Cerita, latar belakang, tokoh, alur, dan lainnya, hanya imajinasi belaka. Jika tersinggung, author ga bertanggung jawab. Karena disini hanya bersenang-senang, mengeluarkan kegilaan yang dipendam.
*Kejadian di dalam cerita hanya fiktif belaka dan penuh dengan kata kasar*
..
.
Hari ini hari Rabu. Hari yang sangat melelahkan. Entah mengapa, tapi setiap hari Rabu bawaannya capek melulu. Karena seperti sudah melalui hari Senin dan Selasa yang berat, masih ada beberapa hari lagi untuk libur di hari Sabtu dan Minggu. Sedangkan di hari Kamisnya, pasti senang untuk menunggu hari Jum'at. Begitu hari Jum'at, tidak sabar untuk hari Sabtu. Dan pada hari Minggu, kita enggan untuk kembali berjumpa hari Senin.
Betul bukan? Atau hanya Aku saja yang begitu?
Mari mulai hari ini dengan sepotong lirik dari Mbak Meghan.
"Ow! Who's that sexy thing I see over there?" Bayanganku yang terpantul di cermin, berpose ala model.
"That's me, standin' in the mirror." Aku bernyanyi riang, sambil memegang sisir sebagai mic abal-abalku.
Hari ini bukan hari Rabu biasa. Melainkan hari ujian semesteran yang sangat menakutkan. Mana tidak, karena hari ini adalah ujian dari matkul yang memiliki dosen killer dan pelit nilai. Huh, aku berharap aku mempunyai maneki neko, atau semanggi berdaun empat, atau apapun untuk menenangkan rasa cemas berlebih ini.
Aku sudah belajar, tadi malam bahkan seminggu sebelumnya. Aku juga sudah belajar dengan kelompok belajar yang ditunjuk oleh koordinator mata kuliahnya. Tapi hal tersebut tidak bisa meredakan rasa cemas ini. Dosennya terkenal galak, strict, pelit nilai, dan bahkan katanya beliau tidak menerima protes jika nilai sudah keluar.
"Tuhan mohon bantuanmu untuk hari ini juga!" Teriakku ke langit-langit.
"Arsy! Turun, Papa sudah siap!" Bundahara berteriak dari lantai satu. Hari ini dan dua hari sebelumnya, karena kedua orang tuaku mencemaskan ujianku. Papa memutuskan untuk antar-jemput selama seminggu. Padahalkan tidak perlu, Aku bisa naik ojol. Karena naik ojol aku bisa keliling kota dulu, hehehe.
"Ya, sebentar Bun!" Aku bergegas mengambil ransel warna merahku. Berlari menuruni tangga sambil memikirkan barang di dalam tas. Supaya alat tempur hari ini tidak ada yang ketinggalan.
.
.
.
Hampir setengah kelas sudah terisi, dari belakang. Mereka sibuk kembali mengulang pelajaran. Mengecek peralatan tempus, yakni pensil mekanik, penghapus, penggaris lurus, dan penggaris segita. Semuanya membawa itu, termasuk aku. Ujian kali ini dan ujian tengah semester kemaren. Walau masing-masing mempunyai kartu ujian, yang masing-masing matkul mempunyai nomor urut absen yang berbeda. Tapi nyatanya, nomor absen itu tidak berguna. Setiap orang bebas untuk menentukan tempat duduk mereka. Maka dari itu, ada pepatah yang mengatakan 'siapa cepat, dia akan mendapatkan bangku paling belakang'. Karena dipikiran hampir semua orang, bangku paling belakang itu paling aman untuk menyontek. Padahal tidak. Karena para pengawas akan duduk di sana.
"Sy, kamu sudah belajar?" Dhanty, teman dekatku selama kurang lebih satu semester ini, bertanya padaku setelah aku duduk di sampingnya.
Aku mengangguk. "Aku sudah belajar bahkan dari minggu lalu. Tapi aku tak yakin dengan ujian hari ini." Kepalaku aku tidurkan ke atas meja. Pasrah apa yang akan terjadi.
"Kamu tidak belajar lagi?" Dhanty menyodorkan catatannya ke arah mukaku.
"Ya, kita belajar bareng aja." Ucapku, yang kemudian mengeluarkan buku catatanku juga.
Kami berdua saling berdiskusi mengenai catatan kami masing-masing. Memutar kembali ingatan saat kelas, saat materi di berikan. Mengingat bermacam-macam rumus dan bagaimana cara mengaplikasikannya ke soal.
15 menit kemudian para pengawas datang dengan 2 buah map cokelat di tangan salah satunya. Ujian pun di mulai.
.
.
.
Dua minggu setelah itu. Hari libur semesteran di mulai. Sebenarnya, hari ujian yang menurutku sulit itu. Aku tidak duduk sebangku dengan Dhanty. Aku disuruh pindah duduk oleh pengawasnya, ke samping salah satu teman sekelasku, laki-laki, aku tak ingat namanya.
Ya back to hari ini.
Minggu yang tenang setelah ujian akhir semester. Tidak ada tugas, tidak ada notif chat masuk, sungguh tenang. Bangun pagi, berolahraga, membantu Bunda, dan mandi. Tapi itu semua hanya hoaks belaka. Sekarang sudah pukul 10 pagi - menjelang siang - aku masih di tempat tidur. Berkutat dengan handphone, membuka, men-scroll instagram, tiktok, reels, manhwa, dan repeat sejak 3 jam lalu setelah aku bangun tidur.
Bundaku sebenarnya sudah memanggilku sejak 2 jam yang lalu. Namun tidak aku gubris sama sekali. Hal ini tentu saja membuat Bunda murka, dan masuk ke kamarku. Membuka hordeng dengan kasar, sambil mengomel panjang.
"Arshyla Verentia Adnan!! Apa kamu tidak melihat sekarang sudah jam berapa? Bangun, mandi, dan makan! Sudah capek-capek Bunda masak tapi kamu apa?! Bangkit dari tempat tidur saja tidak?! Enak sekali ya!! Cepat bangun!!"
Dengan rasa cemas, aku berlari mengambil handuk, dan segera masuk ke kamar mandi. Kalau Bunda sudah mengomel dengan nama panjangku, itu sangat gawat. Bisa saja terjadi perang dunia ke-3 dan tentu saja uang jajanku akan dipotong. Aku tidak akan bisa melihat ayang gepengku jika uang jajanku dipotong. Itu sama saja menyiksaku.
"Bangun tidur, gosok gigi, cuci muka, main lagi~" aku bersenandung riang setelah keluar dari kamar mandi. Berjalan ke meja rias, meng-apply-kan skincare ke wajahku. Lalu kembali membuka handphone dan kembali berbaring di tempat tidur.
TING!
Sebuah pesan baru muncul
Dhanty : Arshy, nilai udah ada yang keluar. Pra-yudisiumnya sudah ada.
Aku refleks kaget. Membuka aplikasi hijau, membuka grup chat angkatan, dan benar saja di sana sudah terdapat pesan yang berisi link untuk melihat nilai pra-yudisium.
Dengan cemas, Aku mencari namaku di sana. Deg!
TING!
Dhanty : Gila! Si Dije, cowok yang duduk sebelahmu kemaren itu, yang katamu dia nanya mulu pas ujian itu, dapat A?!
"Bunda!!!!"
Aku berteriak histeris. Menangis di ujung kasurku. Nilaiku hancur. Merah.
"Kenapa Nak?" Bukannya Bunda yang menghampiriku. Papa-ku muncul dari balik pintu, beliau masuk dengan wajah cemas melihatku menangis segugukan.
Aku tidak menjawab pertanyaan Papa, hanya kembali menangis histeris, dan semakin menjadi saat Bunda masuk ke kamar.
"Nilaiku, E!!" Setelah beberapa menit Aku berusaha mengontrol emosiku, akhirnya menjawab pertanyaan Papa dan Bunda.
"Shyla ga pernah bolos, tugas selalu Shyla kerjain, kok bisa E?! Sedangkan itu si teman Shyla, yang bahkan ujian kemaren dia bertanya ke Shyla, malah dapat A!!!" Air mataku kembali mengalir.
Bunda berusaha menenangkanku, "sudah, nanti kamu baik-baik hubungin dosennya, minta kejelasan. Mengapa nilaimu bisa langsung E, yang jelas-jelas itu nilai untuk orang yang sering bolos. Sudah, yuk tenang, kita ke bawah. Hari ini sebenanrnya Bunda masakin makanan kesukaan Shyla. Shyla makan dulu, nanti baru hubungin dosennya."
Aku mengangguk.
Papa mengusap rambutku, "Papa yakin dosen itu yang salah. Tidak mungkin anak Papa dapat nilai E. Ayo kita turun bersama!"
Setelah itu. Malam itu. Aku mendapatkan kabar bahwa sang dosen tidak menerima protes atas nilai yang diberikannya dikarenakan ada satu mahasiswa, yang bahkan dia tidak sekelas denganku, menghubungin beliau dengan tidak sopan. Aku bergeming. Nilaiku tetap E tanpa kejelasan. Sedangkan si Dije, teman yang duduk di sebelahku saat ujian, yang aku dengar-dengar dia juga sering tidak mengumpulkan tugas, mendapatkan A.
Pak, apa salahku? Aku pantas untuk dapat lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSY DAN ARSITEKTUR
Ficção Adolescente"ARSITEKTUR ! JAYA SELALU!" Semboyan padat nan singkat. Yang tentu saja sudah muak-ku dengar. Namaku Arsyla Venetia Adnan. Panggil aku Arsy, Vene, Lala, Tia, Syla, atau sayang juga boleh. Tapi jangan panggil aku Adnan! Ku smackdown kalian! Ini hany...