DADDY mau menjualku. Beberapa hari terakhir kalimat tadi menyinggahi benak Diora tanpa henti. Utang yang tertera MOU utang perkebunan ayahnya dengan Syntax Urea Corp terlalu banyak, hanya dapat lunas jika perkebunan dijual. Mathias menolak ide Diora. Hatinya perih menyadari betapa sang ayah lebih menyayangi tanaman jeruk dibanding putrinya.
Diora kini berada dalam sebuah Audi. Supir suruhan Adonis menjemputnya menuju bandara internasional. Perlu waktu seminggu baginya untuk mengurus cuti dari kampus dan berpamitan pada teman-temannya. MOU antara dirinya dengan Syntax memuat pasal non disclosure agreement. Artinya Diora wajib menutup mulut dan dilarang menggembar-gemborkan apa pun.
"Kita sudah sampai, Nona Tan." Si supir menoleh padanya.
Diora akrab dengan bandara. Keluarganya bepergian ke luar negeri paling sedikit setahun sekali. Semuanya untuk liburan, bukan perbudakan. Yeah, apa namanya kalau harus bekerja selama 5 tahun tanpa bayaran kalau bukan perbudakan? Dengan langkah berat Diora turun. Si supir pun turun lalu menuju bagasi, menurunkan koper gadis itu.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Diora.
"Akan ada seseorang yang menjemput Anda. Silakan menunggu," Si supir menjawab sopan.
Sambil mencengkeram pegangan kopernya yang berisi pakaian, Diora mengamati keadaan sekeliling. Orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Sama sepertinya, akan pergi ke suatu tempat. Bedanya dia akan pergi ke tempat hukuman mati.
"Miss Diora Tan?" Seorang pria tampan bercelana bermuda krem dan V-neck T-shirt kuning menyapanya.
Jesus Christ, pria ini sungguh sempurna. Alis dan matanya menyerupai aktor Jude Law. Teduh, sangat damai. Hidungnya mirip Ian Somerhalder. Tidak terlalu mancung, tapi cocok berada di sana. Bibirnya yang merah tanda dia bukan perokok. Lalu rahangnya itu pasti milik Robert Pattinson. Anehnya semua tampak harmonis. Lengannya yang berotot dihiasi tato busur biola. Ah, ingin rasanya Diora menjadi biola yang digesek oleh pemilik tato busur biola itu. Apakah Diora sudah mati dan masuk surga?
"Apa Anda dioperasi?" Terlambat untuk malu. Alih-alih menanyakan nama, Diora justru menanyakan apakah pria tampan di hadapannya ini dioperasi.
"Kemari, biar kubantu." Pria itu mengambil pegangan koper dari tangan Diora.
Gadis itu tersenyum bagai terhipnotis dengan mata sang pria yang membius. Dia melangkahkan kakinya bersama si pria. masa bodoh ayahnya. masa bodoh Adonis Benette tua bangka gay itu. Bersama pria tampan baik untuk kesehatan mata Diora.
"Apakah perjalanannya melelahkan?" Pria tampan tadi bertanya sambil menyeret kopernya. Sangat baik hati.
"Tidak kok." Senyuman semanis madu pohon peach mengembang di wajah Diora.
"Bagus kalau gitu. Apa kau siap ke Yunani?" tanya si pria tampan.
"Siap." Diora menjawab antara sadar dan tidak.
Mereka pun terus melangkah memasuki ruang imigrasi.
"Paspor?" Lengan kokoh pria tampan tadi terulur ke depan wajah Diora. Gadis itu merogoh tas Dior mengambil dokumen yang diminta. Petugas Bandara mengangguk setelah mengeceknya.
Kaki mereka pun mengantarkan sampai ke lapangan beton. Di sana telah tersedia pesawat jet keluaran Boeing. Di badan pesawatnya tertulis 'Syntax Corp'.
Pria tadi masih membawa koper Diora sambil menaiki tangga pesawat disusul Diora di belakangnya.
"Welcome." Seorang pramugari bermata biru cantik semampai berambut coklat menyapanya.
Lelaki yang membawa koper Diora tersenyum lalu duduk di sofa. Koper Diora diletakannya di samping sofa panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Billionaire Obsessed
RomanceAdonis Benette memiliki segalanya. Ketampanan, kekayaan, serta kedudukan. Orang menganggapnya laki-laki penolong dan baik hati, tanpa mengetahui skandal yang disimpannya rapat-rapat dari dunia. Adonis mencintai istri karyawannya sendiri. Ketika Mat...