Takdir. Siapa yang tau?

237 4 0
                                    

" Pokoknya gue gamau tau, semua rancangan udah harus siap dua hari lagi. "

" Ngapain buru - buru sih Def? Acaranya juga masih dua bulan lagi, kita bikin juga gak gede - gede amat, gak butuh dana terlalu banyak. "

" Lebih cepat lebih baik lah. Kita kan gak tau kesibukan apa yang bakalan ada di hari esok. Gue gak mau ya ada yang kerjaannya gak keurus trus pake alasan tugas gue banyak Def, bu ini gak bisa nego, pak itu gak bisa dirayu. Halah. "

*sebagian besar peserta rapat menganggukkan kepala tanda menyetujui pendapat Defandra*

Di ruangan yang cukup luas ini, dengan meja dan kursi yang di desain seperti ruang rapat pada umunya, berbentuk melingkar, layaknya Konferensi Meja Bundar. Di depan, di salah satu ujung dari lingkaran berbentuk elips ini, seorang Defandra Abrizam dan segala ocehannya memimpin rapat selama tiga jam.

" Rapat hari ini di tutup, kita ketemu dua hari lagi di jam dan tempat yang sama. Terima kasih atas kerja samanya semua, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. "

" Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh. "

Defandra keluar ruangan diikuti yang lainnya, aku memilih untuk tinggal sebentar untuk melemaskan otot - otot yang sejak dua jam lalu mulai menegang. Bukan karena ocehan Defandra, tapi karena memang ini adalah waktunya tidur siang untukku. Kepalaku tidak bisa diajak kompromi, sudah satu jam lebih dia menahan sakit.

" Pusing gue, makalah belom selesai, mana besok presentasi, alamat begadang nih gue nanti malam. "

" Sama, gue juga Na. Tugas divisi gue belom selesai, sedangkan masih banyak banget yang harus di fiksasi supaya bisa laporan besok lusa. Gila tuh emang si Defandra. "

" Emang dia kenapa sih Thal? Perasaan dulu alus - alus aja kalo ngurus acara, gak kayak gitu. "

" Gak ngerti gue juga, tapi emang dari awal semester dia udah kayak gitu sih gue liat - liat, lebih bawel gitu di kelas. Gak tau ya emang sifat asli dia kayak gitu atau gimana, pokoknya beda deh. "

" Iya beda banget."

" Udah yuk ah, gue mau ngurus perizinan dulu biar bisa laporan."

Aku dan Athala meninggalkan ruangan rapat, menyisakan beberapa orang yang juga sedang mempertanyakan perubahan sifat Defandra yang amat sangat terlihat. Seseorang yang terkenal halus dan sulit untuk mengungkapkan kata - kata, kini berubah menjadi sosok yang bawel dan banyak tanya.

Entah angin darimana yang membawa dia seperti ini. Sebenarnya perubahannya yang kini lebih bisa untuk mengeluarkan pendapatnya adalah suatu kemajuan, karena kami para staffnya tidak perlu bersusah payah untuk membaca arti dari sikapnya jika ditanya mengenai sesuatu. Keterbatasannya dalam menyusun kata, membuat komunikasi dengan sesama menjadi terhambat, banyak misunderstanding di antara kami.

Namun, sifatnya yang lebih bawel sekarang, membuatnya sedikit otoriter. Meski tak terlihat, tapi aku merasakannya. Padahal aku masih ingat betul bagaimana pertemuanku dengan Defandra untuk pertama kalinya. Percakapan pertama kami, pesan elektronik pertama kami, semuanya masih jelas.

~

" Rana."

" Ya? "

" Rana kan? "

" Iya? "

" Divisi Perlengkapan kan?"

" Iya."

"R A N A" Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang