Prolog

377 28 32
                                    

Bertemu dan berpisah denganmu,
Adalah takdir yang tidak bisa aku rubah.

_Muhammad Alkana Habibi As-safir_

___________________________

  Muhammad Alkana Habibi As-safir, anak dari salah satu pemilik pondok pesantren di Jakarta. Laki laki berumur 24 tahun itu baru saja menyelesaikan S2 nya di Kairo.

Alkana atau kerap disapa Gus Alka, terkenal karena kepintarannya yang diatas rata-rata. Selain itu, wajah tampan serta akhlak baik menambah nilai plus dalam dirinya. Hanya satu yang kurang, dia itu datar, tanpa emosi.

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum, Alka! Ayo berangkat nak!" ajak Laila, ibu kandung Alka, tepat di depan pintu kamarnya.

"Wa'alaikumussalaam, iya umi!" jawab Gus Alka. Ia mengambil koper coklat miliknya lalu beranjak keluar.

"Kamu ini lama sekali nak," ucap umi Laila.

"Maaf, umi," balas Gus Alka.

Umi Laila menggelengkan kepalanya heran, anak satu-satunya ini kenapa selalu menampilkan wajah datar? Belum lagi nada suaranya yang terkesan tanpa emosi. Jika diingat-ingat suaminya, Kyai Ammar, juga sama seperti Gus Alka. Namun, rasanya tidak separah anaknya ini. Dulu suaminya akan bersikap hangat dan menampilkan banyak ekspresi saat bersama keluarganya. Sementara Gus Alka? tidak ada yang berbeda! Hanya saja saat berada di rumah ia sedikit lebih banyak bicara dari pada di luar. Namun dari segi ekspresi dan nada suara, tidak berubah sedikit pun.

"Ayo, Abi sudah menunggu di bawah," ajak umi Laila. Gus Alka tak menjawab, ia hanya mengangguk lalu mengekor di belakang uminya.

"Sudah siap semua?" tanya Kyai Ammar saat melihat istri dan putranya mendekat ke arahnya.

"Sudah abi," jawab umi Laila.

"Baiklah ayo berangkat!" ajak Kyai Ammar. Ia mendekat ke arah salah satu pengurus pondok pesantren miliknya, "Saya titip pondok ya ustaz," ucap Kyai Ammar.

"Baik kyai, in sya allah pondok aman," ucap ustaz Hariz.

"Terima kasih ustaz, dan maaf merepotkan," ucap umi Laila menimpali.

"Tidak merepotkan sama sekali, bu nyai, justru saya senang bisa membantu," balas ustaz Hariz.

"Kalau begitu kami pamit ustaz, Assalamu'alaikum," pamit Kyai Ammar.

"Wa'alaikumussalaam, hati hati, pak kyai, bu nyai, gus Alka," ucap ustaz Hariz yang dibalas senyuman oleh kyai Ammar dan umi Laila. Sementara Gus Alka hanya mengangguk.

Hanya butuh waktu sekitar dua jam untuk mereka sampai di kota Bandung. Namun, karena rumah adik kyai Ammar berada di pelosok dan dekat dengan hutan membuat perjalanan mereka menjadi lebih lama.

Mereka pergi ke Bandung atau lebih tepatnya ke rumah adik kyai Ammar, Aini, karena mendapat kabar adiknya hamil setelah sekian lama. Saat mendengar kabar gembira itu kyai Ammar dan umi Laila pun memutuskan untuk pergi berkunjung dan menginap selama beberapa hari di sana.

Mobil yang ditumpangi oleh kyai Ammar dan keluarganya berhenti di depan rumah sederhana yang memiliki dua lantai, dengan halaman depan dan belakang yang luas.

KanaLaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang