Bab. 3

176 76 138
                                    

Halo semua. 😸 Nyaw.

Jangan lupa vote, komen dan share ke teman terbaikmu. Semua itu sangat berarti bagi Nay. 😺 Nyaw.

Eits, kayak apa hari ini? Dapat takjilnya, bagi yang war takjil. 😸 Nyaw.

Selamat membaca.♡
.










.
Aku tidak jadi pergi ke gedung dewan operasional sekolah. Kepala security, langsung mengarahkanku, Dwi dan Cindy menuju gedung dewan keamanan sekolah. Untuk murid lain, termasuk Kim dan Heru, mereka diminta memberikan kesaksian di tempat. Meski Kim sempat kekeh mau mengantarkan kami bertiga.

Di dalam sebuah ruangan berukuran 4x4 m2, suasananya sangat mencengkam, nampak remang dengan dinding kedap suara. Aku bergidik ngeri. Rasanya ingin bergegas pergi dan tidak pernah kembali ke ruang interogasi dewan keamanan sekolah.

 Aku duduk di sebuah kursi khusus, lie detector. Seperangkat alat pendeteksi tertempel di tangan dan dadaku. Kedua pergelangan tangan dan kaki terkunci di kursi. Sebuah helm terpasang, terhubung langsung dengan sistem syaraf melalui jaringan lapisan kulit. Jika aku menunjukkan kebohongan sedikit saja, alat canggih ini akan mengeluarkan kejut listrik yang sangat menyakitkan.

 Seorang pria dewasa duduk di atas meja, tepat di hadapanku. Ia nampak seram, matanya menghunus tajam. Berpakaian  biru kehitaman, tidak ada papan nama di dada kirinya, dan aku sungguh tak pernah melihatnya. Tapi, dia merupakan penyidik dewan keamanan sekolah.

 “Dewi Arshaka! Lebih baik kamu jujur. Atau saya harus menggunakan cara lain supaya kamu berkata yang sebenarnya,” Ia mendesakku berulang kali, supaya mengakui kesalahan yang tidak kulakukan.

 Dia tampak semakin geram mendengar penyangkalan yang sama dariku. Dirinya bangkit dari kursi, membuka lemari besi di belakangnya.

 Aku terperanjat, bahkan tubuhku semakin bergetar ketakutan. Sebab lemari tersebut dipenuhi alat-alat yang tak lazim. “Pak, aku benaran gak tau apa-apa. Semua seperti yang sudah aku jelaskan,” terangku sangat gusar.

 “Apa kamu bilang?!” Ia memukul meja menggunakan tang pemotong besi, suaranya sangat keras, jantungku semakin berdetak tak karuan.

 Aku memejamkan mata, takut sekali jika ia sampai menggunakan tang itu. Untung saja lie detector ini menggunakan teknologi paling mutakhir. Jika tidak, aku pasti tersengat listrik akibat malafungsi. Soalnya respons psikologis rasa takut dan berbohong itu mirip, ditambah hanya dia yang mengoperasikan alat lie detector, sekaligus melakukan penyelidikan.

 “Kamu, jangan diam saja! Atau saya harus memotong jari-jarimu, terus mencabut gigimu satu per satu,” dia mengancam dengan tatapan seram. Ia meletakkan tang, lalu menyodorkan pisau ke wajahku.

 “Eng-gak Pak. Aku serius. Aku gak tau apa-apa.” Aku memalingkan wajah, tepat saat dia mencapkan pisau di meja. Padahal meja ini terbuat dari aluminium terbaik.

 “Lebih baik kamu jujur. Hukumanmu bisa lebih ringan. Meski ibumu seorang Jurnalis dan ayahmu pelaut terkenal. Saya tidak peduli, teroris bisa langsung dihukum mati. Cepat katakan, di mana teman-temanmu yang lain!”

 Aku tegas menyangkal pernyataannya. Entah berapa banyak ancaman dan tuduhan yang terlontar dari mulut dia. Semua itu tidak benar. Aku bukan teroris, peristiwa LevitaBoard yang jatuh murni bukan kesalahanku. Jelas itu kesalahan operasi sistem magnetic levitation staircase.

 Memang benar ada organisasi teroris yang disebut Fiend. Mereka menebar teror, menyerang sistem-sistem pemerintah, sekolah dan perusahaan yang berafiliasi dengan World Mining Control Agensi (WMCA). Tapi aku bukan bagian dari mereka dan pemerintah juga sudah menyatakan, bahwa kelompok itu sudah mereka bubarkan.

Batas KhatulistiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang