Bab7

31 0 0
                                    

Sejak saat itu Sagita menjadi anak kesayangan Mami Rahayu. Tidak hanya dipenuhi, tapi juga diprioritaskan segala kebutuhannya.

Untuk tidur diberikan kamar yang lebih luas lengkap dengan isinya yang cukup mewah. Perawatan kecantikan seminggu sekali. Serta menu makan dengan gizi yang seimbang agar tubuhnya tetap terjaga kemolekannya.

Entah sebanyak apa Andra membayar Rahayu, yang jelas Sagita diberi jatah yang memuaskan hingga ia pun bisa mengirim uang dalam jumlah banyak untuk orang tuanya di kampung.

"Banyak sekali ngirimnya, Nduk?" Suara ibunya terdengar bergetar saat menelepon.

"Iya, Bu. Buat kebutuhan sehari-hari. Lagi pula, kan, ada Amira." Suara Sagita hampir tercekat saat menyebut nama anaknya. Kerinduan di hatinya pada sang anak makin membuncah saja rasanya.

"Oh iya, Bu. Gita ada kirim handphone buat di rumah. Biar kita kalo ngobrol bisa bebas, nggak pinjam-pinjam HP Mbak Nur lagi. Kemungkinan besok udah sampai."

"Owalah, Gita. Jangan boros-boros nanti uang kamu cepet habis." Ibunya mengingatkan.

"Insya Allah masih cukup, Bu. Di HP nanti kita bisa telponan sambil video. Gita udah kangen banget sama Ibu, Bapak, dan Amira. Pokoknya semua Gita kangen banget."

"Iya, Nduk, terimakasih banyak. Tapi ngomong-ngomong bos kamu baik, kan, orangnya? Trus kerjaan kamu gimana? Kamu kerja apa di sana?"

Deg!

Dada Sagita mendadak berdegup kencang mendengar pertanyaan sang ibu. Mulutnya seketika terkatup rapat.

"Gita??" Dari seberang ibunya kembali memanggil.

"I-iya, Bu. Bos Gita Alhamdulillah orangnya baik, Bu. Gita di sini kerja jaga toko." Hatinya terasa nyeri ketika dia terpaksa berbohong.

Setelah mengobrol ngalor-ngidul, Sagita pun mengakhiri panggilannya. Untuk sesaat, dia tercenung memikirkan kalau suatu saat Sony pasti akan menyebarkan gosip tentangnya kepada seluruh warga di kampung.

Sagita lalu mendengkus. Bagaimana kalau hal ini sampai terjadi? Dia bahkan tidak sanggup membayangkan alangkah malunya keluarganya nanti kalau sampai mereka tahu yang sebenarnya.

Sagita mempercepat memoles wajahnya ketika pintu kamarnya diketuk seseorang.

"Iya, sebentar," teriaknya. Dia pun bergegas membuka pintu.

"Sagita, ada yang mencarimu," ujar Dila, teman seperjuangannya.

Alis Sagita tampak mengernyit. "Siapa?" Apakah ada yang membookingnya lagi? Tapi biasanya itu akan melalui Rahayu.

"Cowok. Orangnya ganteng, seperti aktor. Bodynya bagus, tinggi dan atletis. Pasti kalau dibuka isinya roti sobek semua." Dila tampak tertawa mengucapkannya. Sepertinya bergurau. Sagita hanya tersenyum dan memilih tidak menganggap serius gurauannya.

Dia bergegas keluar. Namun, seketika dia terkesiap saat melihat Andra sudah duduk di teras dengan dikelilingi teman-teman Sagita yang cantik dan seksi. Sepertinya Andra sedang kewalahan menahan serangan godaan yang bertubi-tubi.

Hingga kemudian Andra menyadari kedatangan Sagita. Teman-temannya segera menyingkir begitu ia datang.

"Kenapa? Kewalahan sampai bingung pilih yang mana?" sindir Sagita sembari ikut duduk di sebelahnya.

Andra tertawa mendengar suara Sagita yang lembut, tapi menusuknya. "Kenapa harus bingung? Kan, yang kupilih kamu," sahutnya santai.

Sagita tersenyum kecut mendengar jawaban pria itu. Dia lalu bertanya dengan nada dingin, "Ngapain ke sini?"

Alih-alih menjawab, Andra justru mengeluarkan sebungkus rokok, lalu menariknya sebatang, kemudian menyalakannya.

Jantung Sagita berdebar lebih cepat kala menyaksikan sisi kejantanan yang makin bertambah saat pria itu menghisap rokoknya. Keadaan sudah berubah. Seingat Sagita, dulu Andra benci rokok.

"Nggak boleh?" Pria itu balik bertanya, sesaat setelah dia membumbungkan kepulan asap di udara melalui mulutnya.

"Nggak boleh kalau bukan untuk membooking. Di sini aku kerja, bukan anak perawan yang sesuka hati bisa diapelin!" tegas Sagita terdengar ketus.

Andra lagi-lagi tertawa. Dulu Sagita begitu memuja saat pria itu tertawa, tetapi kini Sagita membencinya. Tawanya itu seolah meledeknya. Kemungkinan dia meledek pekerjaan Sagita yang rendahan ini.

"Aku akan membookingmu," ujar Andra tiba-tiba. Sagita merasa terkejut. Namun itu hanya sesaat. Tanpa berpikir panjang kepalanya mengangguk setuju. Mau bagaimana lagi, ini memang profesinya sekarang. Meski sebenarnya dia tidak nyaman kalau Andra yang membookingnya terus-terusan.

"Tapi selamanya," lanjut Andra lagi. Kedua alis Sagita yang terdapat hiasan tahi lalat kecil di sebelah kanan itu tampak mengernyit. Sejak dulu Andra begitu menyukainya, karena menambah kesan manis pada wajah Sagita yang cantik dan lembut.

"Maksudnya?"

Belum sempat Andra menjawab, handphone Sagita berdering. Panggilan dari nomor baru. Tanpa pikir panjang, Sagita lalu mengangkatnya karena mengira ini adalah panggilan dari keluarganya di desa.

"Halo!"

"Sagita, tunggu pembalasanku! Saat ini aku sedang dirawat di rumah sakit. Saat aku pulang, aku akan menyebarkan ke seluruh warga tentang pekerjaanmu!"

Sekujur tubuh Sagita sontak gemetaran. Rupanya itu Soni. Tanpa menjawab apapun dia langsung memutus panggilan tersebut.

"Suamimu?" tanya Andra. Sekilas tadi dia mendengar suara pria di telepon. Lalu melihat wajah Sagita yang pucat pasi.

Alih-alih menjawab, Sagita justru menatap tajam Andra. Kalau bukan gara-gara pria di hadapannya ini, dia pasti
tidak akan bekerja sebagai pel4cur seperti sekarang. Dan ancaman dari Soni tidak akan pernah ada.

"Iya, dia suamiku!" sahut Sagita ketus sekaligus ingin memanasinya.

Sejenak, Andra menatapnya lekat, kemudian berujar,

"Suami mana yang tega melihat istrinya jadi kupu-kupu malam?"

Sagita merasa tersindir mendengar ucapan Andra. Matanya tampak memicing tajam. Rasanya ingin sekali dia mencakar wajah tampan itu dan berteriak di kupingnya bahwa dialah yang menyebabkan dirinya jadi kupu-kupu malam.

Akan tetapi, Sagita hanya mampu mengucapkan sepotong kalimat yang dingin, "Bukan urusanmu!"

Andra kembali memprovokasinya, "Suami mana yang tega mempersulit hidup istrinya hingga tengah malam dikejar-kejar oleh laki-laki di sebuah hotel?"

Wajah Sagita sontak terkesiap. "Kamu melihatnya?"

"Aku yang menolongmu malam itu."





































Janji Di Atas KasurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang