Happy Reading!
Firasat Magenta benar, ia harus rela dijemur pagi ini dibawah matahari terik karena kesalahan dihari pertama sekolahnya. Tidak membawa topi, ralat bukan tidak membawa lebih tepatnya meminjamkan ke Cyan.
'Bukannya kakak, memang harus berkorban untuk adiknya, ya?'
Berulang kali Magenta meyakinkan diri sendiri jika apa yang dilakukannya sudah benar. Ia tak lagi menatap tiang bendera, kali ini wajahnya menghadap ke tembok. Ia tidak ingin menunduk maupun menghadapkan kepalanya ke atas. Magenta tahu diri, ia tak akan sanggup. Jika upacara saja bisa dihitung jari Magenta akan tahan sampai akhir bagaimana ini yang ia memang dihukum? Tapi pemuda itu tersenyum samar, setidaknya ia bisa bertahan lebih lama daripada upacara. Yah, walau kini tidak menampik bahwa rasa pening kembali menerpa kepalanya.
"Ayo, siswa baru lo masuk ke Aula sekarang," ucap seseorang yang melintas di depannya. Terlihat dari pakaiannya sepertinya salah satu anggota OSIS. Tapi Magenta tidak bisa bersuara, rasa sesak yang memenuhi dadanya. Mungkin tidak terlihat, tapi napas Magenta sudah satu-satu.
"Heh! Lo jangan ngelamun." Tepukan halus di pundaknya membuat dirinya luruh seketika. Tidak ada tenaga yang tersisa hingga kini tubuhnya terbentur dengan panasnya lapangan.
Saat ini ia tidak bisa mendengar suara apapun, ia hanya merasa beberapa orang menepuk pipinya kemudian mengangkat tubuhnya. Napas Magenta sudah tak bisa lagi dikondisikan. Ia kepayahan tidak bisa mengatur napas, kepalanya pening matanya sudah tak fokus. Kini Magenta pasrah harus apa, jika yang terbaik adalah menyusul kakeknya. Magenta pun siap.
"Minggir! Minggir! Ada yang pingsan!" Seseorang berteriak sembari mengangkat tubuh kurus Magenta.
Terjadi sedikit keributan, karena jalur menuju UKS ramai dilewati siswa siswi. Dari celah pintu Aula Cyan melihat tubuh saudaranya digotong. Tapi ia hanya diam mematung, kemudian menyentuh topi yang pagi tadi ia gunakan.
Perawat UKS ikut panik saat melihat bibir Magenta sudah nyaris membiru, tangan dan kakinya dingin seakan tidak ada aliran darah disana. Dengan cekatan, perawat itu memasang oxymeter di jari Magenta. Saturasi oksigennya rendah, dan ia masih bisa membuka mata. Perawat itu bahkan sudah tak bisa berkata-kata. Ia kemudian segera memasang masker oksigen terlebih dahulu. Kemudian ia memerintahkan seseorang untuk mencari tas milik Magenta. Pasti ada obat yang ia konsumsi ketika kambuh, perawat UKS tidak ada wewenang untuk memberi obat untuk siswa yang memiliki penyakit bawaan.
Magenta terlihat tenang, walau napasnya masih terdengar sulit. Setidaknya, semua orang tak lagi panik. Setelah berperang dengan sulitnya ia menarik napas, Magenta tertidur. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini, air mata tiba-tiba saja lolos dari sudut matanya.
***
Cyan sudah selesai melaksanakan MPLS hari pertama, namun hingga jam berakhir ia tak lagi melihat eksistensi Magenta. Panitia pun tidak bekerjasama dengan baik saat Cyan bertanya, ada rasa khawatir yang hinggap seharian ini. Hingga kini, langkah Cyan terhenti di depan pintu UKS. Gamang, rasanya Cyan malu harus berhadapan pada diri Magenta hari ini.
Namun anggap saja dewi fortuna tak berpihak padanya, tubuh kurus Magenta terlihat dari balik pintu yang tiba-tiba terbuka. Cyan dengan cepat mengambil tas yang menggantung di pundak Magenta.
"Cepat! Ayah udah nunggu di depan."
Magenta masih mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Punggung Cyan yang menjauh menyadarkan Magenta untuk segera menyusul pemuda itu. Walau dengan terseok, ia masih bisa menyusul langkah besar Cyan.
Benar saja, Tirta sudah menunggu dengan senyum sumringah menyambut kedua putranya. "Magenta pucat sekali, kamu nggak apa-apa?"
Refleks Magenta membasahi bibirnya, ia berharap dapat menyamarkan rona pucat yang mungkin mewarnai bibirnya itu. "Ngg--"
"Tadi dia masuk UKS soalnya kambuh setelah upacara."
Cyan berkata memotong ucapan yang akan Magenta keluarkan. Ia lantas membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya. Terlihat Tirta memegangi Magenta yang nyaris limbung, Cyan harap ayahnya akan berinisiatif membawa pemuda itu ke rumah sakit.
Walau sudah lemas bukan main, Magenta tetap menolak dibawa ke rumah sakit. Sialnya selain asma, kali ini pemuda itu merasa tubuhnya juga demam. Namun ia tidak ingin menginap di rumah sakit. Tirta dan Cyan membantu Magenta turun dari mobil dan membawa tubuh itu ke kamar. Diam-diam Cyan mengintip dari celah pintu, bagaimana cara Magenta terbatuk hingga ia lagi-lagi harus menghisap inhaler miliknya.
"Lo butuh sesuatu nggak?" Cyan yang tidak tahan melihat Magenta, memilih masuk ke kamar dan membuat si pemilik kamar sedikit kaget.
"Nggak." Nyaris tidak terdengar, yang kini mendominasi hanya suara mengi dari Magenta.
Cyan tidak tahu harus melakukan apa, Magenta terlihat kesulitan mengambil napas. Ia berkali-kali memperbaiki posisi tidurnya agar pernapasannya lebih lancar, namun nihil. Memang seharusnya ia tidak menolak untuk dibawa ke rumah sakit tadi.
"To-long," ucapnya terbata, setiap kata yang terlontar membutuhkan banyak oksigen bagi Magenta saat ini.
Ia menarik napas dalam, walau rasanya menyesakkan dan sakit ia tetap berusaha. "Beli-in gue oksigen."
Oke. Cyan kali ini cukup paham ia harus melakukan apa. Tanpa pikir panjang, pemuda itu lantas berlari keluar kamar kemudian mengambil motor miliknya di garasi dan melaju membelah jalanan sore di kompleks itu. Tirta kembali ke tempat kerjanya sedangkan Anin belum sampai di rumah sore ini. Sialnya, Cyan lupa menitipkan Magenta pada asisten rumah tangga. Ia terlalu buru-buru, bahkan ia tidak tahu harus memilih oksigen yang seperti apa.
"Baiknya nebu ini mas,"
"Aduh," ucapnya sembari menggaruk kepala. "Kalau ada yang bisa tolongin saya di rumah sekarang, tolong ikut sama saya. Kakak saya udah engap banget di rumah."
"Maaf--"
Tanpa menunggu jawaban, ia lantas membayar satu tabung oksigen portabel dan satu nebulizer portabel. Ia tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi. Setelahnya ia lantas kembali menuju rumah dan melihat keadaan Magenta sekali lagi.
"Ge! Lo masih bangun kan?"
Magenta mengedipkan matanya, walau hanya segaris Cyan tahu jika pemuda itu masih sadar. Sulitnya saat Magenta mengambil napas membuat Cyan panik. Ia dengan cepat membaca informasi yang ada di tabung oksigen tersebut. Dengan cepat memasangkan masker ke wajah Magenta. "Kalau lo udah siap kedip ya, gue mau tekan tombolnya."
Magenta berkedip, karena jujur saja ia sudah tidak bisa menarik napas lagi rasanya. Beberapa kali Cyan harus menekan tombol yang berada di bagian atas tabung itu. Hingga suara ponsel Magenta menginterupsi Cyan yang tengah fokus melihat perkembangan pernapasan Magenta yang masih belum baik.
Nama 'Mbak Indah' tertera di ponsel Magenta saat berdering. Cyan lantas mengangkat panggilanbitu disaat hampir terhenti deringnya.
"Mbak, ini Cyan."
Ada hening yang menginterupsi setelah Cyan menjawab telepon itu, alih-alih berkata Halo. "Lho, Mage kemana Yan?"
"Ini anaknya kambuh, Ayah sama Bunda lagi ke kantor. Dia nggak mau dibawa ke rumah sakit."
"Mbak udah deket sama rumah kalian, tunggu ya."
Seperti yang sudah-sudah, Indah selalu tahu saat Magenta kambuh. Seperti memang ada hubungan antara keduanya, selain keponakan dan tante. Indah sudah gelisah sejak tadi, namun karena waktu pulang dari shiftnya mengharuskan dirinya menahan rasa gelisahnya.
Magenta terlihat kesulitan saat mengambil napas. Indah dengan cekatan menyiapkan obat dari alat nebu yang baru saja dibeli oleh Cyan. Pemuda itu tak banyak bicara, hanya memperhatikan jika suatu saat hal seperti ini terjadi lagi. Cyan tidak tahu, ia merasa bersalah karena hari ini dirinya ikut andil memperburuk keadaan Magenta.
"Mbak, ajarin aku ya. Kalau terjadi begini lagi, aku udah harus bisa," ucapnya sambil menatap mata sayu Magenta yang kini terpejam.
***
14 September 2024Maaf banget cerita kali ini super slow update, selamat membaca ya. Selamat menunggu 🫶
Sehat selalu yaa see u
![](https://img.wattpad.com/cover/365451880-288-k579894.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Magenta
RandomKatanya "Merah itu berani" tapi hidup Magenta selalu dibayangi oleh ketakutan. Kata Kakek, namanya diberi dengan penuh harapan agar berbuah doa. Tetapi menjadi satu-satunya yang tidak diharapkan adalah hal paling menyakitkan. Magenta sendiri dalam...