Tidak Diinginkan

93 14 4
                                    

Happy Reading!

Asing. Satu kata yang pertama terlintas di benak Magenta. Ia baru saja menginjakkan kaki di teras rumah Anin. Ada gemuruh yang tidak wajar, tangannya pun gemetar. Tapi senyumnya tak hilang.

"Maaf ya, hari ini Ayah jemput kamu sendiri. Bunda ada kerjaan katanya, nggak bisa ditinggal. Kalau Cyan masih ada jadwal ujian praktek."

Anggukan kepala Magenta disertai senyum kaku menjawab obrolan yang sengaja Tirta buka. "Aku seharusnya datang sendiri, tapi malah buat A-- ehm... Om repot."

Tirta tersenyum, kemudian mengelus perlahan kepala Magenta. "Panggil Ayah dong, mau gimana pun istri Ayah kan, Bunda kamu."

Laki-laki berkepala empat itu, kini tengah sibuk mengeluarkan barang bawaan Magenta yang tidak banyak. "Kamar kamu di lantai 2, samping kamar Cyan. Masuk gih, istirahat dulu. Nanti ada Bibi yang bantu kamu beres-beres."

Langkah tenang Magenta memenuhi ruang tamu. Ini pertama kali dirinya menginjakkan kaki di rumah Anin. Saat masuk pertama kali, matanya tertuju dengan potret keluarga yang terlihat sangat bahagia. Ada Tirta, dan Cyan, kemudian Anin duduk di tengah sembari memegang tangan kedua orang tersebut. Tapi Magenta tak ingin lama-lama meratap. Ia  memilih untuk segera memasuki kamarnya.

Saat pertama kali melihat dua pintu yang berjajar, Magenta tak bingung sama sekali. Kendati, kamar Cyan sudah banyak stiker bertuliskan 'Yang tidak berkepentingan, Dilarang masuk!". Ia lantas memilih pintu yang paling dekat dengan tangga. Ketika membuka pintu, aroma pengharum ruangan yang terpasang menggelitik hidung Magenta. Kamar itu didominasi dengan warna abu. Ukurannya tak jauh beda dari kamar Magenta sebelumnya. Ada kasur yang besar di tengah ruangan, selain itu meja belajar juga rak buku yang masih kosong.

Ia kemudian duduk di kasur dan matanya berpendar ke seluruh ruangan. Jauh dari lubuk hati Magenta, ini yang dia inginkan. Tinggal bersama ibunya. Tapi ada perasaan takut, saat ia mengingat tatapan ibunya setiap bertemu. Tangan dinginnya gemetar, ia sampai tak sadar jika asisten rumah tangga yang dimaksud Tirta sudah mengetuk pintu beberapa kali.

"Maaf, Bi. Masuk aja."

Magenta berusaha mengalihkan pikirannya, ia mengikuti langkah asisten rumah tangga yang mulai menyusun barang bawaannya.

"Bukunya banyak, aden suka baca?"

Pemuda itu menatap deretan buku yang baru saja disusun. Ia mengangguk, "suka Bi."

Setelahnya tak ada percakapan, Magenta bukan seseorang yang mudah membuka percakapan dengan orang lain. Ia takut jika perkatannya salah dan membuat lawan bicaranya tak nyaman.

"Sudah sisa baju-baju aja ini. Masih mau Bibi bantu?"

"Nggak, Bi. Ini aku aja. Terima kasih."

Asisten rumah tangga itu kemudian tersenyum dan keluar dari kamar sunyi Magenta. Sebenarnya, Magenta ingin merebahkan tubuhnya sejak tadi. Namun pemuda itu merasa tidak sopan karena masih ada asisten rumah tangga yang membantu dirinya untuk merapikan barang bawaannya.

Dada Magenta terasa sesak, ia terbatuk sembari menutup mulut dengan telapak tangannya. Walau tangannya bergetar, ia mengambil inhaler yang sudah ia bawa sejak berangkat tadi. Napasnya berangsur membaik, Magenta sering sesak saat ia terlalu lelah. Entah suatu keajaiban atau apa, saat Adrian meninggal. Satu hari pun, Magenta tidak tumbang. Namun, setelahnya baru ia rasakan betapa sakitnya tarikan napas yang ia miliki saat ini. "Penyakit kok delay dulu. Apa nggak mendingan sekalian ikut Kakek aja."

Setelah merasa baikan, Magenta kembali menyusun pakaiannya dengan sangat rapi. Ia kemudian memilih untuk membersihkan diri dan setelahnya berisitirahat.

Suara ketukan pintu membuat kesadaran Magenta kembali seutuhnya. Tirta muncul dari balik pintu setelah Magenta membukanya. "Ayo kita makan malam."

Magenta tak banyak menjawab, ia mengangguk kemudian menutup pintu dan mengikuti langkah besar Tirta menuju ruang makan. Ada anak laki-laki yang duduk disana. Perawakannya tak jauh berbeda dengan dirinya, Magenta tahu itu adalah Cyan. Ia tak begitu dekat dengan Cyan, entah bagaimana Anin selalu berusaha menjauhkan dirinya dari adiknya itu. Saat langkahnya hampir mencapai meja makan, Anin yang membawa lauk dari dapur pun berhenti sejenak. "Aku nggak mau makan sama anak itu."

Pemuda yang belum sepenuhnya mendekat ke arah meja makan itu lantas mundur beberapa langkah. Ia tahu, siapa yang dimaksud oleh Anin. "Ma-af." Magenta tergugu, ia tak berani menatap tiga pasang mata di depannya. Ia hampir saja berbalik, sebelum suara Tirta mematahkan ucapan Anin.

"Dia anak kamu! Dia juga punya hak duduk di meja makan ini."

Hening. Suara Tirta meninggi dan membuat mata Anin berkaca. Ia menaruh lauk dengan sedikit bantingan hingga menyisakan suara kaca yang beradu. "Mengganggu." Ucapan pelan Anin tetap terdengar menyayat di telinga Magenta.

***

Setelah makan malam yang hening itu, Magenta memilih untuk membatu Bi Wiwik--yang ia baru tahu namanya setelah makan malam-- untuk membereskan piring yang ada di meja makan.

"Udah, Den. Ini memang kerjaan Bibi. Aden istirahat aja, mukanya kelihatan pucat."

Magenta membasahi bibirnya setelah Bi Wiwik bicara seperti itu. Ia tidak mudah tumbang biasanya, mungkin ini efek kejutan yang ia dapatkan beberapa minggu lalu. "Mau bantu, Bi. Aku nggak apa-apa."

Setidaknya ia harus tahu diri, diajak tinggal serumah dengan ibunya saja sudah hal baik baginya. Magenta tidak ingin jika disebut sebagai benalu. Tanpa percakapan, pekerjaan rumah itu selesai lebih cepat. Magenta terbiasa membantu kakek dan neneknya di rumah.

"Terima kasih banyak ya, den atas batuannya." Magenta tersenyum, kemudian mengangguk. Ia lantas pergi dari dapur untuk kembali ke kamar. Saat langkah kakinya nyaris menapaki tangga, ia menatap keluarga harmonis di depannya tengah bercengkrama. Tirta yang mendapati Magenta tengah berdiri di ujung tangga memanggilnya dengan cepat.

"Sini, duduk. Kita cerita bareng."

Tatapan Cyan dan Anin berubah tak suka, atmosfer ruangan ini tak sehangat sebelumnya. Walau Tirta berulang kali mengajak bercanda, Magenta tak bisa berekspresi. Ia bingung dan kali ini hanya menjadi penonton. Hingga napasnya yang sedikit sesak menyebabkan batuk.

Uhuk... uhuk...

Magenta menahan batuk yang akan keluar, namun ketiga orang di depannya kembali menatapnya. Tirta dengan wajah panik, ia mengelus punggung Magenta. "Kenapa? Kamu nggak enak badan?" Magenta hanya menggeleng. Ia masih belum bisa menetralkan napasnya yang sesak.

"Dia cuma mau ganggu qtime kita kali." Suara Cyan cukup membuat Magenta sadar. Seharusnya ia tidak pernah disini.

"A-aku ke kamar dulu. Ma-maaf."

"Kamu kenapa sanggupin apa yang Papa mau? Seharusnya biarin aja dia tinggal sendiri. Nggak perlu ganggu kita di rumah ini."

Suara Anin yang tegas masih mengusik indera pendengaran Magenta. Rasanya lebih menyesakkan ketimbang asmanya yang telah bersarang ditubuhnya selama ini. "Gue... emang nggak sediinginkan itu ya?"

---
12 Agustus 2024

Agak pusing guys, agenda di rl banyak banget.

MagentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang