Bab 1

169 4 0
                                    

Berkali-kali Sagita menghela napas, kemudian mengembuskannya kuat-kuat. Meski begitu, debaran di dadanya tak kunjung berhenti sejak tadi. Kedua telapak tangannya mulai berkeringat dingin. Sesekali ia menggigit bibirnya yang dilapisi gincu warna merah terang. Tampak sangat menantang.

Wajah cantik menggoda dalam cermin di hadapannya tak mampu menenangkan jiwanya yang sejak tadi diselimuti kegelisahan.

Seketika wajahnya menoleh ketika pintu ruangan itu terbuka.

"Sudah siap?" Wanita setengah baya bernama Rahayu terlihat berdiri di dekat pintu. Penampilannya menor. Paras wajahnya cantik, namun tampak sedikit angkuh dan berani, menandakan dirinya memiliki sebuah kuasa. Beberapa bagian tubuhnya sengaja digantungi emas yang ukurannya besar-besar. Cukup membuat silau mata apabila diterpa sinar matahari.

Sagita menelan ludah sedikit kepayahan. Pelan, kepalanya pun mengangguk.

Wanita yang biasa dipanggil Mami itu lalu berjalan mendekat.

"Coba berdiri!" perintahnya.

Sagita menurut. Kepalanya menunduk dalam saat wanita paruh baya itu berjalan mengitari dirinya. Lantas berhenti tepat di hadapannya dengan melipat kedua tangan. Sorot matanya yang tajam tampak mengamati, disusul kepalanya manggut-manggut penuh kepuasan.

"Hmm ... menarik. Tubuhmu seksi. Wajahmu juga cantik. Saya suka sama mata kamu yang sayu. Ini namanya pemikat!" bisiknya tepat di wajah Sagita.

Embusan napas wanita itu membuat Sagita bergidik ngeri. Terlebih ketika mendengar penekanan pada ujung kalimatnya. Bayang-bayang mengenai wujud pekerjaannya nanti seketika menari-nari di atas kepalanya.

"Kamu sudah ditunggu. Ada pria yang sudah membookingmu. Dia sanggup membayar hargamu tiga kali lipat, jadi Mami harap kamu tidak mengecewakannya." Diam-diam Mami Rahayu merasa takjub pada wanita di hadapannya ini. Masih pendatang baru, namun sudah ada yang membooking, tiga kali lipat pula.

Sagita tersentak. Debaran dadanya semakin kencang terasa. Jemarinya meremas ujung rok ketat yang panjangnya hanya setengah bagian dari pahanya yang mulus. Secepat itu? Pikirnya.

"Jangan gugup. Awal-awal memang begitu. Tapi kalau sudah lama, kamu pasti bakal ketagihan." Wanita itu seakan tahu apa yang tengah dirasakan oleh Sagita.

"Iy-iya, Mi."

"Kamu punya anak, kan? Fokuskan pikiranmu pada anakmu di rumah. Dia perlu makan, perlu pakaian, perlu jajan. Semuanya itu dibeli pakai uang. Uang itu harus dicari. Sayangnya, zaman sekarang cari kerjaan itu susah. Yang paling gampang ya kerja kayak gini. Tinggal goyang, uang pun datang."

Wajah Sagita lagi-lagi tertunduk. Akan tetapi, hatinya seakan dicambuk mendengar perkataan Mami Rahayu yang memang benar faktanya.

Di rumah ada Amira--putrinya yang baru berusia 5 tahun, juga ibu, ayah, dan adik lelakinya yang masih SD. Mereka semua menggantungkan sebuah harap pada Sagita. Pergi ke kota mencari kerja, tiba saat pulang menggendong uang. Itulah harap mereka.

Sayangnya, mereka yang sama sekali tidak pernah keluar dari desanya tidak tahu betapa kejamnya kota besar.

Betapa susahnya bagi Sagita mencari pekerjaan sementara SMA saja dia tidak tamat.

Dirinya terpaksa menghubungi Mawar, teman sekampungnya yang kalau pulang membawa segepok uang. Rambut dicat pirang, dandanan menor menantang.

Awalnya orang sekampung merasa takjub pada Mawar yang dianggapnya sudah jadi orang kota yang sukses. Apalagi Mawar mengatakan jika pekerjaannya di kota adalah berbisnis, tambah takjublah warga mendengar kosa kata yang awam di telinga mereka.

Janji Di Atas KasurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang