8

288 21 14
                                    

Sejak semalam, Sadam sama sekali tak mau beranjak dari samping istrinya, ia bahkan terus menautkan jemarinya pada jemari Sherina, seolah takut jika tautannya terlepas maka Sherina nya akan pergi. Ingatan Sadam akan keadaan Sherina kemarin masih terus mengganggu pikirannya. Ia bahkan lupa jika berjanji akan menghubungi putri mereka.

"Yang, kamu belum makan apa-apa loh dari semalem.. gak mau ke kantin rumah sakit dulu? Ngopi, sarapan.." ucap Sherina yang masih terbaring lemas di ranjang ruang ICU wajahnya yang cantik itu masih terlihat pucat. Pagi ini mereka menunggu keputusan dokter untuk memindahkan Sherina ke ruang rawat inap.

Sadam menggeleng, "Nanti aja.. aku masih mau nemenin kamu Neng.."

Sherina tentu mengerti alasan suaminya itu, "aku udah gak apa-apa sayang.. udah gak ada yang perlu di takutkan lagi.. kamu jangan sampai sakit lho Yang, selasa depan kan udah harus pulang ke Kalimantan.."

Sadam menggelengkan kepalanya "aku minta tambahan waktu dua minggu, sampai kamu benar-benar pulih.." kemudian ia mengecup tangan istrinya itu.

"Yang, aku kan bisa tinggal di rumah ibu buat sementara.. gak perlu khawatir, aku sama Saira pasti akan baik-baik aja.."

Namun lagi-lagi Sadam menggeleng, "Iya aku tahu, aku bahkan sudah minta ijin ayah ibu buat kamu sama Saira bisa tinggal sama mereka selama aku di Kalimantan nanti, biar aku tenang..  soalnya aku disini aja, kamu kayak kemarin.. gimana kalau aku jauh?!" Ujarnya. Sadam jadi jauh lebih posesif semejak mereka memiliki Saira, di tambah dua kali kejadian yang mengancam nyawa dia perempuan berharga di hidupnya itu semakin membuatnya harus lebih memproteksi istri dan anaknya.

Dokter Bara dan seorang asistennya akhirnya masuk ke ruangan membuat Sadam dengan terpaksa melepaskan genggamannya saat Sherina harus di periksa. Kabar baik, kondisi Sherina sudah sangat stabil, padahal jika mengingat kemarin saat sebelum operasi ketika dokter menyatakan peluang keselamatannya hanya tiga puluh persen, kondisinya saat ini tentu adalah salah satu bentuk keajaiban meski Sherina masih harus di rawat dalam dua hari ke depan.

Setelah berpindah ke ruang rawat inap, saat baru saja suster akan membantu Sherina untuk turun dari ranjang, dengan cekatan Sadam menghampiri. "Sus, boleh saya saja yang bantu istri saya?" Ujar Sadam. Suster muda itu tersenyum sebelum mempersilahkan Sadam menuntun Sherina menuju toilet, sedangkan suster mengikuti mereka dari belakang.

"Selain pengen pipis, aku pengen gosok gigi, cuci muka, rapih-rapih sedikit sebelum video call Saira.." ujar Sherina saat Sadam bertanya padanya.

Sadam mengangguk kemudian melirik ke arah belakang mereka "sus, bisa tolong di pegangi dulu istri saya? Saya mau siapkan barang-barang yang dia butuhkan dulu.." dan lagi-lagi suster muda itu tersenyum sebelum mengiyakan.

"Kenapa senyum-senyum begitu sih Sus? Salting sama suami saya?" Tanya Sherina dengan nada bercanda saat ia berusaha mendudukan diri di atas kloset.

"Ih, ibu.. masa salting sama suami orang?! Saya seneng aja lihatnya bu bikin saya ingat ayah sama ibu saya dulu.. terus ya bu, jarang-jarang ada pasien yang suaminya siaga satu seperti itu."

Sherina ikut tersenyum mendengar penuturan suster muda yang juga cekatan membantunya. "Kemarin waktu ibu di ruang operasi, bapak tuh sama sekali gak beranjak dari depan ruang operasi bu.. kelihatan sekali beliau sangat ketakutan, saya jadi ikut lega waktu operasinya berjalan lancar.."

Pintu toilet terbuka, Sadam dengan pouch bag di tangannya masuk. Kemudian mengambil alih posisi suster di sebelah Sherina. "Makasih ya sus.."

"Sama-sama pak.. bisa saya tinggal ya? Kalau ada apa-apa panggil lagi saja.." ujar suster sebelum keluar dari toilet.

"Eh, sus.. boleh saya minta tolong?" Ucapan Sherina ini dengan otomatis menghentikan langkah Suster yang sudah berada di ambang pintu.

"Iya bu? Kenapa? Ada yang sakit? Infusannya sakit?"

Saira's JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang