Bab. 9

11.7K 25 0
                                    

"Sial lu, ya enggak lah!"

"Bo'ong?"

Wajah Alan memerah, berkata. "Apaan sih lu."

"Canda kok," balas Citra, yang melihat wajah temannya itu tersipu malu, mungkin candaan itu ada benarnya. Karena pertemanan mereka sudah terbilang lama, maka dari itu tak ada kecanggungan untuk bercanda sedikit nakal.

Detik yang berlalu, Alan tetap saja tidak bisa melupakan tentang masalah percintaannya, sambil meminta agar gelasnya diisi ulang.

Citra sedikit cemas, karena alcohol tolerance yang dimiliki Alan ternyata lumayan tinggi. Namun, dia tak bisa mencegah karena tak enak sedang mendengarkan curhatnya secara gamblang.

“Lo pasti bisa lewatin ini semua, Lan. Gua tahu, diselingkuhi itu pengalaman hidup paling menyakitkan dan mengerikan. Tapi, lo orang terpilih yang pasti bisa ngelewatin ini semua,” tutur Citra saat Alan mulai berlarut-larut dalam masalahnya. “Toh mereka memang udah seharusnya sama-sama. Mereka tukang selingkuh, jadi supaya gak ada korban berikutnya, lebih baik mereka menikah.”

Alan manggut-manggut, dia mengakui diri sudah move on dari Selina. Tapi, entah mengapa perasaannya kembali sakit saat mengetahui wanita itu akan menikah.

“Kalau lo diposisi gua, lo bakal ngelakuin apa?” tanya Alan.

Citra menggeleng. “Nggak pernah kebayang di kepala gua kalau orang yang gua sayang, gua cinta, atau bahkan sekedar gua suka, justru harus menikah sama orang lain.”

“Semoga lo nggak ngerasain, ya. Sumpah, rasanya sesak banget, Lan." Alan menatap Citra, matanya sudah terlihat berkaca-kaca saat mengatakan hal itu pada Citra.

Malam-malam yang panjang dan runyam, Citra menghadapi Alan yang jiwanya seolah terhujam dan ditikam. Laki-laki itu meluapkan semua isi hatinya, bahkan sisi lain yang sebelumnya tidak pernah diketahui.

Atas apa yang terjadi, Citra jaga diri untuk memutuskan tidak terlalu banyak minum, dia akan kelimpungan mengantar Alan jika saja ikut tumbang dan terbang karena pengaruh alkohol.

Pukul dua pagi Citra merogoh saku celana Alan, mencari kunci mobil milik pria itu. Begitu mendapatkannya, Citra meminta bantuan untuk membopong tubuh lelaki mabuk.

Citra menyetir dengan kecepatan yang normal. Kalau dipikir-pikir, sudah lama dia tidak mabuk-mabukan dan pulang pagi.

"Lo persis kayak gua waktu patah hati," kata Citra, dia bicara dengan orang yang tidak sadar sepenuhnya. 

"Lo pernah patah hati, Ra?"

Citra mengangguk, tertawa remeh. Wanita itu menertawakan dirinya kala mengingat hal menyebalkan yang pernah terjadi padanya beberapa tahun yang lalu.

"Lo wajar frustasi karena diselingkuhi terus ditinggal nikah," kata Citra lagi. "Lo ada alasan untuk marah dan cemburu. Kalau gua, gak pantas untuk merasakan hal itu, karena gua cemburu dan gagal move on sama yang bukan milik gua."

"Lo pernah diposisi itu?" Alan bertanya, dia sedikit memaksa untuk melihat Citra yang menyetir dengan tenang.

"Iya. Tapi, syukurnya orang itu belum menikah. Gak tahu, deh, gua kalau dia sampai menikah. Dia cuma ngaku kalau lebih naksir sama teman gua aja, gua udah stres. Gimana kalau dia nikah, ya?"

Alan tertawa kecil, dia geleng-geleng dan menertawakan takdir Citra. Mulanya Alan pikir dia sudah orang paling bodoh karena meratapi mantan tunangan yang akan menikah. Namun, ternyata ada yang lebih mengejutkan, yakni orang yang meratapi diri sendiri karena gagal menjadi pilihan pertama seseorang.

"Tapi gua gak bodoh sepenuhnya. Gua pernah hampir dijadikan second choice sama orang itu. Akhirnya, gua milih daftar kerja di perusahaan yang ada di Aussie dan berangkat kesana tepat setelah gua wisuda." Citra menghela nafas sejenak. "Gua kerja sampai malam, pulangnya langsung party kayak kita sekarang, dan besoknya kerja lagi sampai malam. Semua gua lakukan demi lupa sama kata-katanya yang bilang dia gak bisa sama gua."

Alan berdecih, tidak menyangka kalau status single yang disandang oleh Citra selama bertahun-tahun karena ada yang melatarbelakangi. Setelah Alan tahu, dia tidak habis pikir. Citra dimatanya hanyalah seorang workaholics, karena frustasi dengan kehidupan percintaannya.

"Tapi, sekarang lo nggak apa-apa? Hati lo masih sakit? Karena lo kalau kerja juga masih nggak kenal waktu sampai sekarang," ujar Alan, dia agak kesulitan untuk bicara dengan jelas.

Citra menggeleng. "Nggak, Lan. Memang gua udah cinta sama pekerjaan gua sekarang. Tapi, gua gelisah aja. Takut perasaan yang lama itu datang lagi dan bikin gua sakit lagi."

"Kenapa? Lo masih kontakan sama laki-laki itu?"

Citra memilih diam, fokusnya mulai buyar saat membicarakan tentang isi hatinya. Dia tidak ingin menabrak trotoar menggunakan mobil temannya. Lalu, menyalakan musik dan menyetir dengan tenang. Sedangkan Alan hanya tertawa sendiri menyadari Citra yang menghindar dari pertanyaannya.


**


"Ada apa, Sa?"

Dilan menghubungi Carissa pagi ini. Tepat sebelum dia pergi bekerja dan sedang memakai sepatunya di ruangan dekat pintu keluar.

"Kamu kenapa baru telepon aku? Semalam aku udah chat, 'kan, Dilan? Kenapa nggak balas?"

Dilan menghela nafas berat. Masih pagi tapi dia sudah ditanya banyak hal. Tentu akan berdampak dengan performa kerjanya hari ini.

"Aku lembur, Carissa. Kamu tahu itu, jadi aku capek dan langsung tidur." Dilan menjawab agak ketus.

Memang benar yang dikatakannya. Dilan membaca pesan yang dikirim Carissa tapi dia mengabaikannya sebab tidak ingin diganggu setelah seharian kerja. Dilan hanya membalas sekenanya.

"Kamu kebiasaan, handphone selalu di silent. Kalau begitu, kamu nggak akan dengar waktu aku telepon," tutur Carissa.

"Dewasalah sedikit, kita bukan anak remaja, yang hanya ngabisin waktu untuk telponan."

Carissa berdecak kesal. Dia mendengus karena amarahnya sudah diubun-ubun.

"Tapi aku nunggu, Dilan. Kamu nggak bisa kasih kepastian, apa kamu bisa temui Papa atau tidak hari sabtu besok?" ketus Carissa.

"Aku kerja. Kalau Papamu bisa bertemu sewaktu sore, nggak apa-apa. Tapi, masalahnya Papamu selalu minta untuk bertemu sewaktu pagi, Sa."

Carissa sempat diam, di seberang sana wajahnya sudah masam, kesal. Jarinya terkepal kuat dan membuat pensil lipstik yang digenggamnya patah, padahal barang itu belum lunas.

"Terserah kamu aja! Aku capek meminta kepastianmu buat menikahi aku, Dilan." Carissa bicara dengan cepat dan keras. "Kalau udah nggak cinta, putus aja! Aku nggak mau kamu pacarin lama-lama!"

"Kamu pikir mahar dan resepsi itu gak butuh biaya?"

"Jadi kamu keberatan dengan itu!"

Dilan menghembuskan napas kasar, dan tidak ingin melanjutkan pertengkaran. Cukup sudah lelah karena kerja, tak perlu ditambah-tambah.

"Dilan?"


K 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang