32. Bentuk Kesenangan dan Perdamaian

40 17 0
                                    

Umur hubungan romantis aku dan Amira sudah melebihi satu minggu. Bisa dibilang, kami masih dalam fase merintis, yaitu menentukan apa saja yang akan aku dan Amira lakukan ke depannya nanti. Aku dan Amira belum sering bertemu untuk berkencan karena Amira tengah menyelesaikan penelitiannya di laboratorium (dan aku tentu mengerjakan tugas akhirku sendiri). Selain itu, dengan lewatnya satu minggu, Hari dan Muslih sudah bisa kembali ke ruang kesekretariatan. Aku mengangkat skors Hari dan Muslih dengan mengirim pesan pribadi langsung kepada mereka masing-masing. Hari membalas dengan "Oke, terima kasih" dan Muslih membalas dengan stiker penuh konfeti dan stiker gestur salam mempertemukan kedua telapak tangan. Kupikir dengan begini, kami damai-damai saja, tapi aku masih ragu karena "dingin"-nya balasan mereka. Maka dari itu, aku meminta Amira ke ruangan kesekretariatan BEM di suatu sore untuk bertemu denganku saat kesekretariatan sedang kosong. Aku berusaha tenang karena yang mau aku bicarakan masih ada sangkut pautnya dengan BEM.

Amira duduk di hadapanku, di depan rak buku bersamaku. Aku mencoba tersenyum. "Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik, alhamdulillah. Kamu sendiri, apa kabar?"

"Baik, baik," jawabku. "Tugas akhirmu?"

"Sedikit lagi dan aku akan keluar dari laboratorium," kata Amira. Senyumnya yang terkembang membuat pipinya tambah tembam, aku tahan tangan-tanganku agar tidak meraih dan mencubit kedua belah pipinya.

"Soal BEM, bagaimana bidang PSDM?"

"Fit and proper test untuk empat kandidat ketua ospek sudah dilaksanakan Jumat kemarin. Besok atau lusa akan diberitahukan siapa yang terpilih."

"Oke, bagus. Semoga tidak ada hambatan supaya kita bisa cepat ke langkah berikutnya. Ada lagi di PSDM? Apa ada yang mau kaulakukan?"

"Ehem." Amira berdeham sebelum menjawab. "Aku mau memastikan ke bendahara dan personalia kalau kita masih punya anggaran untuk acara "Bernyanyi Bersama Mahasiswa: Unjuk Suarasa" di akhir kepengurusan. Sudah waktunya aku dan Maura menagih sebelum kita yang ditagih-tagih."

"Oke. Bagaimana pendapat Hari dan Muslih sejauh ini?"

"Aku sudah tanya. Mereka sudah tentu menyilakan pelaksanaan proker itu," kata Amira. "Mereka benar-benar merasa bersalah. Kamu tidak berantem dengan Hari dan Muslih, kan?"

Aku menggeleng. "Enggak. Aku cuma mulai jarang melihat mereka langsung. Mereka pasti juga sedang mengerjakan tugas akhir mereka. Mereka sudah kembali ke sekre, kan?"

"Sudah. Aku pernah melihat Malik dan Muslih mendiskusikan sesuatu di sekre, mungkin soal jurusan mereka. Kalau Hari, aku belum lihat, tapi Boris si wakil bendahara BEM pernah mengobrolkan sesuatu terkait acara bernyanyi bersama itu di sekre bersama Hari, Boris memberitahuku. Makanya aku harus memastikan anggaran ke bendahara."

"Oh. Apa Malik bilang sesuatu ke kamu?"

"Tidak. Kami cuma saling menyapa sebentar saja, tidak berbasa-basi. Aku ke sekre hanya untuk mengembalikan buku puisi Pablo Neruda lalu keluar lagi."

"Begitu? Kalaupun ada yang mau kulakukan, aku ingin berbicara dengan Hari dan Muslih lagi."

"Oke. Kamu hubungi saja mereka," kata Amira. "Atau, kamu mau bantuanku kalau kamu masih merasa segan?"

"Tidak, tidak usah. Biar aku sendiri yang menghubungi langsung. Yang mau mengobrol intim, kan, aku dengan mereka."

Amira mengangguk menyetujui. "Harusnya, mereka sudah tidak ada jadwal kuliah di jam-jam segini. Coba kamu telepon mereka supaya kamu bisa tahu mereka di mana sekarang."

Aku menuruti. Aku mengeluarkan ponselku dari saku celana. Yang pertama kuhubungi adalah Hari. Telepon tersambung, tetapi Hari tidak mengangkatnya setelah aku menunggu.

Cinta Tanggung BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang