Bab 07.

6 0 0
                                    

Farraz melangkahkan kakinya ke arah meja makan. Meski terlihat harmonis, tidak ada niatan sekali untuk bergabung dengan orang sudah merenggut kebahagiannya.

Suara langkah kaki membuat atensi ketiga orang dewasa itu beralih, menatap kedatangan seorang pria bertubuh jangkung dan tampan dengan balutan tuxedo di badannya.

Namun, dibalik wajah tampan itu. Ekspresi Farraz selalu datar, tidak pernah memperlihatkan senyuman ketika sudah berada di hadapan mereka. Yang selalu mereka lihat, hanya tatapan sinis dan sikap dinginnya Farraz.

"Nak Farraz ..." sapa Arsinta, yang tidak dihiraukan oleh Farraz.

Lelaki bertubuh kekar itu mendudukan bokongnya di dekat kursi sang Ayah. Diabaikan seperti itu, Arsinta jadi malu dan kesal, meskipun sudah biasa.

"Ada apa Farraz? Ada yang ingin kau katakan? Atau kau ingin sarapan dulu?" tanya Ayah Aryan. Di dalam hatinya, ia sangat senang karena kehadiran Farraz pagi ini. Sudah lama sekali sang putra tidak ke kediamannya.

Farraz menatap makanan yang tersaji di meja makan, makanan mewah yang dimasak oleh Arsinta tidak membuatnya berselera. Yang ada malah selera makannya hilang.

Dibandingkan harus memakan masakan Ibu tirinya, Farraz lebih suka makan di luar atau makan masakan para maid di kediaman ini. Dari dulu sampai sekarang, Farraz belum pernah merasakan bagaimana rasa masakan sang Ibu tiri itu.

"Tidak perlu. Aku alergi dengan masakan wanita selingkuhanmu itu," tolak Farraz dengan gamblang.

"Jaga ucapanmu, Farraz. Kau harus menghargai masakan Ibumu."

Ayah Aryan melirik ke arah istrinya yang wajahnya sudah merah padam. Tetapi tidak ia hiraukan. Mumpung sang putra datang, dirinya ingin Farraz bercengkrama lebih lama.

"Apa yang Nak Farraz katakan? Memangnya ada yang salah dengan masakan Ibu? Ibu rasa, masakan Ibu enak kok. Ayah dan kakakmu saja suka," Arsinta kembali membuka suara.

"Mereka suka, tetapi aku tidak. Sejak kapan aku punya kakak? Ibuku juga sudah meninggal, dia sudah bahagia di atas sana. Satu-satunya keluarga yang aku punya hanyalah Ayahku, kalian hanya orang asing bagiku," sindir Farraz, Prayoga dan Arsinta semakin geram saja dengan perkataan Farraz yang kurang ajar. Jika tidak ada Ayah Aryan, mungkin mereka sudah meluapkan emosinya secara langsung.

Prayoga memberikan isyarat pada Ibunya agar tenang, sekarang bukan waktu yang pas untuk meledakkan amarah. Mendapat kalimat pedas seperti itu sudah biasa mereka dapatkan, apalagi di kantor, Prayoga malah diremehkan seolah kinerja kerjanya tidak ada apa-apanya.

"Sebaiknya langsung bicara keinti saja, Farraz. Apa maksud kedatanganmu ke mari. Jangan malah meremehkan masakan Ibuku," sahut Prayoga.

Farraz mengangguk pelan, lalu menatap Ayahnya kembali. Diawal, kedatangannya ke sini bukan untuk basa-basi. Kedatangannya ke sini karena ingin menyampaikan sesuatu hal.

"Baik. Kedatanganku ke sini untuk memberitahukan, jika aku siap menuruti permintaan Ayah," ungkap Farraz. Membuat semua orang yang berada di meja makan tercengang.

Mendapat persetujuan dari Farraz, Ayah Aryan merasa senang jika putranya setuju untuk menikah lagi agar bisa memberikannya cucu.

Berbeda dengan Ayah Aryan yang merasa senang. Arsinta dan Prayoga justru sebaliknya, keduanya kesal dan mengumpat dalam hati, lantaran Farraz malah menyetujui permintaan Ayahnya.

Itu artinya, tidak ada kesempatan bagi Prayoga untuk bisa menguasai seluruh kekayaan Ayahnya. Terlebih Farraz setuju, itu berarti semua warisan masih berlaku tercantum nama Farraz Arsawijaya.

"Aku setuju dengan permintaan Ayahku dan aku setuju jika harus menikah lagi dengan wanita yang akan Ayah pilihkan untukku," ujar Farraz kembali menegaskan.

Istri Kedua Tuan Farraz (Pindah Ke Goodnovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang