Bab 8. Tekad Alana

1.3K 109 0
                                    


Bagaimana Fiza tidak mencurigai Alana, sejak magang di Rubiantara Group, Alana tidak menghubunginya lagi dan media sosialnya dipenuhi kata-kata mutiara tentang bagaimana hidup bahagia dan selalu optimis. Fiza tahu sisi buruk Alana yang ambisius dan bertekad mencapai keinginan, bahkan tega mengorbankan perasaan orang lain. Sisi baiknya, Alana gadis yang sangat cantik, pintar, dan mau berbagi. Mungkin inilah yang menjadi alasan banyak laki-laki yang tergila-gila dengannya, termasuk Natta, yang berteman dengan Fiza dan Alana sejak awal SMA.

Alana selama ini tidak banyak memiliki teman, satu-satunya yang dekat dengannya adalah Fiza. Terkadang Alana mau mendengar nasihat Fiza, tapi terkadang dia bahkan menunjukkan ketidakpedulian. Kali ini Fiza merasa terpanggil untuk menyelidiki Alana, karena ada seseorang yang telah menjadi korban dari sikap keras kepala Alana, Natta, pria yang di mata Fiza adalah pria baik dan sopan. Fiza tidak ingin Natta terluka kedua kalinya.

Fiza sudah memiliki izin untuk lebih cepat pulang hari ini dari kantor magangnya yang berlokasi di kawasan elit BSD, Fiza bertekad pergi ke kawasan Sudirman di mana Alana magang, dia akan mencegat Alana pulang dari kantor.

Dia menunggu Alana di sebuah cafe seberang gedung raksasa Rubiantara. Begitu dia melihat Alana ke luar dari gerbang kantor, Fiza setengah berlari ke luar cafe dan memanggil Lana dengan suara cukup kuat.

"Lana!"

Alana menoleh, dia terkejut melihat Fiza melambaikan tangan ke arahnya.

"Fiza?"

"Aku traktir. Ayolah." Fiza lalu menggamit lengan Alana, membimbingnya menuju dalam cafe, dan Alana menurut saja.

Fiza langsung memesan minuman kesukaan sahabatnya, green matcha.

"Natta menghubungiku." Fiza langsung membuka pembicaraan tanpa basa basi, tidak menanyakan kabar Alana. Menurutnya Alana baik-baik saja, terlihat dari penampilannya yang sudah seperti karyawan kantoran perusahaan besar.

Wajah Alana berubah murung. "Aku putusin dia," ujarnya pelan.

"Lana, dia itu udah tunggu kamu lama lo, terus kamu terima, lalu kamu putusin?"

Alana diam tidak bergeming.

Fiza menunggu penjelasan Alana mengenai alasan kenapa dia memutuskan hubungan asmara dengan Natta yang baru saja dia pacari. Tapi sepertinya Alana tidak mau menjelaskan. Gadis itu diam memikirkan sesuatu.

"Oke. Nggak masalah kalo kamu nggak mau kasih penjelasan," ujar Fiza yang masih merasa jengkel.

"Aku berubah pikiran," ujar Alana.

Fiza mendelik heran. "Alana ... kamu sudah bertemu Damian dan membicarakannya?" tanyanya hati-hati.

Alana menggeleng lemah. "Aku sudah bertemu, tapi belum sempat mengajaknya bicara."

"Berubah pikiran," gumam Fiza seolah menyadari sesuatu ketika Alana mengatakan bahwa dirinya berubah pikiran. "Maksud kamu?" tanyanya.

Alana menatap wajah Fiza dengan serius. "Aku nggak mau mundur, aku mau fokus dengan Damian."

Fiza semakin curiga dengan Alana, dari kata-katanya juga gestur tubuh dan wajahnya. Mungkin karena dia sangat dekat dengan Alana, dia pun dengan cepat menebak, "Kamu ... main hati."

"Dia ganteng sekali, Fiza." Wajah Alana cerah seketika dan berbinar-binar.

"Ya ampun, Alana. Kamu sudah gia, dia ... dia, 'kan "papamu"," ujar Fiza tertahan, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Alana.

"Aku justru berharap nggak. Tapi aku akan tetap mendekatinya, sebagai putri yang dia abaikan."

Fiza berdecak dan memegang sisi dahinya dengan kedua tangannya, tidak bisa percaya dengan sikap Alana. "Kalo seandainya dia benar-benar papamu?"

"Aku nggak yakin." Alana merasakan sesak di dadanya, membayangkan pertemuan pertamanya dengan Damian, dirinya merasa diperhatikan mata tajam Damian, dan itu membuatnya mabuk kepayang, hingga dia senyum-senyum sendiri.

"Gila. Kamu gila, Alana. Kamu berubah." Fiza tidak tahu bagaimana cara mengingatkan Alana. "Bagaimana dengan mama kamu, apa dia tahu kamu akan menemui Damian?"

"Mamaku di Samarinda sudah hampir satu minggu ini. Dan dia nggak tahu apa-apa."

Fiza menghela napas pendek. Melihat Alana yang nekat dan sepertinya tidak bisa diberi saran, dia berpikir bahwa sebaiknya dia akhiri pertemuan ini segera. "Baiklah. Apa yang harus aku sampaikan ke Natta?"

"Ya, bilang saja kalo dia bukan prioritasku sekarang. Dia lebih baik tidak mengharapkan aku lagi."

Fiza menghabiskan kopi pahitnya, dengan mata tetap tertuju ke wajah cantik Alana. "Kamu harus hati-hati dengan keluarga Rubiantara, mereka dikenal kompak dan nggak main-main jika diganggu. Bisa-bisa nyawa kamu yang terancam atau bisnis mama kamu yang jadi korban."

"Sudah berapa kali aku bilang ke kamu, bahwa aku nggak bodoh."

"Ya, aku tahu. Siapa bilang Alana bodoh? Nggak ada. Satu hal yang kamu harus sadari bahwa kamu sudah gila sekarang."

Alana tersenyum sinis, dan berdecak. "Ya, keluarga besar Rubiantara memang kompak, tapi aku yang akan mengacak-acaknya."

"Alana!"

"Karena mereka mengabaikan aku, Fiza!"

"Itu pilihan mamamu, yang merahasiakan papa kandung kamu selama ini, kamu nggak berhak menuntut apapun dari mereka. Kamu harusnya memberitahu mamamu!"

"Nggak akan ada gunanya! Mamaku pasti akan selalu menutup-nutupi dan dia nggak tahu betapa menderitanya aku!"

Fiza mendengus sinis, "menderita?" batinnya bertanya. Alana sudah dirawat mamanya sejak lahir dan sudah menerima fasilitas wah. Tsamara PSK kelas atas dan memiliki bayaran yang tidak main-main. Fiza mengeratkan pegangan tangannya di tali ranselnya. "Kamu harus tanya mamamu, siapa tahu ada kesepakatan antara mamamu dan Damian, jika kamu memang benar anaknya!"

"Aku bukan anaknya," gumam Alana yang mendadak bingung dengan pikirannya.

"Karena kamu orang gila."

Alana terdiam, tapi hatinya mendadak penuh dendam dan kedengkian. Semakin Fiza mencegahnya, entah kenapa dia semakin geram.

Fiza bersiap-siap pergi. "Baik. Itu urusanmu dan aku nggak mau ikut campur. Aku akan hubungi Natta dan menjelaskan situasi yang kamu hadapi sekarang."

***

Pertemuan dirinya dengan Fiza ternyata tidak menyenangkan. Sepanjang malam Alana mengutuk dan menyesal bertemu Fiza, dan menceritakan rencananya. Alana sudah bisa memprediksi tanggapan Fiza ketika dia mengungkapkan rencananya, bahwa sahabatnya itu pasti tidak mendukungnya dan tidak mau dilibatkan. Alana sudah tidak peduli jika Fiza menceritakan rencananya ke Natta, toh dia yakin Natta juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia juga tidak lagi memiliki perasaan apapun terhadap Natta.

Menjelang tidur, Alana dihubungi mamanya.

"Bagaimana kabar kamu hari ini?" Suara mamanya terdengar menyebalkan bagi Alana, tapi dia diam-diam merindukannya juga.

"Baik, Ma. Aku baru saja mengajukan rencana magang."

"Oh ya? Di mana?"

"Kashawn Group dan Rubiantara Group."

Terdengar decakan di ujung sana. "Mama tahu kamu sudah punya pilihan, Jangan coba-coba berurusan dengan Damian."

"Dia papaku, tentu aku akan berurusan dengannya."

"Alana. Mama sudah melupakan masa lalu Mama dan ingin hidup Mama tenang, Sayang."

"Mama egois! Jati diri Mama sendiri jelas, tapi Mama membiarkan aku bertanya-tanya seumur hidupku!"

"Alana, Mama sayang kamu."

Alana mengusap pipinya yang basah karena air mata.

"Mama tetap berharap kamu magang di tempat lain, selain Rubiantara."

Tidak ingin berdebat dengan mamanya terus-terusan, Alana mengiyakan permintaan mamanya."Baik, Ma. Akan aku pikirkan baik-baik."

Alana senang, bisa meyakinkan mamanya, meskipun sebenarnya dia sudah menjalani magang lebih dari satu minggu di Rubiantara Group.

Bersambung

Nirmala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang