Happy Reading!
"Jadi hari ini kamu mau lihat sekolah?"
"Iya."
Suara Indah menemani raga Magenta yang tengah bersiap. Ia kini sedang menyisir rambut gelapnya. Setelah sarapan tadi, Tirta mengajak dirinya untuk segera melihat dan mendaftar ke sekolah baru.
"Nanti kalau mbak libur, mbak mampir kesana. Kamu baik-baik."
"Iya."
Dengusan keras kemudian terdengar dari suara ponsel yang di loudspeaker itu. "Coba jawab yang lain, mbak udah ngomong panjang lebar. Jawabanmu cuma iya iya doang."
Magenta terkekeh. Ia kemudian mengambil ponselnya dan duduk di pinggir ranjang. "Iya mbak Indahku, udah ya. Nggak enak ditunggu sama Om Tirta di bawah."
Tanpa repot menunggu lawan bicaranya membalas, Magenta lantas menekan ikon merah di layar ponselnya. Ia kemudian memastikan bahwa penampilannya cukup rapi dan tidak memalukan. Kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku dan keluar kamar begitu saja.
Tirta sudah duduk menunggu di ruang tamu, tidak ada Anin disana. Lagipula, perempuan itu tidak mau repot mengurusi Magenta. Namun, di sebelah Tirta terlihat Cyan tengah sibuk bermain game. Terlihat sedari tadi ia sibuk berkomunikasi dengan teman-temannya disana.
"Sudah siap? Ayo kita berangkat."
Cyan mengekor tepat di belakang Tirta, ia bahkan tidak menurunkan ponselnya barang satu centi pun.
"Kalian bakal sekolah di tempat yang sama, Ayah mau kalau berangkat bareng nantinya."
Magenta tidak keberatan, ia cukup tahu diri untuk tidak menyanggah keinginan Tirta. Namun, Cyan dengan cepat membalas. "Aku nggak mau."
"Ayah bakal beliin kamu mobil baru nanti."
Wajah tegas Cyan masih tetap terlihat kesal. Ia melirik Magenta yang diam saja. "Aku nggak mau kalau harus ngakuin dia sebagai saudara."
"Hus! Kamu kok begitu?"
Cyan tak mau menjawab. Tirta pun tidak memperpanjang masalahnya. Mulanya Cyan tidak merasa terganggu saat ayahnya bilang akan mengajak Magenta tinggal bersama. Namun, sebelum Magenta datang ke rumah. Selalu ada cek cok antara kedua orang tuanya, saat itulah rasa tidak suka Cyan muncul. Ia benci semua hal tentang Magenta.
Urusan di sekolah tak berlangsung lama, Magenta dan Cyan sudah dipastikan dapat sekolah di tempat yang Tirta pilih. Sejauh ini SMA HARAPAN adalah sekolah terbaik di daerahnya. Wajah keduanya tidak terlihat sumringah dan hampir seluruh perjalanan hari ini didominasi dengan diam.
***
Magenta tak dapat menahan senyum saat ia melihat mobil milik Akbar parkir di depan rumah Anin dan Tirta. Ia merindukan Rania, adik perempuan Anggara yang kini baru saja masuk TK.
"Ada Paman Akbar! Ayah, aku turun duluan ya. Terima kasih." Magenta berucap riang, kemudian membuka pintu mobil dan berlari dengan cepat. Cyan tanpa minat memperhatikan dan melakukan hal serupa.
"Kamu jangan berpikiran jelek, Ayah pastikan semua hak mu akan kembali ke kamu." Cyan tidak mengerti maksud perkataan Tirta. Ia hanya mengernyit, kemudian berdehem singkat sebelum menutup pintu mobil.
Cyan melihat interaksi antara Magenta dan Rania yang terlihat sangat dekat. Anak perempuan berusia dua tahun itu tertawa riang di gendongan lengan kurus Magenta. Ia seakan lupa jika masih ada satu orang lagi ada disana.
"Mas, udah lama?"
Tirta lebih dulu menyapa, keduanya kemudian bersalaman dan duduk di halaman depan. "Nggak. Baru aja nih."
Magenta sudah tidak lagi bergabung dengan Akbar dan Tirta. Ia memilih untuk mengajak Rania bermain di taman belakang. Perempuan kecil itu tak berhenti tertawa saat Magenta menghiburnya. Cyan yang melewati tempat duduk Magenta hanya menperhatikan sekilas. Ia kemudian membesarkan kedua bola matanya ke arah Rania. Gadis kecil itu lantas menangis, Magenta dengan sigap mengangkatnya ke dalam pelukan.
"Sshhh, udah nggak apa-apa. Kak Cyan mau main aja itu."
Cyan dengan cuek hanya duduk di seberangnya tanpa ingin membantu Magenta sedikit pun. Ia tidak begitu menyukai anak kecil, padahal Rania bukan anak yang rewel. Ia bahkan termasuk ke dalam bayi yang tidak banyak tingkah.
"Sini Yan, kenalan sama Rania."
Tanpa minat, Cyan memperhatikan Magenta yang kini mengulurkan lengan kecil milik Rania. "Nggak perlu."
Magenta tanpa sadar menurunkan tangan kecil Rania dengan embusan napas yang lebih keras dari sebelumnya. Rania tidak mengerti, ia kemudian memeluk Magenta dan mengajaknya bermain kembali.
"Yan, lo... nggak suka ya gue disini?"
"Gue tau lo nggak bego dengan semua sikap gue selama ini."
Selanjutnya, Cyan masih duduk di pinggir gazebo sembari memainkan ponselnya. Rania pun kini tengah asik menyusun puzzle yang ia bawa, Magenta hanya menyahut sesekali. Ia memperhatikan garis wajah Cyan yang hampir seratus persen mirip seperti ibunya. Sedangkan Magenta, ia tak tahu. Semakin besar ia tak menemukan kemiripan itu di wajahnya.
"Mage, Rania, Cyan ayo makan dulu. Ini udah bibi masakin loh!" Rania bangkit terlebih dahulu, ia bahkan nyaris terjatuh karena belum menggunakan alas kaki dengan benar.
Magenta dan Cyan mengekor dengan santai. "Awalnya gue nggak pernah masalah sama lo, tapi makin kesini gue muak liat orang tua gue selalu bertengkar. Dan itu, karena lo."
Langkah Magenta terhenti sejak kalimat Cyan yang benar-benar menusuk hatinya. Jika boleh memilih, Magenta masih mau tinggal sendiri di rumah kakeknya tanpa perlu harus memaksa keluarga ini untuk menerima dirinya.
"Ge! Kok diam aja. Ayo sini." Santi kembali bersuara ketika mendapati Magenta yang melamun tepat di depan pintu yang menghubungkan ruang makan dan taman belakang.
Magenta makan dalam diam, ia tak ingin lagi bersuara. Begitu takut jika ia akan membuat masalah. Hingga berakhir waktu makan, kini Magenta membantu Santi di dapur. Anin tak terlihat sejak harus terpaksa makan bersama Magenta.
"Kalau kamu mau, kamu boleh tinggal sama bibi, sama paman juga."
Magenta tersenyum, ia masih sibuk mencuci piring bekas makan. "Nggak apa-apa, nanti kalau Magenta mau mungkin akan lebih baik tinggal di rumah kakek."
Santi tak menjawab, ia hanya memperhatikan raut sedih yang Magenta tampakkan. "Magenta... nggak pernah minta dilahirkan."
----
26 Agustus 2024Selamat hari senin!
Semoga minggu ini berjalan baik ya buat kita semua. Terima kasih sudah mendukung aku, ditunggu bagian selanjutnya 🫶

KAMU SEDANG MEMBACA
Magenta
RandomKatanya "Merah itu berani" tapi hidup Magenta selalu dibayangi oleh ketakutan. Kata Kakek, namanya diberi dengan penuh harapan agar berbuah doa. Tetapi menjadi satu-satunya yang tidak diharapkan adalah hal paling menyakitkan. Magenta sendiri dalam...