Bab 8 (21+)

37.3K 38 0
                                    


"Pak, sadar pak!"

Pria yang sudah dibutakan gairah itu, tak memperdulikan lawan jenisnya yang terus menolak.

Citra sudah kelimpungan mencari alasan agar bosnya sadar dengan kelakuannya yang sudah kelewatan.

Untung, derit ponsel mengganggu Pak Hendro yang siap menumpahkan seluruh gairahnya.

"Shhh, sial! Saya lupa matiin ponsel," gerutu Pak Hendro. Dia tahu, yang menelepon tidak lain adalah istrinya.

Layar ponsel tertera nama istrinya.

"Pulang sekarang, kalau gak ... jangan harap tidur di kamar!"
Terdengar suara melengking dari ponsel membuat yang mendengar menutup telinga.

Citra bernapas lega, karena kelakuan nakal bosnya tidak dilanjutkan. Uang yang sudah dipamerkan juga sudah diambil kembali sebelum langkah Pak Hendro meninggalkannya.

Syukurlah, diselamatin pawangnya buaya, pikir Citra yang ikut meninggalkan tempat itu, untuk menepati janjinya.

Setiba bertemu Alan.

"Huh, maaf gua lama.” 

Alan menatap aneh, seperti ada keganjilan diwajah wanita yang baru saja menyadari kesalahannya.

"Gapapa, tapi ... tumben rambut lu acak-acakan gitu, baju lu juga lusuh."

Citra tertawa kecil, seolah tak ada yang terjadi pada dirinya, mengalihkan pembicaraan tentang bar yang akan mereka kunjungi.

"Ayo, masuk ... jadi gak sabar gua," kata Alan mempersilahkan Citra untuk masuk terlebih dahulu.

Benar saja, saat dewasa Citra lebih berpengalaman masuk ke tempat-tempat seperti itu. Sedangkan Alan meski waktu sekolah nakal, dia malah banyak menghabiskan waktu luang di rumah untuk memainkan game.

Saat pertama kali masuk, dentuman musik menggema di ruangan yang juga penuh dengan kelap-kelip lampu yang menyilaukan mata.

“Nih.” Citra menyodorkan sebuah gelas kecil yang sudah dipesan sebelumnya pada seorang bartender muda. “Gua gak tahu alcohol tolerance lo seberapa. Jadi, mending lo minum yang kadar alkoholnya rendah dulu.”

Alan yang baru pertama kali mencicipi minuman memabukkan itu, masih beradaptasi saat cairan yang rasanya beragam tersebut melewati indera perasanya. Dia meringis dan Citra hanya tertawa kecil melihat respon Alan terhadap alkohol yang diberikan.

“Gimana?”

Alan terlihat bingung. “Lumayan.”

Citra tertawa lagi, dia manggut-manggut kemudian bertanya, “Lo kenapa? Tumben kayak orang frustasi.”

“Gua sakit hati, Ra. Sore tadi, pulang dari kantor gua dapat undangan yang digantung di handle pintu unit apartemen gua.”

“Undangan?” Citra terlihat bingung.

“Iya. Selina nikah sama Pak Bram.”

Selina adalah mantan calon istrinya dan Pak Bram adalah atasan Citra dan Alab di kampus. Singkatnya, Selina itu berselingkuh dengan Pak Bram hingga menyebabkan Alan marah dan menghajar pak Bram di kantor beberapa bulan yang lalu.

“Hah?! Lo jangan bercanda!” Suara Citra semakin keras, bagaimanapun suaranya kalah dengan kencangnya musik yang diputar dalam ruangan itu.

“Gua serius!” Alan menunjukkan undangan yang sengaja dibawa olehnya. “Nih, baca.”

Citra mengambilnya, dan memang benar nama calon pengantin yang tertera di lembar pertama undangan tebal itu adalah nama Pak Bram dan Selina. Wajah Citra tampak jijik bahkan dia melempar undangan itu ke hadapan Alan.

“Pasangan gila. Bisa-bisanya nikah padahal hubungan hasil selingkuh.” Citra menggerutu. “Kayaknya cuma sengaja bikin lo marah.”

Alan menatap Citra dengan tatapan bingung. “Buat apa, Ra? Setelah kejadian gua pukulin Pak Bram di kantor, gua udah tutup akses buat interaksi sama Selina lagi. Gua gak usik mereka, bahkan waktu Selina balikin cincin pertunangan pun, dia langsung kirim ke alamat apartemen gua tanpa konfirmasi sebelumnya.”

Citra menghembuskan nafas kasar mendengar sedikit penjelasan dari Alan. Citra seperti menganggap pasangan itu seperti pasangan gila karena berani berselingkuh kemudian berencana menikah, bahkan mengundang mantan tunangannya sendiri. Bukankah untuk melakukan hal-hal itu, diperlukan nyali yang besar?

“Gua gak habis pikir, gua rela perjuangin dia sampai akhirnya gua berani menghadap orang tuanya. Dia berulang kali minta gua nikahin secepatnya, giliran tinggal satu langkah lagi dan gua cuma minta dia sabar sampai kerjaan gua agak renggang, tapi dia gak bisa.” Alan memukul meja dan menenggak lagi satu gelas kecil yang sudah diisi ulang oleh seorang wanita yang melayani para tamu malam ini.

Citra menepuk pundak Alan, berusaha memberikan kekuatan pada laki-laki yang semulanya diselingkuhi, tapi sekarang justru diundang ke pernikahan mantan tunangannya sendiri.

“Padahal, gua udah jaga dia, Ra.” Alab kembali berujar penuh kekesalan. “Gua jaga tubuh dia, bahkan sejauh pacaran sama dia, gua cuma cium dia di pipi dan di dahi. Selebihnya nggak. Gua laki-laki normal, pastinya ada sedikit nafsu gua buat berbuat lebih sama Selina. Tapi, gua mampu menahan semuanya supaya gua bisa ngerasain yang namanya surga dunia itu sewaktu gua nikah sama dia.”

"Jadi selama lu pacaran, nafsu lu ... lu buang ke kamar mandi?" lawak Citra agar tak terhanyut kesedihan yang dialami temannya ini.





To Be Continue...

Vomen, dan folow, ya.
Akan ada giveaway novel ini versi cetak, nanti kami pilih acak yang paling antusias. 🤗

K 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang