Seulgi's PoV
Akhir pekan, jalanan Seoul di sore hari begitu padat. Hampir seluruh penghuni Seoul keluar serempak, menimbulkan kemacetan dibeberapa titik, termasuk dari beberapa hunian apartemen.
Aku menghela napas. Menatap beberapa kendaraan roda empat bergerak lambat, menunggu dan berharap kendaraan di depan bergerak lebih cepat.
"Maaf nyonya, sepertinya kita akan terlambat sampai tujuan, kemacetan terlihat sampai empat blok ke depan," ujar supir taksi, dia melirikku melalui spion tengah.
Kepalaku dengan cepat menoleh, menatap sang supir. "Ah tidak masalah, sepertinya yang lain pun ingin pergi berkencan dengan pasangannya, membuat jalanan begitu sesak," jelasku dengan senyum merekah, berhasil membuat pak supir tertawa pelan.
"Saya harap istri anda tidak marah karena datang terlambat."
"Semoga saja," kekehku.
Kepalaku tertunduk, menatap buket bunga mawar perpaduan warna biru dan putih. Sebelum sampai di titik kemacetan saat ini, aku meminta sang supir untuk melewati jalan yang biasa kulewati untuk membeli buket bunga di tempat langgananku. Meski lokasinya searah dengan kantor Jennie, tapi aku dapat menduga sang supir tidak akan memilih jalur yang kuminta karena lebih jauh dibandingkan dengan jalur cepat yang dilewati saat ini.
Aku melirik arloji yang melekat di pergelangan kiri, sudah 15 menit taksi yang kunaiki berada di tengah kemacetan. Seharusnya aku udah sampai di kantor Jennie dari 10 menit yang lalu. Tiba-tiba saja rasa panik menyelimutiku. Tumitku bergerak gusar sembari melihat kendaraan di depan berhenti cukup lama.
Aku takut jika Jennie sudah pulang. Sebelumnya aku sudah bertanya kepada Alison mengenai jadwal Jennie hari ini. Jika tepat waktu, Jennie akan keluar dari kantor pukul 4 sore. Dan sekarang sudah jam 3 lewat 47 menit. Waktuku tidak banyak, tersisa 13 menit lagi.
Aku merutuki kebodohan karena sudah kalah taruhan melawan Lisa, membuatku terjebak kemacetan di dalam taksi. Dompet kukeluarkan, mengambil selembar 50 ribu won, dan kuberikan pada sang supir. "Ambil saja kembaliannya, saya akan turun di sini," ucapku.
"Tidak nyonya, ini terlalu banyak," celetuk si supir.
"Ambil saja." Aku segera memakai masker berwarna putih, lalu keluar dari taksi sambil menggenggam buket bunga.
Kuambil langkah besar, berlari menuju trotoar sebelum menjadi sasaran empuk para kendaraan roda empat yang sudah kehilangan kesabaran menghadapi kemacetan. Kantor Jennie berada lima blok di depan. Aku harus lari cepat sebelum Jennie meninggalkan kantor atau aku harus menggunakan taksi kembali untuk pulang.
Kedua kakiku bergerak cepat, berlari sekuat tenaga menuju kantor Jennie. Puluhan orang kulewati dengan lincah, sesekali aku memeriksa buket bunga yang masih aman digenggamanku. Kuhabiskan waktu 10 menit berlari sepanjang lima blok, akhirnya aku sampai di kantor istriku tercinta, Odd Atelier―label yang sudah dia bangun sejak 17 tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE KISS (PENDING)
RomanceKedekatan Seulgi dan Irene dalam sebuah group duo tidak menjamin jika mereka memiliki rasa satu sama lain. Semua yang mereka jalani selama ini hanya sekedar memuaskan para penggemar mereka yang berharap jika Seulgi dan Irene memiliki hubungan yang k...