Disappointing Past

12 1 0
                                    

Dengan langkah gontai Kalea memasuki rumah yang tampak gelap karena lampu yang belum dinyalakan. Ia melirik jam tangannya, sudah jam enam sore dan belum ada tanda-tanda kehadiran sang kakak.

Kalea pun melepas sepatu flat berukuran 39 yang ia kenakan sejak pagi dan menaruhnya di rak sebelah kanan yang sudah disediakan Yogi supaya ia tidak lagi menaiki rumah dengan alas kaki yang masih terpasang.

"Kotor, Ale." Ucap sang kakak setiap kali itu terjadi.

Kalea mendorong masuk pintu yang ada di depannya. Satu persatu lampu dinyalakan sampai lampu terakhir yang berada di area dapur. Kalea berjalan menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri sebelum beristirahat dan bergelung diatas kasur.

Hari ini cukup melelahkan bagi Kalea. Terlebih partner in crime-nya izin tidak masuk karena alasan kesehatan. Beberapa anak magang di divisinya juga bolak-balik meminta bantuan Kalea untuk pekerjaan-pekerjaan yang masih belum bisa mereka pahami.

Yogi Ezra Adnan:

Mau nitip makan apa?

Pesan dari Yogi masuk bertepatan dengan Kalea yang juga sedang memikirkan makanan apa yang harus ia santap malam ini.

Kalea Liv Adnan:

Samain sama Abang aja

Yogi Ezra Adnan:

Sate padang mau?

Kalea Liv Adnan:

Boleh deh

Bang, sekalian nitip jajanan manis dong. Ngidam nih.

Yogi Ezra Adnan:

Apaan yang manis?

Kalea Liv Adnan:

Apa aja, yang penting manis

Yogi Ezra Adnan:

Durian?

Kalea Liv Adnan:

GAK JADI

Yogi Ezra Adnan:

Hahahahahaha

Yogi Ezra Adnan, saudara kandung Kalea satu-satunya. Kakak laki-laki yang memiliki peran ganda sejak lulus SMA. Lebih tepatnya sejak kedua orang tua mereka pergi ke Surga. Saat itu Kalea baru lulus SMP, dan Yogi sedang sibuk mempersiapkan hal-hal untuk mendaftar kuliah di kampus impiannya.

Lalu kabar itu datang begitu saja. Kabar mengejutkan yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup.

"Kalian yang sabar, ya, Nak," Tangis Tante Luna—adik sang Ibu—sudah tidak terkontrol ketika Kalea dan Yogi sampai di depan ruang jenazah. Yogi terkulai lemas, sedangkan Kalea langsung berlari menghambur kepelukan Tante Luna sambil terisak kuat. Orang tua mereka, cinta terbesar mereka, rumah mereka, pergi tanpa sempat berpamitan pada kedua anaknya yang tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup setelah ini.

Yogi memutar kunci ke arah kanan dua kali hingga menimbulkan bunyi klik dan mendorong pintu yang ada di depannya dengan perlahan. Yogi memang selalu memerintahkan Kalea untuk mengunci pintu ketika sedang sendirian dirumah. Walaupun adiknya itu sudah dewasa, rasa khawatir tetap selalu membayangi Yogi jika sedang tidak berada didekat Kalea.

"Assalamualaikum," serunya saat memasuki hunian minimalis yang ia tinggali berdua dengan adik perempuan kesayangannya.

"Walaikumsalam..." Kalea muncul dari dalam kamarnya, memasang wajah sumringah dengan cengiran lebar ketika melihat sang kakak laki-laki datang dengan menenteng dua kantong plastik ditangan kiri dan kanannya. "Perut gue udah krucuk-krucuk."

Yogi menutup pintu di belakangnya dengan kaki, "Gue gak disambut? Dikira gak repot bawa makanan pesenan lo ini?"

Kalea tertawa gemas lalu berlari kecil dan memeluk sang kakak tiba-tiba tanpa memberi kesempatan Yogi untuk menghindar. Ia berseru, "I love you, sayangnya Aleee!"

Yogi kurang menyukai reaksi dengan sentuhan fisik, kecuali pada waktu-waktu tertentu. Ia pun mulai mengomel tidak penting hanya untuk melihat adiknya kembali terkekeh dan berlalu tanpa mendengarkan ocehannya.

Kalea berjalan menuju meja makan dengan Yogi yang mengekor di belakang, membawa kantong plastik lumayan besar yang berisi kue ulang tahun. Entah apa yang ia pikirkan sampai-sampai memilih untuk membeli kue ulang tahun dibanding jajanan sederhana gerobakan lain yang berderet di pinggir jalan.

"Lo mikir apa, Bang, segala beli kue ulang tahun gini? Ultah lo masih bulan depan," cecar Kalea saat Yogi membuka kotak kue tersebut.

"Iya. Kenapa, ya?"

"Lah, stres." Kalea menggelengkan kepalanya heran. "Martabak keju kek, kue pancong kek, es pisang ijo kek... banyak pilihan."

Yogi tertawa. Menggemaskan. Adiknya itu sangat menggemaskan jika sedang mengomel seperti ini.

"Anggep aja early birthday cake gue, biar lo gak usah bingung mikirin kenapa gue beli itu." Yogi menepuk kepala sang adik pelan lalu mengusapnya asal, membuat Kalea berteriak karena rambutnya jadi berantakan.

"Ini lo langsung makan apa mandi dulu?" Tanya Kalea sengit. "Gue udah laper bwanget."

"Mandi. Lo duluan aja,"

"OKEEE!"

Dengan lahap Kalea menikmati sate padang bagiannya sambil mendengarkan podcast horor. Lalu tiba-tiba ponselnya berdering nyaring, mengusik ketenangannya.

"Kenapa, Ca?" Tanya Kalea saat telepon tersambung. Itu Gissa, teman dekat—bisa dibilang sahabat—Kalea sejak menduduki bangku SMA.

"Tadi gue abis dari Namu anjing, Kal," oceh Gissa semangat. "...tau gak gue ketemu siapa?" Namu adalah nama kafe dan toko kue favorit Kalea dan Gissa beberapa bulan belakangan.

Kalea diam sejenak, pura-pura berpikir.

"Enggak," jawab perempuan itu akhirnya. Lalu kembali menyuap sate padangnya dengan lahap.

"KAK AYYU!" Tariak Gissa dari seberang sana. Spontan Kalea menjauhkan ponselnya, sangat amat terganggu dengan suara cempreng Gissa yang mendadak menaikkan volume bicaranya.

"Terus?" Tanya Kalea setelah mengetuk tombol loudspeaker untuk berjaga-jaga. Ia mulai menyimak topik dari Gissa. "Dia sama si Jason itu, ya?"

"Lah kok lo tau?" Nada Gissa terdengar sebal karena Kalea bisa menebak topik yang ingin ia sampaikan.

Kalea terkekeh. "Namanya juga pasangan baru, lagi anget-anget tai kodok. Pasti kemana-mana berdua."

Gissa diam, tidak tertawa seperti biasanya mendengar celetukan asal Kalea.

"Kenapa lo diem?"

"Lo sedih, ya? Masih sedih, Kal? Maaf gue bawa topik obrolan yang nyebelin. Maaf ya?" Gissa menyesali tindakan impulsifnya kali ini. Niatnya hanya ingin berbagi cerita karena mereka sudah terbiasa berbagi setiap hal—kecil ataupun besar.

"No need to sorry, Ca," sahut Kalea sesantai mungkin. "Tapi kalo boleh jujur, bener kata lo, gue masih sedih."

Tanpa Kalea sadari, ada sepasang telinga yang sedari tadi menyimak pembahasan ia dan Gissa. Sang kakak yang sudah selesai mandi dan sekarang sedang berdiri terpaku sambil memandangi adiknya. Perasaan bersalah tiba-tiba kembali naik ke permukaan. Melihat Kalea yang begitu terpukul saat ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan sang mantan kekasih masih menjadi ingatan yang paling ingin ia lupakan. Keputusan yang berat. Keputusan yang bukan hanya mengorbankan perasaannya, tapi juga menorehkan kekecewaan pada sang adik.

How's Life?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang