8 - (Bukan) Cinderella

50 9 2
                                    

"Cemberut terus, kenapa sih?"

Gaya keren Gandi duduk melebarkan kaki menghadap ke arah Freissy di ruang ganti butik pilihan Pras diikuti kakak pertama dan dua adiknya. Mereka penasaran senyum Freissy tumben bersembunyi sepanjang Aninda mengepas kebaya khusus akad nikah dan peach informal cocktail dress. Berbalut seragam khas anak sekolah, Freissy memilih menunduk memainkan kuku.

Bukan apa-apa, ia malu setengah mati, menyesal setengah hidup telah berkata jujur di telepon semalam.

"Frei, ditanya masnya tuh." Ibrar mencolek lengan kiri gadis itu. Akhirnya, Freissy bisa menoleh sedikit, membalas singkat senyum Gandi.

"Frei cuma bad mood, Mas." Klisenya alasanmu, Nak, jangan harap mereka tertipu.

"Bad mood sama pengen menjauh itu dua hal berbeda." Bagus, Sabda. "Kamu ada masalah di sekolah apa gimana? Takut banget kayaknya kita mau makan kamu. Nafsu aja nggak."

Mulut Ibrar menganga ketika Lingga sukses ngakak. "Bang! Astaghfirullah, aki-aki satu ini mulutnya... kaget hamba."

"Cuekin aja." Tegur Gandi, padahal Freissy masih terlongong tertarik mendengar banyolan datar Sabda. "Bang Sabda bener. Bentar lagi, ehmm... kita bakal jadi saudara. Kalau ada sesuatu yang ganggu pikiran kamu, cerita aja sama kita, Frei."

"Nggak ada masalah, Mas. Udah sana ukur jas dulu."

Freissy tidak bermaksud mengusir secara halus, hanya bertepatan dengan panggilan Pras meminta keempat pangerannya melakukan hal serupa. Tinggallah Freissy memainkan ponsel sebelum dirundung bosan.

Bercakap layaknya kakak adik memang menyenangkan, tetapi Freissy mesti sadar diri, tidak mudah menerima keberadaan banyak anggota keluarga baru dengan jarak umur paling dekat 13 tahun. Cukuplah sebulan baginya menjalani bimbingan konseling pribadi supaya kepolosannya luntur sedikit demi sedikit.

Freissy tidak ingin bersikap memalukan di hadapan keluarga besar Pras. Mereka keluarga berada, ia dan Aninda terbiasa hidup sederhana. Maka itu, Freissy meminta waktu mempelajari table manner ala orang kaya agar kakak-kakaknya pun bangga padanya.

Meskipun Sabda, Gandi, Lingga, dan Ibrar minim keberatan. Freissy menerima mereka apa adanya sudah sangat bagus, toh bocahnya anti neko-neko. Ditambah kesederhanaan dan senyum ceria Freissy pelan-pelan menggerus rasa bersalah Sabda, Lingga, dan Ibrar yang terlahir akibat duri dalam daging dibiarkan mengering.

"Frei, giliranmu." Tangan Gandi terulur membantu Freissy berdiri, diantarnya ke ruang ganti ditemani seorang asisten wanita.

"Mas mau tunggu di sini?" Aneh juga, seperti calon pengantin saja.

Gandi mengangguk. "Mas pengen curi tahu kamu secantik apa walau nggak dandan."

"Astaghfirullah, Mas, tanggung jawab kalo Frei GR pokoknya!"

Lelaki iseng itu mengambil ponsel titipan Freissy, menunggu adik barunya berganti dua gaun rekomendasi asisten terpercaya. Pikirannya melayang-layang mengenang pengakuan haru Freissy, Gandi akhirnya mengerti. Mungkin Freissy butuh banyak waktu meninggalkan rumah kenangan Radhif dan Aninda tempatnya dibesarkan.

Gampang. Gue pastiin dia jarang nangis sama gue.

Sang asisten siap menarik buka tirai, datanglah Sabda, Lingga, dan Ibrar.

"Ahelahhh... Ngapain ikut-ikutan ke sini sih?"

"Emang cuma lo doang yang boleh lihat cewek cakep?" Tukas Ibrar sengak.

"Tarisa sama Fazwan masih di jalan. Gue pengen tahu dulu contoh bahan gaun buat anak cewek kecenya kayak gimana." Kadang-kadang Sabda bisa lebih tsundere dibanding Lingga.

PRASTADIRA [Proses Penerbitan] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang