Bab 6. TERPAKSA IRIT

930 105 15
                                    

BAB 6. TERPAKSA IRIT

Aku pulang dengan wajah lesu, bisa-bisanya uang satu juta habis dalam sekejab. Bagaimana bisa ibu membeli pakaian semahal itu? aku menyugar rambutku dan terpaksa pulang tanpa membawa uang yang dibutuhkan untuk membeli bahan makanan.

Aku mengucap salam dengan lesu, masuk dan lekas duduk di sofa. Tidak ada yang menyapaku sama sekali, mungkin sudah pada istirahat di dalam kamar masing-masing. Aku pun membiarkan saja karena percuma juga ada mereka, dengan kondisi tidak ada uang membuatku tidak berkutik.

Rasa lapar mulai menyerang perutku, duh, makan apa ya?

Aku melihat ke arah dapur, di sana ada beberapa bungkus mie rebus dan goreng, ada telur tiga butir. Kalau aku masak besok pagi anak-anak makan apa? Bimbang dengan itu, Fitri muncul. Tanpa mengatakan apapun ia membuka laci atas tempat makanan disimpan, lalu mengambil nasi dan memberikannya padaku. Aku tercengang mendapati ikan bakar di hadapanku. "Loh, ini...."

"Makanan yang kamu mau."

"Kamu dapat uang dari mana, katamu sudah habis, kamu bohong sama aku ya?"

"Bisa tidak sih, kalau apa-apa jangan menuduh begitu?"

"Terus uang darimana, kan kamu sendiri yang bilang kalau uang habis."

"Benar, uang darimu yang sudah habis."

"Terus, kamu suka korupsi gitu?"

Fitri jelas menghembuskan nafas kasar. Ia menatapku tajam. "Mau makan tidak, kalau tidak simpan lagi atau buang saja. Aku sudah memakai uangku yang aku simpan untuk berjaga-jaga jika uang habis untuk membeli kebutuhan dapur, uang itu dari orang tuaku, Mas."

"Loh, kapan orang tuamu kasih, kok Mas nggak tahu?"

"Kenapa harus tahu, inikan untukku."

"Kok kamu gitu, aku aja selalu terbuka soal keuangan sama kamu kok."

"Oh ya, tapi buktinya aku baru tahu kamu tabungan di bank? Katamu semua gaji diberikan padaku tapi kok ada uang tabungan, uang dari mana itu?"

Sial, tahu dari mana Fitri? "Apa sih, nggak perlu kamu tahu toh aku nabung karena uang itu juga buat kalian nantinya."

"Ya kalau begitu ambil, agar besok kita bisa makan. Uangku sudah habis untuk membeli lauk makan tadi."

Aku makin pusing sekarang, kirain istriku punya simpanan banyak dari orang tuanya tahunya hanya sekali beli lauk saja. "Nggak ada, besok aku ambil dari atm lagi."

"Terus ngapain kamu tadi keluar?"

Ah, makin pusing aku dengar pertanyaan Fitri. "Cerewet banget sih, lagian kamu sih kalau pegang uang jangan boros-boros, akhirnya ribet ginikan?"

"Aku sudah bilang, uangnya dipinjam orang tuamu."

"Aku nggak percaya, tiap bulan Ibu itukan sudah dapat jatah, masa minta lagi." Walau sejujurnya aku mulai percaya karena uangku yang satu juta saja bisa habis dalam sekejap mata karena untuk membeli tiga potong pakaian yang sangat mahal harganya.

"Ya sudah kalau tidak percaya." Ia kembali masuk ke dalam kamar. Dan aku memilih untuk menurunkan ego karena perutku sangat kelaparan. Aku memakan nasi dan ikan bakar itu dengan lahap hingga tandas dalam waktu singkat.

Usap kenyang, aku menaruh piring begitu saja di westafel, cuci tangan dan gegas menyusul istriku untuk tidur.

***

Esoknya, aku lihat anak-anak tengah makan dengan lahap walau hanya pakai telor dadar diberi kecap. Hari ini kami libur kerja dan sekolah jadi lebih santai. Aku menarik kursi, seperti biasa Fitri langsung melayaniku. "Mah, nanti ada temenku yang ulang tahun, katanya harus bawa kado." Aliyah memberikan informasi yang langsung membuat kepalaku pusing.

ISTRIKU TIDAK MENARIK LAGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang