"Nah, Frieren. Jangan terlalu lama bersedih. Manusia memang memiliki waktunya sendiri, berbeda denganmu yang memiliki waktu lebih lama, mengerti?" Heiter mengusap-usap kepala penyihir yang lebih tua darinya itu sambil menenangkannya.
Hari ini, salah satu dari mereka telah berpulang. Himmel, sang pahlawan, telah mengabdikan hidupnya untuk melindungi kota dari marabahaya, disertai rekan satu grupnya yang senantiasa menemaninya. Heiter, Eisen, dan sang penyihir, Frieren.
"Aku tahu ini sulit bagimu, karena kau merasa waktu selalu berjalan dengan cepat, meski kenyataannya sudah ratusan purnama yang telah terlewat." Eisen juga menenangkannya dengan mengelus punggung sang penyihir yang tengah terisak kecil.
"Aku selama ini tidak memahaminya sama sekali... hiks, tanpa sadar, aku sudah terlambat." ucap si penyihir masih tertunduk, menatap gundukan tanah di hadapannya.
Heiter dan Eisen yang mencoba untuk menahan tangisannya pun masih mencoba menenangkan gadis yang tengah terisak itu. Berbagai macam kata penenang sudah dilontarkan hanya untuk si penyihir. Karena bagi mereka berdua, tangisan Frieren ini sudah pasti memiliki makna yang terlalu dalam, mengingat hidupnya yang sangat datar dan tak ekspresif sama sekali.
"Daijoubu, dia akan kembali ke kehidupannya seperti biasa, meski aku masih mengkhawatirkannya." bisik Eisen kepada Heiter, di belakang Frieren yang berjalan mendahului mereka berdua.
"Fyuhh, aku harap juga begitu."
"Anone, futaritomo, aku akan berkelana lagi..." Frieren membalikkan badannya untuk menghadap kedua rekannya yang tersisa.
"Souka... jaa, nikmati perjalananmu dan berhati-hatilah. Kalau sempat, kunjungi kami sesekali." ujar Heiter, menepuk bahu gadis itu seraya menunjukkan lengkungan naik pada bibirnya.
"Kalau begitu, sampai bertemu lagi, kalian berdua." Eisen meninggalkan mereka duluan, berjalan belok ke arah yang berbeda dengan Frieren dan Heiter. Sementara Heiter akan menetap di kota ini, Frieren mulai membawa koper coklatnya pergi.
"Semoga kalian masih hidup saat aku menemui kalian."
.
.
.
"Namanya Fern, aku ingin dia menjadi muridmu." Sudah lebih dari 20 tahun setelah kematian Himmel, Frieren menemui Heiter, si pendeta sesat yang hobi mabuk.
Frieren mengernyit, lalu mengalihkan pandangannya ke arah gadis kecil berusia sekitar 8 tahun itu.
"Anak ini...? Apa yang bisa dia lakukan?" Fern yang dikatai seperti itu hanya bisa menggembungkan pipinya, lalu pergi dari mereka.
"Ikutilah anak itu, maka kau akan tau."
Di luar, meskipun hujan deras, Frieren tetap mengikuti ke mana arah Fern pergi dengan malas, karena ini perintah dari si pendeta sesat itu. Sesampainya di tempat tujuan, Frieren melihat dari semak-semak, sosok Fern kecil yang tengah mengarahkan tongkatnya ke batu besar di seberang tebing, sambil mengeluarkan sihirnya yang menghancurkan batu itu tipis-tipis.
"Anda melihatnya, kan?" Fern kecil berbalik dan menghadap ke arah si penyihir yang tengah bersandar pada sebuah pohon.
"Daya sihirmu masih kecil sekali, 10 tahun kemudian pun kau tetap tidak akan bisa menghancurkannya." Frieren meninggalkan Fern, dengan rasa kesal yang mulai menjalar pada diri gadis kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Frieren; A New Journey Start Now [Feat. Himmel]
Fantasy29 tahun setelah kematian sang pahlawan, Himmel. Fern terkejut atas apa yang ditemukannya di halaman rumah miliknya dan gurunya. Anak kecil dengan surai langit yang tengah tergeletak lemas seraya memejamkan mata itu membuat Fern bergegas memanggil g...