Pacaran?

91 8 1
                                    


Mencintai itu tak harus memiliki, karena puncak tertinggi mencintai adalah mengikhlaskannya pergi.

_Arshela Hilyana Hisbi_

Jika kamu mencintai seseorang maka biarkan dia pergi, jika dia kembali berarti ia milikmu, namun jika ia tak kembali maka ia bukan milikmu.

_Ali Bin Abi Tholib_

_____________________

"Lo selingkuh dari gue?!" bentak seorang laki-laki di depan seorang gadis yang terlihat panik dan takut.

Uhuk! Uhuk!

Shela terkejut dengan teriakan tiba-tiba didekat mereka yang membuatnya tersedak kuah seblak. Nindi yang melihat Shela tersedak pun panik dan memberinya minuman yang ia beli tadi.  Shela menerima minuman itu lalu meminumnya hingga tersisa setengah.

Dengan wajah kesal, Nindi menatap sepasang kekasih yang sedang bertengkar di depan mereka, namun dengan jarak yang tidak terlalu dekat.

"Woy mas! Kalau mau marah-marah jangan di sini! Temen saya keselek nih!!" teriak Nindi dengan kekesalan yang sudah tak terbendung lagi.

Sepasang kekasih yang bertengkar tadi menoleh menatap Nindi. "Mbak mending diem deh! Ga usah ikut campur urusan saya!" sarkas laki-laki itu, panggil saja Dito.

"Sekarang saya tanya, nama mas siapa?" tanya Shela dengan pertanyaan yang tidak berbobot sama sekali.

"Kamu ngapain nanya nama dia segala sih, La?!" tanya Nindi. Ia tak habis fikir dengan sahabatnya ini.

"Gapapa Nin, cuman mau tau aja," Kalimat santai yang keluar dari bibir Shela itu berhasil membuat Nindi tercengang.

"Ekhm! Nama gue Dito!" ucap Dito dengan nada sinis.

"Ck! Santai dong mas!" ujar Shela yang kesal dengan Dito karena marah-marah tanpa sebab.

Nindi memutar bola matanya malas. "Heh sabun detol! Kalau mau marah marah di rumah sono! Baru ga ada yang akan ikut campur. Lah kamu marah marah di tempat umum ege! Ganggu kenyamanan orang lain, tau ga?!" sarkas Nindi, menatap sinis ke arah Dito.

Shela mengernyitkan alisnya, bingung. "Kan yang marah marah namanya Dito, Nin. Kenapa jadi sabun detol? Emang sabun detol bisa marah marah?" Shela bertanya penuh dengan kebingungan.

Nindi menatap sengit ke arah Shela. Kenapa sifat lemot sahabatnya itu muncul disaat-saat seperti ini?

"Gapapa La! Sumpah gapapa! Lupain aja!" ucap Nindi pada akhirnya. Ia malas menjelaskan pada sahabat lola-nya ini, karena pasti tak akan selesai selesai.

Shela mengedikkan bahunya tak peduli. Lalu melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda. Sementara Dito dan pacarnya masih saja melanjutkan pertengkaran mereka.

"Aku beneran ngga selingkuh! Percaya sama aku!" ucap gadis di depan Dito, panggil saja Jela.

"Terserah! Gue ngga percaya sama lo! Kita putus!" sarkas Dito lalu pergi setelah memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Meninggalkan Jela yang menangis dan meraung.

"Tuh cewek gila kali ya," ucap Nindi pelan, sehingga yang mendengar ucapannya hanya ia dan Shela.

"Kayaknya masih waras deh, Nin. Kalau dia gila seharusnya dia di rumah sakit jiwa," ucap Shela menimpali. Tanpa tau kalimat yang ia ucapkan membuat wajah Nindi merah padam menahan rasa kesal.

"Kamu mending diem aja deh, La. Sumpah diem aja! Aku capek!" ucap Nindi, sebelum kekesalannya meledak.

Shela mengedikkan bahunya tak peduli. Lalu menoleh ke depan dimana Jela masih menangis dengan suara yang cukup keras.

"Hidup tanpa pacar aja rasanya tersiksa, apalagi kalau di akhirat tanpa cinta Allah ta'ala," ucap Shela, bermaksud menyindir Jela yang meraung dan menangis tanpa malu di tempat umum, hanya karna putus dengan Dito.

"Ditinggalin pacar aja nangis berhari-hari, giliran ninggalin sholat sok ga peduli," Lagi, kalimat sarkas dengan nada julid itu terucap dari bibir Shela.

Jela menatap tajam ke arah Shela. "Diem deh lo! Cewek buta kayak lo tau apa?! Gini gini gue juga hafal Al Qur'an!" sarkas Jela dengan suara cempreng yang menggelegar.

"Woy jelly! Ga waras ya lo?! Ga usah bawa bawa fisik sahabat gue!" Dengan penuh amarah, Nindi berteriak pada Jela. Bahkan panggilan yang biasanya aku-kamu telah berganti menjadi lo-gue.

Jela tersentak, berfikir bagaimana Nindi bisa mengetahui namanya. Ia memperhatikan Nindi dengan seksama, sekarang ia tau, Nindi adalah tetangganya.

"Gapapa Nin, it's oke, i'm fine, gwenchana... gwenchana...." ucap Shela, berniat menghibur Nindi yang diselimuti api amarah.

Shela kembali menatap Jela. "Untuk apa kamu menghafalkan beribu-ribu ayat Al Qur'an, jika larangan dalam satu ayat saja kamu langgar?" Shela menjawab dengan tenang. Seolah tak terpengaruh dengan hinaan yang dilayangkan oleh Jela.

Sementara Jela hanya diam, tak tau harus menjawab apa. Ia pun memutuskan pergi dari sana, karena sudah kepalang malu.

Nindi yang melihat kepergian Jela pun mencibirnya dalam hati. Ia menatap Shela yang terlihat tenang. "Ini yang aku suka sama Shela, dia bukan orang yang bakal diam aja saat diinjak-injak. Tapi kadang aku juga ketar-ketir sama ucapan dia yang ceplas-ceplos." batin Nindi.

"La, kamu kalau mau nyindir orang jangan di depan orangnya langsung dong!" ujar Nindi.

"Terus kalau bukan di depan orangnya langsung, kapan Nin?" tanya Shela.

"Ya pas orangnya pergi atau waktu kita berdua doang kan bisa," jawab Shela.

"Itu mah bukan nyindir, tapi ghibah!" sarkas Shela.

"Iya juga ya," gumam Nindi. Namun Shela masih dapat mendengar apa yang Nindi ucapkan.

"Eh La, aku mau tanya dong!" ucap Nindi. Ia teringat sesuatu yang ingin ia tanyakan pada Shela.

"Nanya apa?" tanya Shela. Ia cukup penasaran dengan apa yang ingin Nindi tanyakan.

____________________

Holaa

Gimana bab kali ini, suka ga?

Maaf ya baru up....

Semoga suka.

Oke gitu aja, papayyyyy.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KanaLaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang