A Missing Piece

8 1 0
                                    

Aroma udara lembab dan tanah basah adalah satu-satunya hal yang menyapa indera penciuman Kalea ketika ia membuka pintu atap gedung. Hujan sudah reda, untungnya.

Sekarang adalah jam makan siang, dan Kalea lebih memilih ke rooftop daripada ke warteg samping kantor yang menjadi langganan makan siang beberapa karyawan.

Merasakan betapa sejuknya udara di siang bolong sambil memejamkan mata rupanya cukup membuat perasaannya membaik. Hampir tidak ada orang yang memilih untuk menghabiskan waktu di atap terbuka gedung kantor selain Kalea, itulah mengapa ia selalu kesini jika sedang mengalami hari buruk atau ketika isi kepalanya terlampau penuh. Tidak jarang juga ia menangis sambil menatap kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana.

Ayyu.

Kalea kembali merindukan sosok cantik nan lembut yang selalu memperlakukannya bagai adik kecil kesayangan. Sosok kakak perempuan sempurna yang selama ini ada dalam imajinasi Kalea.

"SUDAH KUDUGONG!" Teriak seseorang dari belakang, membuat Kalea terperanjat dan langsung menoleh. Membuyarkan lamunan singkatnya tentang sang kakak perempuan.

Kalea melepas sepatu flat miliknya dan mengarahkannya kepada sang empunya suara. "Anjing! JANTUNG GUE MEROSOT KE LAMBUNG, COK!" Teriaknya emosi.

Itu Rizaldi, teman yang paling akrab dengan Kalea di kantor. Atau yang sering orang-orang bilang; bestie.

Rizaldi bergerak ke kanan dan ke kiri mencoba menghindari lemparan Kalea sambil cengengesan.

"Ngapain, sih, ngekor kesini?" Tanya Kalea sebal sambil menurunkan kembali sepatunya.

Rizaldi menghabiskan tawanya sebelum menyahut. "Teu makan, Kal?"

"Malah balik nanya!"

"Hahahahaha..."

"Jawab, anjing. Lo ngapain kesini?" Cecar Kalea tak sabar. Sebab kondisinya saat ini sedang tidak ingin diganggu.

"Galak pisan euy," Rizaldi memasang wajah takut yang dibuat-buat. "Beli pop mie, yuk."

Kalea mendelik, "Gue aduin bini lo, 'Nih, Tik, anaknya Om Sirojudin makan pop mie mulu saban hari.' gitu,"

"Cepu maneh babi," wajah Rizaldi berubah masam. "Di amuk Tika aing sampe rumah."

"YA, MAKANYA!" Teriak Kalea tepat di gendang telinga Rizaldi. "Seenak apa, sih, varian baru yang pedes naudzubillah itu?"

"Enak pisan, Kal," sahut Rizaldi sambil mengusap telinga kanannya sehabis diteriaki Kalea tadi.

"Bodo ah. Sana lo beli pop mie satu kontainer, jangan ganggu gue."

Rizaldi mengalihkan pandangannya ke bawah; tempat orang dan kendaraan berlalu-lalang, beberapa gerobak jajanan, warteg, kafe, rumah makan padang, dan pemandangan lainnya.

"Aya masalah naon?" Tanya Rizaldi tiba-tiba.

"Hah?"

"Masih kurangkah gue sebagai temen lo untuk tempat cerita?"

Hening. Logat sunda milik si lelaki tiba-tiba lenyap berganti dengan nada serius—seperti yang sudah-sudah ketika topik yang akan ia bahas tidak main-main—begitupun ekspresi wajahnya.

"Gue sebenernya agak takut tiap liat lo jalan ke arah rooftop," Rizaldi menjeda kalimatnya sejenak untuk memalingkan wajahnya ke arah perempuan yang berada tepat di sebelah kanannya. "Gue takut masalah lo kelewat berat terus lo mutusin buat loncat dari atas sini."

"Enggak lah, gila aja." Kalea mencibir.

"Gak ada yang tau, Kal, batas kesabaran manusia. Mungkin saat ini lo mikir itu mustahil, bisa jadi besok itu keputusan paling final yang bisa lo ambil."

Kalea terdiam sesaat, lalu memutuskan untuk menyahut, "Gue cuma kangen Kak Ayyu." Ekspresi galaknya seketika berubah menjadi sendu. "Gue masih denial kalo sekarang dia udah mutusin buat jalanin hubungan sama cowok baru."

"Ayyu mantan abang lo itu?" Tanya Rizaldi memastikan.

Kalea mengangguk.

Tanpa disangka Rizaldi menoyor kepala Kalea tanpa aba-aba. "Yaelah, aing kirain kenapa!"

"Anjing lo!"

Rizaldi tertawa. "Kalo masalahnya itu, sih, gak mungkin sampe bunuh diri."

"Gue gak segoblok itu, Udin!" Balas Kalea sebal sambil meninju lengan Rizaldi cukup keras.

"Maneh bisa teu stop manggil aing Udin? Nama bapak aing, jancuk," cecar Rizaldi emosi yang membuat Kalea terbahak keras. "...tapi, Kal, inget kata gue tadi. Kalo ada apa-apa cerita sama gue kayak biasa. Cerita dulu, baru lo boleh ke rooftop. Biar gue tenang."

"Iya bawel."

"Jangan iya iya aja, dilakuin!"

Gantian Kalea yang terkikik gemas. "Iyaaaa! Lagian apa yang gak gue ceritain ke lo? I think, almost all of my problems, ya gak, sih? Lo lama-lama kek abang gue, bawelll!"

"Gantengnya kayak abang maneh oge, teu?" Rizaldi menaik-turunkan kedua alisnya jahil. "Lo emang selalu cerita, Kal, tapi gak langsung. Cemberut dulu, manyun dulu," ia terkekeh. "Ngode dulu pokoknya. Pas ditanya baru cerita."

Kalea tertawa. Rupanya teman dekatnya ini sudah sangat hafal perangai yang sering ia lakukan.

"Naha maneh tiba-tiba kangen si cantik Ayyu?" Rizaldi kembali membahas hal yang membuat Kalea melupakan makan siang dan malah memilih menyendiri di atap gedung kantor begini.

Kalea menghela nafas. "Kemaren Gissa ketemu Kak Ayyu sama cowoknya di Namu..."

Rizaldi menyimak cerita Kalea dengan seksama.

"Gimana ya, Din, gue udah sayang banget sama Kak Ayyu. Udah gue anggep kakak sendiri,"

"Udin deui si anying..." wajah serius Rizaldi berubah kesal.

"Gue udah percayain Abang gue satu-satunya ke dia." Lanjut Kalea tanpa memperdulikan kalimat protes Rizaldi. "Lo tau sendiri, tiap ada cewek yang baik-baikin gue buat deketin Bang Yogi gak ada yang bisa ngambil hati gue. Mereka cuma cari muka doang, gak tulus."

"Gue sampe sekarang masih amazed sih, Kal, sama kemampuan lo baca karakter orang," komentar Rizaldi tanpa kepura-puraan. Sebab selama ini, Kalea adalah tempat ia berbagi dan bertanya tentang karakter orang-orang di sekitar mereka, dan hampir semua tebakan Kalea tidak pernah meleset.

"Out of topic lo ah! Gue lagi ngomongin Kak Ayyu ini."

"Ya mau gimana lagi emangnya? Lo mau labrak cowok barunya? 'Bang, itu calon Kakak Ipar gue, kenapa lo ambil, bangsat?' gitu?"

Kalea memutar kedua bola matanya. Merasa pembicaraan ini tidak akan ada ujungnya jika terus meladeni celetukan asbun Rizaldi.

"Eh, Kal," Rizaldi memanggil perempuan disampingnya agar menoleh. "Gue gak nyalahin lo soal perasaan denial lo itu, tapi jangan terus-terusan terjebak. Kasian abang lo,"

"Iya gue tau." Sahut Kalea cepat. "Makanya gue galaunya disini, bukan di rumah."

"Yaudah..."

Pada akhirnya Kalea benar-benar menghabiskan jam makan siang di rooftop bersama Rizaldi yang rela menahan lapar demi mendengarkan celotehannya. Ya, walaupun setelah ini Kalea wajib menemani Rizaldi membeli pop mie di kantin. Perut buncitnya tidak bisa dibiarkan kosong lebih lama lagi.

How's Life?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang