Badai Kehidupan

111 18 3
                                        

Magenta di Tahun 2020

Magenta pernah mendapat tugas untuk menggambarkan pohon keluarga. Saat itu usianya baru menginjak sembilan tahun, namun Magenta kecil hanya membuat sesederhana mungkin. Cowok itu selalu bertanya-tanya, apakah ia adik dari Indah atau memang Anin adalah mamanya?

Nama yang tertera di rapor sekolahnya adalah Anin. Namun kenapa, saat Anin berkunjung ke rumah beserta keluarga kecilnya ia tak pernah menyapa Magenta. Bahkan, Indah lebih dulu mengajaknya keluar rumah atau sekedar berbelanja kebutuhan dapur.

Saat usianya menginjak dua belas tahun, kebenaran itu terungkap. Remaja tanggung itu harus kehilangan Nuri yang selama ini selalu merawatnya dengan penuh cinta. Sebelum Nuri pergi, ia meninggalkan secarik surat yang khusus diperuntukkan pada Magenta. Setelah tujuh hari kepergian Nuri, Magenta membuka surat tersebut dan mengetahui kebenaran yang sejak dulu ia pertanyakan.

Ia anak yang tidak diinginkan. Identitas Ayahnya pun tak ada. Ia anak haram. Begitulah yang ia gaungkan di kepala. Setidaknya, ia tak benar-benar sendiri. Masih ada Indah dan Adrian yang menjaganya. Juga ada Santi dan Akbar yang terus memenuhi kebutuhannya. Tapi kehilangan Nuri, layaknya ia kehilangan ibu sendiri. Ia akhirnya tersadar dengan seluruh tatapan warga padanya. Bisik-bisik yang selalu ia dengar itu kini menjai nyata. Bising dan riuh. Magenta tak menyukai hal seperti itu. Seakan gemuruhnya terus membuat hatinya tak tenang.

"Kasihan, udah ditinggal ibunya kawin lagi. Neneknya meninggal, sekarang dia yang ngurus siapa?"

Hanya contoh gunjingan orang terhadapnya. Sebelumnya gunjingan itu tak terasa nyata karena tatapan Nuri yang tajam membungkam semuanya. Kini, saat tubuh Nuri yang dingin sudah tertutup tanah semuanya terasa begitu nyata.

"Mage kesini, nak." Panggil Adrian yang sore itu duduk di kursi goyang miliknya.

Magenta menurut, ia kemudian duduk di kursi samping yang dulu sering Nuri tempati. "Kakek sudah tua, kamu juga sudah tahu kan apa yang sebenarnya terjadi." Tangan keriput Adrian mengelus lengan Magenta. Berat hati, cowok itu mengangguk. Walau ia merasa semua tiba-tiba tapi ada separuh perasaan lega karena sudah mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

"Nenek sudah lebih dulu meninggalkan Kakek. Kakek cuma takut, kalau waktu Kakek sudah dekat dan ternyata keinginan Kakek tidak terpenuhi."

Magenta diam, tidak menyahut. Hatinya berdebar tak karuan dengan setiap kata yang terucap dari bibir Adrian.

"Rumah ini selalu terbuka untuk kamu, tapi Kakek mau kamu tinggal bersama Ibumu. Mbak Indah juga masih sibuk ambil spesialis, Kakek takut kamu kesepian."

Cowok itu mengangguk saja, ia senang bukan main. Ada sebagian hatinya yang penuh rasa takut, namun sebagian lagi meletup-letup karena senang. "Tapi kamu nggak perlu pergi sekarang, selesaikan sekolah dulu disini biar nggak susah beradaptasi."

***

Magenta di Tahun 2022

Adrian pernah bilang, kalau ia memang ingin Magenta lulus terlebih dahulu sebelum ia harus tinggal dengan Anin. Namun memang tidak ada yang dapat menebak takdir.

Satu minggu ini kesehatan Adrian menurun, ia bahkan sering mengeluh sesak napas saat tidur. Magenta selalu merawat Adrian dengan telaten. Saat ia harus sekolah, setidaknya Adrian memiliki pembantu yang bisa menemaninya. Lebih tepatnya, orang yang paling Adrian percayai diluar keluarga mereka. Bi Tin biasanya dipanggil. Rumahnya tak jauh, hanya sekitar dua gang dari rumah megah milik Adrian. Terlihat seperti kesenjangan sosial karena sejak dulu Adrian sudah terkenal sebagai keluarga yang berada.

"Bi, kalau ada apa-apa kabari aku ya. Hari ini aku pulang cepat, cuma satu pelajaran."

Bi Tin hanya mengangguk, ia membalas tangan Magenta yang meminta tangannya untuk dicium. "Hati-hati ya, jangan buru-buru. Pikirkan baik-baik jawabannya."

Magenta seperti biasa, pergi berangkat sekolah. Hari ini, hari terakhir ujian. Ia memang tidak memiliki firasat apa pun. Hanya saja, tatapan kosong dan pembicaraan yang mulai melantur itu membuat tak tenang. Semalam, Adrian mengaku jika Nuri menjemput. Alhasil, Magenta tidak tidur karena takut jika terjadi apa-apa pada Adrian.

Tapi siapa sangka semua perasaan tak nyaman itu nyata. Sesaat setelah ia keluar dari ruang kelas, ponselnya berdering. Bi Tin mengabari jika Adrian tidak lagi bernyawa. Magenta berlari tunggang langgang, ia tidak terpikir untuk memesan ojek online atau lainnya. Magenta kalut, ia menangis sepanjang perjalanan. Tidak peduli bagaimana tatapan setiap orang yang menilai dirinya. Ia harus cepat sampai di rumah.

Pagar yang biasanya hanya terbuka sedikit itu, kini terbuka sangat lebar. Sehingga mengekspos sebagian rumah Adrian. Adanya bendera kuning yang terpasang di ujung pagar membuat ingatannya kembali terulang pada dua tahun yang lalu. Hari ketika Nuri pergi meninggalkannya. Dari kejauhan sudah terdengar riuh suara tangis Mbak Indah yang Magenta tahu jika perempuan itu baru saja datang. Pakaiannya masih berbalut snelli bahkan alas kakinya belum terganti dengan yang seharusnya. Semakin dekat, langkah Magenta terasa berat. Ia terus berjalan perlahan, memperhatikan sekitar yang terus saja memandangnya aneh.

Air matanya tumpah saat Akbar memeluk dirinya dan mengajaknya segera berganti pakaian. Setelah itu, Magenta duduk bersimpuh disamping jasad Adrian yang masih belum dimandikan. Ia mencium kening, mata dan hidung Kakeknya itu. Menghirup sangat dalam aroma yang ditinggalkan. Menyentuh tangan yang dingin dan hampir kaku itu. Membelai pipi tirus yang selama ini selalu mengembang saat dengannya. Menyentuh bibir yang sedari dulu selalu melantunkan sayang untuknya. Magenta terus menangis hingga ia harus dipaksa menjauh dari jasad orang yang paling ia segani itu.

"Kalau Kakek harus pergi, kamu jangan suka bikin Mbak Indah khawatir. Inhaler lebih sering di cek. Setelah ujian, mulai pindah ke rumah Ibumu, ya? Ayah Tirta sudah siapkan semua buat kamu."

Jika Magenta tahu, hal itu adalah pesan terakhir dari Kakeknya ia akan banyak bertanya. Bagaimana jika hadirnya masih tidak diinginkan? Bagaimana kalau liburan nanti ia memilih untuk menginap di rumah ini lagi? Bagaimana jika keluarga mereka kembali merencanakan liburan untuk merayakan kelulusannya?

Tatapan Magenta kosong, air matanya tak lagi mengalir. Kini, disampingnya duduk seorang laki-laki yang ia tahu adalah Ayah tirinya. "Nanti ikut ayah pulang, ya?"

Magenta tak menjawab, matanya masih memperhatikan tubuh kaku Adrian yang kini tengah dikafani. Matanya bersibobok dengan Anin, namun dengan cepat perempuan itu membuang muka. Seumur hidup Magenta, ia belum pernah memanggil Anin dengan sebutan Ibu seperti seharusnya. Bahkan bicara berdua pun tidak, Magenta selalu merasa dirinya adalah adik dari Indah. Setelah ia tahu tentang kebenaran itu, Magenta selalu menelisik mata Anin. Ada kebencian yang ia lihat disana. Ada amarah yang bisa meledak kapan saja.

Tapi Tirta, tidak begitu. Ia bahkan memeluk Magenta dengan sayang, hangat dan perasaan ini belum pernah Magenta rasakan sebelumnya. "Maaf kalau setelah ini, aku ngerepotin."

-----
03 Agustus 2024

MagentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang