7

274 21 8
                                    

Saira sedari tadi terlihat murung. Apapun topik obrolan dari Aki nya jadi terdengar sama sekali tidak menarik. Yang keluar dari mulutnya berulang kali adalah "Mama baik-baik aja kan oma?"

Tiba di apartemen, Saira pasrah saja saat di mandikan oma nya meski ia tak mau menggunakan kamar mandi yang ada di dalam kamar. Bu Darmawan menyadari jika cucunya masih trauma dengan kejadian pagi tadi.

"Saira, cucu kesayangan aki.. malem ini nginep di rumah aki dulu ya? Tidur sama oma sama aki.. besok, baru kita ke rumah sakit lagi.." pak Darmawan mencoba memberi pengertian pada cucunya saat bu Darmawan sibuk mengambilkan beberapa pakaian untuk Sadam dan Sherina.

"Papa gimana? Kasihan papa nunggu mama sendirian.. Saira mau temenin papa.." dengan mudah wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca.

"Nanti aki yang temenin papa.. Saira pulang ke rumah aki dulu sama Oma ya.. besok aki jemput pagi-pagi.. ya sayang? Kalau Saira ikut nunggu di rumah sakit, aki takut Saira ikutan sakit.. nanti mama makin sedih kalau Saira sakit juga.." dengan lembut pak Darmawan masih terus berusaha agar cucunya mau mengikuti arahannya.

Saira akhirnya mengangguk setuju "Kalau mama bangun, bilangin papa buat video call yaa Aki.."

Selama di dalam taksi menuju kediaman Aki dan Oma nya lagi-lagi Saira yang biasanya berisik itu hanya sibuk menatap keluar jendela. Perasaannya masih tidak tenang karena harus berada jauh dari mama dan papanya. Selama di Kalimantan, kemanapun dan kapanpun mereka bertiga, kali ini di hari ke dua mereka di Jakarta tiba-tiba keadaannya jadi sekacau ini.

"Harusnya Saira minta sekolah di Kalimantan aja kalau tahu begini.." gumamnya.

"Kenapa Ra?" Tanya Omanya, menyentuh punggung cucunya pelan. "Sini dong, gak kangen memang sama oma?" Perlahan bu Darmawan menarik tubuh mungil itu untuk bersandar padanya. "Kepikiran mama papa ya?" Saira mendongak lalu mengangguk pelan.

"Saira kangen... mama..." Kalimatnya tertahan karena harus berbalapan lagi dengan airmatanya yang otomatis keluar begitu saja ketika ia teringat mamanya.

"Saira berdoa, supaya mama di beri kekuatan.. ya? Gak apa-apa sama Oma dulu sebentar.. nanti mama sembuh kan bisa main lagi sama Saira.."

Tangan kecil itu mengusap airmatanya, kemudian mengangguk. "Aki udah sampai rumah sakit belum ya Oma? Papa pasti baik-baik aja kan?"

***

"Ketika sel telur yang telah dibuahi berkembang di luar rahim, ini disebut kehamilan ektopik. Sekitar dua persen dari seluruh kehamilan adalah ektopik. Hampir semua kehamilan ini terjadi di salah satu saluran tuba. Pada Sherina ini terjadi pada saluran sebelah kiri."

"Pada tahap awal, memang kehamilan ektopik menimbulkan gejala yang sama seperti kehamilan normal. Ketika kehamilan berlanjut, hal ini dapat menyebabkan pendarahan vagina yang tidak normal, nyeri perut atau panggul yang tiba-tiba dan parah, dan kram di satu sisi panggul. Pertumbuhan sel telur yang telah dibuahi di luar rahim dapat menyebabkan pecahnya tuba falopi. Ini adalah kondisi yang serius dan mengancam jiwa karena menyebabkan pendarahan internal yang signifikan. Seringkali, kehamilan ektopik didiagnosis ketika tuba falopi pecah.."

Masih terngiang jelas diingatan Sadam penjelasan dari Dokter Tara setelah selesai melakukan tindakan operasi dan memintanya masuk ke ruangan untuk melihat apa yang sudah di keluarkan dari tubuh istrinya. Sadam mengawang ketika Pak Darmawan menghampirinya kemudian duduk di sebelahnya, di depan ruang ICU menunggu dokter mengijinkan masuk untuk melihat langsung kondisi Sherina.

"Dam.." pak Darmawan menepuk pundak Sadam pelan, membuat Sadam menoleh cepat, sedikit terlonjak. "Ini baju, alat mandi, handuk, skincare nya Sher.. lengkap di dalem ya.." Pak Darmawan menaruh tas berwarna hitam di sebelah Sadam. "Nah yang ini, buat kamu.. makan dulu nak.." sambungnya mengeluarkan lunch box dari dalam totebag.

Saira's JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang