Mei 2007
"Ayah, maaf aku hamil."
Sinar yang muncul di langit berserta suara yang menggelegar itu seakan selaras dengan dunia Adrian yang runtuh seketika. Pertengahan bulan Mei seharusnya belum masuk musim penghujan. Namun, beberapa waktu belakangan hujan terus menyapa di tanah Jakarta.
Sesaat, rasanya udara tak lagi Adrian dapat rasakan dengan leluasa. Semuanya seakan menyesakkan hingga berdiri pun ia tak lagi sanggup. Tangisan putri keduanya itu memilukan, bersamaan dengan derasnya hujan yang terus turun membasahi bumi.
"Siapa?" Lirih, tapi menyayat hati Anin begitu dalam. "Siapa laki-laki itu? Apa dia terlalu berharga hingga kamu mau memberi seluruh kehormatanmu padanya?"
Tangis Nuri teredam, ia memeluk Indah yang saat itu juga berada di tengah kekacauan. Anak berusia dua belas tahun itu, cukup cerdas untuk dapat memproses seluruh informasi hari ini. Ia sering melihat Anin pulang tengah malam dengan laki-laki yang tidak ia kenal. Semuanya terus berulang, hingga suatu hari Indah menemukan Anin tengah menangis di dalam kamar mandi. Ia terus meracau dan memukul perutnya juga, laki-laki itu tak pernah datang lagi.
Anin menyebutkan satu nama yang sungguh asing di telinga ketiganya. Hanya saja, kalimat selanjutnya yang mereka dengar cukup membuat amarah Adrian semakin meluap. "Dia pergi setelah tahu aku mengandung anaknya."
"Brengsek!"
Sekali dalam seumur hidup Indah, mendengar ayahnya berkata kasar. Ketiganya terdiam, bahkan isakan Anin pun tak terdengar lagi.
"Ayah nggak mau kamu menjadi pembunuh. Jaga anakmu baik-baik sampai dia lahir. Sudah cukup kamu berdosa karena berbuat zina. Jangan lagi kamu menjadi pembunuh setelahnya."
Adrian lebih dulu meninggalkan Anin di teras rumah, dinginnya angin yang menusuk seolah bukan apa-apa baginya. Karena amarah Adrian membuat perempuan itu seakan terbakar.
Nuri tak banyak bicara, ia hanya memegang pundak putrinya kemudian membawa Anin masuk ke dalam rumah. Ia pernah mengandung, dan semua hal ini tak baik bagi Anin juga calon anaknya.
"Sebenarnya, dosa apa yang ibu punya di masa lalu. Cobaan ibu ternyata sangat berat."
Anin kembali ditinggalkan sendiri di ruang tamu, namun Indah kembali membawa secangkir teh hangat serta selimut untuk membungkus tubuh menggigil Anin.
Sore itu, menjadi sangat kelabu. Setelah Akbar--kakak tertuanya, mengetahui kabar itu. Ia tak kalah murka. Berhari-hari ia mencari tahu tentang Prabu, laki-laki yang menurutnya sangat tidak tahu diri itu. Namun nihil, Adrian berkata. "Kita tanggung malu ini bersama-sama." Setelah keputusan final, mereka tak lagi bercanda dan rumah itu menjadi sangat tidak bernyawa.
***
Katakanlah jika semua hal itu selalu berjalan selaras. Kesedihan selalu datang bersama dengan kebahagiaan. Kabar buruknya, Anin terpaksa harus melahirkan lebih cepat dari perkiraan. Namun, yang perlu disyukuri adalah ia tetap melahirkan secara normal. Dengan bantuan dokter di rumah sakit, karena pengaruh stress kehamilan Anin terlihat tidak normal. Saat usia bayinya sudah cukup, dokter menyarankan untuk mengambil tindakan. Seluruh keluarga sudah siap jika mungkin Anin harus dioperasi. Hanya saja, bayi itu sungguh tangguh. Ia harus dipaksa keluar dengan menggunakan induksi. Pada usia kehamilan Anin yang baru saja mencapai 34 minggu, perempuan itu harus merasakan kontraksi dini. Hingga mau tak mau, dokter harus bersiap untuk melakukan prosedur persalinan.
Bulan Desember tahun 2007, bayi merah tak berdosa itu lahir ke dunia. Hanya saja, setelah berjuang mempertaruhkan nyawa tak membuat Anin mau untuk menggendong bayi merah tersebut. Tangisan bayi itu membuat hati Adrian semakin terasa diremat dengan erat. Penolakan Anin pun membuatnya nyaris murka. Jika Nuri tidak menghentikan dirinya, mungkin kini Anin hanya tinggal nama.
"Nak, ini anakmu. Sudah Mas Akbar adzani, sekarang kamu gendong dia dulu. Biar dia tahu, hangatnya pelukan ibu."
Nuri dengan sabar berbicara dengan Anin yang kini kelewat diam. Anin hanya membuang muka dan beberapa kali menangis karena ia tak mau menganggap bayi itu sebagai darah dagingnya.
"Ibu, bawa aja dia ke panti asuhan. Aku nggak mau rawat dia."
Santi--istri dari Akbar yang tengah menggandeng anaknya berusia dua tahun itu terkejut kala mendengar penuturan Anin. Nuri pun tak lagi bersuara, ia mengelus pelan pipi cucu keduanya.
"Kamu nggak boleh seperti itu, Nin. Dia anak yang kamu jaga selama ini. Dia nggak berdosa."
"AYAH YANG PAKSA AKU JAGA DIA!"
Teriakan Anin membuat bayi merah itu menangis sejadi-jadinya. "DIAM! KAMU BERISIK!"
Anin kembali berteriak tatkala suara bayi itu memenuhi telinganya. Ia membenci semua hal yang ada pada bayi itu. Semuanya tanpa terkecuali. Nuri menangis kemudian membawa keluar bayi tak berdosa berserta Anggara cucu pertamanya. Santi berusaha membuat Anin lebih tenang.
"Nin, nyebut Nin.
Setelahnya tatapan Anin menjadi kosong seperti pikirannya yang entah melanglang buana kemana.
Adrian tak banyak bicara lagi, ia hanya memandangi anak tak berdosa yang baru saja dilahirkan oleh putrinya. "Jadi anak yang pemberani dan penuh tanggung jawab ya, Magenta."
****
Wow... I'm back everyone.
Semoga ini nggak se slow sebelumnya ya. Udah ada plotnya mau aku bawa kemana-mana tapi masih takut banyak yang rancu.
But, terima kasih udah selalu ngeramein lapakku yang nggak seberapa ini.Love you 🫶

KAMU SEDANG MEMBACA
Magenta
RandomKatanya "Merah itu berani" tapi hidup Magenta selalu dibayangi oleh ketakutan. Kata Kakek, namanya diberi dengan penuh harapan agar berbuah doa. Tetapi menjadi satu-satunya yang tidak diharapkan adalah hal paling menyakitkan. Magenta sendiri dalam...