YANG BENAR SAJA?!

129 3 0
                                    

Kegiatan kampus hari ini begitu melelahkan. Setelah debat makalah dan presentasi yang panjang, aku masih harus berurusan lagi dengan dosen paling dihindari di kampus. Pak Cokro membuatku susah hari ini, permintaannya yang kurang masuk akal berhasil membuatku pusing setengah mati. Semua tugas darinya sudah aku selesaikan bahkan sebelum jatuh tempo. Tapi ada saja kelakuannya yang menyulitkanku.

"Pak, riset ini gak akan selesai walaupun bapak kasih saya waktu 3 bulan. Ini lagi bapak minta sebulan. "

" Loh, jadi kamu nolak tugas dari saya? "

" Bukan gitu Pak, riset ini butuh banyak waktu. Gak mungkin saya bisa selesai dalam waktu sebulan. "

" Saya gak mau tau, ini tanggung jawab kamu sebagai mahasiswa. "

" Pak, saya rela deh nganter jemput anak bapak selama sebulan dibanding suruh ngerjain riset ini."

"Enak aja, untung di kamu itu namanya. Mau kamu saya kasih nilai D? "

" Ya Allah pak, ini kan bukan bagian dari tugas saya, masa saya gak mau ngerjain bapak kasih nilai D. "

" Hak saya dong mau ngasih nilai apa aja buat kamu. Saya ngasih kamu nilai D karena kamu berani bantah omongan saya. "

" Gabisa gitu dong pak. "

" Ya bisa lah, saya dosennya. "

" Pak tolong lah pak, yang lain aja pak, riset ini susah pak. Bapak kasih sama mahasiswa bapak yang tingkat akhir juga gak akan bisa mereka selesai dalam waktu sebulan. "

" Hmmm . . . Gini aja, saya denger – denger, kamu belom accept tawaran jadi perwakilan buat ke Papua? "

" Iya pak. Rencananya mau saya tolak. "

" Tolak gimana? Gabisa! Pilihannya cuma 3. Kamu kerjain riset ini, kamu berangkat ke Papua, atau kamu saya kasih nilai D. Pilih mana? "

" Tapi pak . . . "

" Gak ada tapi – tapi. Saya tunggu jawaban kamu besok pagi di ruangan saya jam 8."

~

Dosen manja yang satu itu, membuatku harus membuka rapat dengan kedua orang tuaku. Bayangkan, pulau yang nun jauh disana, yang entah bagaimana suasananya, dan aku harus menetap disana selama sebulan. Biaya untuk pergi naik pesawat ke Papua saja bisa aku gunakan untuk ongkos pulang pergi ke Singapura. Meskipun seluruh biaya ditanggung pihak universitas, tetap saja Papua itu jauh. Apa kata Abi dan Ibu jika mereka dengar anaknya akan dikirim ke pulau paling jauh dari Jakarta?

Belum lagi Defandra dan kepanitiaan yang dipimpinnya, yang harus aku tinggalkan padahal maklumat baru saja diberikan olehnya. Menyenangkan memang bepergian, tapi jika sejauh itu dan terlebih lagi aku harus meninggalkan banyak tanggung jawab di Jakarta, semuanya sulit. Apa yang harus aku katakan pada kedua orang tuaku? Pada Defandra? Memangnya Pak Cokro mau menggantikanku untuk mengurus segala hal yang aku tinggalkan di Jakarta? Memangnya Pak Cokro mau menggantikanku meyakinkan kedua orang tuaku agar mengizinkanku berangkat ke Papua? Pak Cokro oh Pak Cokro, semoga kelak dosen pembimbingku bukanlah dirimu Pak, aku lelah dengan semua ini Pak.

~

Sepanjang jalan menuju ke rumah, aku terus memikirkan apa yang harus aku katakan pada kedua orang tuaku. Defandra soal belakangan, yang penting restu orang tuaku dulu. Tidak berangkat ke Papua sama dengan aku tidak bisa melanjutkan kuliahku, semua beasiswa yang aku terima bisa dicabut seketika hanya gara – gara ulah Pak Cokro yang tak masuk akal. Kenapa dosen seperti dia tidak pernah berpikir panjang jika mengambil keputusan?

Tiba dirumah, aku langsung masuk ke kamar, berbaring sebentar lalu membersihkan tubuhku dari kotoran – kotoran akibat polusi di Jakarta yang tak pernah ada solusinya. Selesai mandi, aku langsung pergi ke ruang TV, disini lah rapat dimulai.

"R A N A" Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang