Perkataan dari Puspa masih terngiang-ngiang di kepalanya. Berita tentang pernikahannya beberapa hari yang lalu sudah menyebar dimana-mana. Seingatnya, acara pernikahan yang dia selenggarakan hanya dihadiri oleh keluarga terdekat. Kenapa sekarang, orang lain sampai tahu berita tentang pernikahannya. Puspa yang baru dikenalnya itu juga menyudutkan Jora sebagai anak pembawa sial. Kenapa semua orang membencinya atas perbuatan yang tidak pernah dia lakukan. Kematian yang menimpa Kala tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan mereka, ini sudah takdir dari sang pencipta.
Untung saja Gauri tidak kemakan omongannya Puspa. Temannya sewaktu sekolah itu tidak peduli dengan ucapan yang keluar dari mulut Puspa. Bahkan Gauri yang membelanya dan mengancam akan memecat Puspa jika gadis itu berani menganggu Jora lagi. Jora sangat beruntung memiliki teman baik seperti Gauri.
Mereka berdua sempat menghabiskan waktu bersama di toko kue yang jaraknya tidak terlalu jauh dari cafe Gauri. Hari ini adalah hari ulang tahun Mamanya Gauri, dia meminta Jora untuk menemaninya mencarikan kue yang cocok untuk Mamanya nanti.
Setelah sudah menemukan kue yang dirasa cocok, maka mereka berdua segera menuju ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran.
Gauri sempat ingin mengantarkan Jora sampai ke rumah tapi tawaran yang diberikannya ditolak dengan cara halus.
"Aku jalan kaki aja nggak apa-apa kok. Sekalian sama olahraga juga."
Begitulah kata Jora sebelum dia meninggalkan Gauri yang tengah berusaha membujuknya untuk tetap ikut pulang bersamanya.
****
Sesampainya di rumah dia mendapati Caya yang sedang duduk di ruang tamu, seperti menunggu sesuatu.
"Darimana? Pekerjaan di rumah belum kamu selesaikan, tapi kenapa malah keluyuran nggak jelas!" bentak Caya dengan suara yang lebih keras.
"Aku dari cafe, Ma. Aku melamar pekerjaan disana," balas Jora dengan menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap wanita yang ada dihadapannya ini. Dari dulu Jora selalu takut jika mendengar seseorang berbicara dengan suara keras seperti yang dilakukan oleh Caya barusan.
"Pergi dari rumah nggak ijin dulu? Dimana sopan santun kamu?" Jora semakin menundukkan kepalanya mendengar bentakan dari Caya. Gimana Jora mau ijin, sedangkan pagi tadi Caya sudah pergi setelah meninggalkan Jora di dapur sendirian.
"Tadi Mama pergi, jadi aku nggak sempat ijin," jawab Jora dengan suara yang bergetar.
"Halah alasan aja kamu! Sebelum Mama pergi kenapa nggak bilang dulu kalau mau melamar pekerjaan?"
"Maaf, Ma. Aku lupa."
Sebuah tamparan keras Caya berikan kepada putrinya ini. Pipi mulusnya menjadi merah karena mendapat tamparan keras dari Mamanya sendiri.
"Sini ikut Mama." Caya menarik tangan putrinya sangat kuat. Langkah meraka terhenti di depan kamar mandi.
"Mama mau ngapain? Aku tadi udah mandi kok, Ma." Jora berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Caya.
Tubuhnya didorong sampai dia terjatuh di lantai kamar mandi yang dingin. Saat Jora ingin berdiri tangan kanannya sengaja diinjak oleh Caya. Tangan yang sengaja diinjak oleh Mamanya itu terdapat luka dari pecahan gelas. Sakitnya berkali-kali lipat. Apalagi Caya tadi pagi juga sengaja menumpahkan air larutan garam dan perasan jeruk membuatnya lukanya semakin perih.
Teriakan memilukan berasal dari Jora. Gadis itu semakin kesaktian karena tangannya diinjak oleh Mamanya sendiri. Darah segar mengalir membasahi permukaan lantai kamar mandi.
Kini badannya basah kuyup karena air yang berasal dari shower. Jora mengigit bibirnya untuk menahan isakan kecil yang sebentar lagi akan keluar dari mulutnya. Ini sangat perih, luka yang seharusnya diobati kini malah sengaja dibasahi oleh air.
"Ini hukuman buat kamu! Siapa suruh keluar rumah nggak ijin dulu, ya ini akibatnya!"
"Ma, aku kedinginan." Jora berkata dengan suara yang bergetar, tubuhnya menggigil karena air shower yang mengalir membasahi seluruh badannya.
"Salah kamu sendiri, kenapa pergi nggak bilang dulu? Sehari aja, kamu nggak buat Mama pusing bisa nggak? Mama tiap hari harus nanggung rasa malu, semua teman-teman Mama ledekin keluarga kita, karena pernikahan kamu yang gagal itu. Semua ini kesalahan kamu! Seharusnya waktu itu, Mama nggak kasih restu buat kamu menikah. Kamu lihat sendiri sekarang, suamimu mati kerena pernikahan kalian. Kamu itu pembawa sial!"
Ucapan yang keluar dari mulut Caya seperti ribuan anak panah yang menancap dihatinya. Sakit, kenapa dia selalu disalahkan? Bahkan Papa kandungnya yang dulu selalu memanjakan dirinya kini sudah berubah, Papa memilih pekerjaan ke luar kota dengan alasan agar tidak bertemu dengan putri semata wayangnya ini. Seminggu hanya pulang sekali, itupun hanya kata-kata kasar yang di dapatkan dari. Padahal, dia butuh pelukan hangat dari kedua orang tuanya. Namun, hanya siksaan yang selalu dia terima. Semua berubah dalam sekejap. Tidak ada lagi keluarganya yang harmonis, dulu Mama dan Papanya selalu memanjakan Jora layaknya anak kecil meksipun umurnya sudah menginjak kepala dua. Itu hanya kenangan yang tidak akan bisa dia ulangi lagi.
"Diam aja disitu! Jangan coba-coba untuk kabur! Malam ini kamu nggak dapat jatah makan! Kalau lapar minum air shower yang mengalir itu!"
Baru saja Jora ingin protes tapi Caya tidak memberikan dia kesempatan untuk berbicara. Apalagi dia tidak akan mendapatkan jatah makan, perutnya hanya diisi sepotong roti yang dia beli sewaktu pulang dari cafenya Gauri tadi. Itu artinya dia akan dikurung di kamar mandi semalaman penuh. Kondisi tubuhnya sangat memprihatikan, luka-luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh tapi sekarang mendapat siksaan lagi.
Kenapa harus Jora yang merasakan ketidakadilan? Dia juga korban atas masalah yang menimpanya, hatinya belum ikhlas atas kepergian Kala. Dia rindu kekasihnya yang telah tiada beberapa hari yang lalu, dan rasa rindunya tidak akan pernah terobati. Jora ingin menangis dipelukan lelaki itu, dia tidak sanggup jika harus berjuang sendirian seperti ini. Bukan hanya kekerasan fisik yang dia terima, melainkan berbagai kata-kata kasar juga dia dengar dari orang-orang terdekatnya.
"Hiduplah bersamaku. Aku akan berusaha membahagiakanmu."
"Jadilah istriku, kita akan membuka lembaran baru bersama."
"Tetaplah tersenyum seperti ini, aku suka kalau kamu senyum. Aku makin semangat menjalani hari-hari yang terasa berat."
"Aku akan selalu ada disampingku. Tidak akan ku biarkan siapapun menyakiti gadis kesayanganku."
Perkataan dari Kala langsung terlintas dikepalanya. Lagi dan lagi dia harus tersiksa karena rindu. Jora masih ingat betul pertama kali dia mengenal lelaki itu. Mereka berkenalan saat bertemu di toko buku yang sering dikunjungi oleh Jora. Jora yang kelupaan tidak membawa dompetnya, terpaksa harus mencari cara agar dapat membeli novel kesukaannya. Saat dirinya sibuk mencari dompetnya, tiba-tiba Kala menawarkan bantuan. Lelaki itu mengeluarkan dua lembar kertas berwarna merah dan memberikannya kepada Jora.
"Pakai uangku aja. Anggap aja sebagai tanda terima kasih karena udah membantuku mencarikan buku ini." Kala menunjukkan sebuah buku yang berjudul 'Astronomi'. Lelaki ini memang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan dunia luar angkasa.
"Namaku Kala, kalau kamu?"
"Kejora."
"Kejora? Nama yang cantik, seperti bintang Kejora yang ada di langit."
*******************************************
Bersambung....
haiiii guyss🌻
gimana sama ceritanya?
ada yang mau jadi temannya Kejora? hehe
yok bantu vote dan komen di bawah ini
dukungan dari kalian sangat berarti buat akusampai jumpa di part selanjutnya yaa🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Membawa Luka
Fiksi Remaja🌻 SEBELUM MEMBACA DIWAJIBKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU🌻 ***** Mulai dari sini kehidupannya berubah drastis, yang dulunya penuh dengan keharmonisan kini harus menderita. Dianggap sebagai anak pembawa sial, kekerasan fisik sering kali dia terima. Kejor...