidak tahu berapa lama dia tidur, Ara terbangun karena mendengar jeritan mamanya yang melengking.

Dengan kepala pusing karena bangun dalam keadaan terkejut Ara turun dari kasur dan berjalan keluar kamar, mencari sumber suara sang mama.

Langkah Ara membawanya ke ruangan kerja sang papa.

Suasana di dalam ruangan tenang, suara mamanya yang berteriak tidak lagi terdengar.

Tangan kanan Ara terangkat, ingin mengetuk pintu tapi suara vas yang terhempas menghentikan gerakannya.

"Berhenti! Kamu mau membuat rumah kita jadi kapal pecah!?"

"Ini bukan rumah kita lagi! Ini milik bank!" Itu adalah suara marah mama Ara.

"Pelankan suara kamu, gimana kalau Ara dengar?"

Tampaknya, kedua orangtuanya belum tahu jika dirinya sudah pulang sejak tadi.

Tubuh Ara diam membeku, tidak ingin bergerak sama sekali takut jika kedua orang dewasa di dalam sana menyadari kehadirannya.

"Gak bisa pelan! Sekarang gimana? Rumah kita disita bank, orang-orang juga tau kalau kamu korupsi. Kita tinggal nunggu polisi dateng dan bawa kamu pa!"

"Maa, itu sebabnya aku ngajak kamu dan Ara buat kabur-"

"Dan ninggalin mama kamu di panti jompo!? Gila kamu pa!"

"Arrghhh, aku gak punya pilihan lain. Sekarang yang paling penting kita bisa pergi dari sini"

"Aku gak mau hidup miskin"

"Kamu pikir aku mau?"

Tidak ada suara lagi, Ara yang shock berjalan menjauh dari ruang kerja papanya. Jantungnya berdegup kencang, dia yang masih belum bisa mencerna semua isi percakapan orang tuanya jatuh terduduk di sofa.

"Sayang udah pulang?"

Wajah Ara kaku saat menoleh ke samping, mamanya datang dengan senyum lebar. Ara dengan sekuat tenaga berusaha membalas senyuman mamanya.

"Udah tadi kok ma, tapi ketiduran. Ini baru bangun, nenek mana ma?"

Senyum mama Ara retak, dia memalingkan wajahnya ke tempat lain tidak ingin menatap wajah anak tunggalnya itu.

"Nenek lagi liburan. Kamu udah makan? Mau mama masakin ngga?"

"Suruh mbak aja ma"

"Mbak udah berhenti kerja sayang"

"Kenapa?"

"Gak tau, bentar yah mama mau masak dulu"

"Emang mama tau caranya masak?" Tanya Ara memastikan, sudah bukan rahasia lagi jika sang mama tidak tahu caranya masak.

"Bisa dong sayang, kan mama-"

Dor!

Suara nyaring terdengar menggema diseluruh rumah.

Ara dan mamanya saling berpandangan sebelum bergegas berlari ke ruang kerja.

Ketika membuka pintu...

"Papa!"

"Mas!"

Ara dan mamanya berlari mendekat ke kepala keluarga mereka yang terduduk di kursi kerjanya dengan jidat yang berlubang dan darah yang mengalir.

Kepala Ara berdengung kuat, dia tidak bisa bergerak bahkan ketika mamanya menarik pergelangan tangannya meminta dia untuk memanggil ambulance.

"Hiks mas bangun, jangan tinggalkan kami begitu saja hiks"

Lutut Ara lunglai, dia terjatuh ke lantai dengan mata sipitnya yang berkaca-kaca.

"P-ppa...hiks..."




•••



Pagi hari, kematian walikota karena bunuh diri tersebar dengan cepat. Beberapa media sosial juga membicarakan kematiannya dan juga tentang korupsi yang dia lakukan selama menjabat.

Mama Ara melakukan banyak hal agar wajah sang putri tidak tersebar.

Ara sudah sedih karena papanya yang melakukan bunuh diri, dia tidak ingin menambah luka pada putrinya karena mendapatkan hujatan dari orang-orang di sekitar.

Ketiga teman Ara yang mendengar berita kematian papanya hanya mengirim pesan dan tidak berani datang, sedangkan guru-guru yang memang dari awal tahu jika Ara adalah anak walikota korup menutup bibir rapat-rapat.

Dunia Ara berubah mendung.

Sudah 1 minggu sejak kematian papanya, yang dia lakukan hanya mengurung diri di kamar dan tidak melakukan apapun.

Ceklek...

Pintu kamarnya terbuka pelan, Ara yang tengah menatap keluar jendela menikmati gerimis mengalihkan pandangannya.

"Sayang, mama mau bicara"

"Bawa nenek pulang dulu baru mama boleh bicara"

Mendengar nada memerintah dari putrinya, wajah mama Ara berubah masam. Hidupnya sudah berat sejak kematian sang suami, tidak lama lagi dia dan Ara harus keluar dari rumah ini. Jika harus membawa sang mertua ikut kemana pun mereka pergi, itu hanya akan menyulitkan mereka.

Mama Ara menggeleng tegas.

"Kita tidak punya simpanan banyak, besok orang dari bank bakal datang dan nyuruh kita pergi. Kamu mau nenek hidup susah juga? Di panti, papa udah bayar mahal supaya nenek bisa hidup nyaman sampai meninggal"

"Ma!!!"

"Apa lagi? Itu yang terbaik sekarang. Ara kita bukan lagi orang kaya, keluarga kita jatuh miskin. Jangan membuat semuanya rumit, mending beresin barang-barang kamu dan masukin ke koper. Besok pas orang bank dateng kita langsung pergi"

Ara menggeleng. Rumah ini adalah saksi hidupnya, di rumah ini lah dia dilahirkan dan dipenuhi cinta. Ini adalah satu-satunya kenangan di mana dia bisa mengingat sang papa.

"Ara gak mau pergi, rumah ini peninggalan kakek"

"Kalau begitu bayar semua hutang papa kamu..."

Lelah berdebat dengan putrinya, mama Ara menyerah dan berbalik. Ada banyak hal yang harus dia lakukan sebelum pergi dari sini.

Sepeninggal mamanya, Ara meringkuk di dekat jendela dan mulai terisak panjang.

Jendela yang terbuka membuat beberapa rintik hujan terbang ke arahnya, memberi sensasi dingin dan menyakitkan.


Ada Chika Di SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang