Bab 7. NUMPANG MAKAN

972 116 35
                                    

BAB 7. NUMPANG MAKAN

Aku benar-benar mengajak anakku pergi ke rumah ibu. Ya ngapain juga di rumah yang Cuma ada makanan telur aja. Ih, bisulan beneran deh aku nanti. Udah biasa makan enak terus dikasih kaya gitu doang, apa kata dunia???

"Yah, kita ngapain sih pagi-pagi ke rumah Nenek?" tanya Aliyah di atas bocengan motor.

Aku menoleh sekilas. "Mau numpang makan," jawabku jujur.

"Ih, kok numpang makan sih, kan Mama udah masak tadi, Yah." Ia kembali protes, padahal jelas di rumah hanya dadar telur, apa enaknya coba?

"Udah, kamu ikut aja, pasti akan senang makan di rumah Nenek di bandingkan di rumah soalnya Mama Cuma masak telur aja, bosen."

"Tapi, aku suka telur dadar."

"Duh, ikutan norak deh kamu. Makan itu harus seimbang gizinya. Ada daging, sayur, susu, dan lainnya."

"Tapi aku bosan makan kaya gitu terus, Yah. Dan kata Mama kita itu nggak boleh pilih-pilih makanan. Apapun yang ada harus disyukuri." Eh, bocah ini malah nasehatin ayahnya yang udah pandai dari lahir.

"Ya, benar kata Mamamu tapi tetap makan yang baik adalah yang bergizi. Jangan Cuma telur aja, udah jangan cerewet kita mau makan enak di rumah Nenek." Ia memperhatikan Dimas yang asik melihat pemandangan di kanan kirinya. Padahal Cuma rumah warga saja. "Kaya Dimas tuh diam."

Aliyah nampaknya menurut karena ia sudah tidak bicara lagi, baguslah.

Kami akhirnya sampai di rumah orangtuaku. Rumah yang harusnya dekat jadi terasa jauh karena kita agak memutar sebab ada hajatan di tengah jalan. Kami pun mengetuk pintu yang langsung dibukakan oleh Ibuku. "Loh, kok pagi-pagi kalian sudah di sini saja?" Ibu nampak toleh kanan kiri, mungkin mencari istriku.

"Fitri di rumah nggak ikut," jawabku sembari melangkah masuk ke dalam diikuti dua anakku. Ibupun membuntuti kami dan masuk ke ruang makan. Di sana sudah ada bapak dan Intan yang makan dengan lahap. Anak-anak lekas menghambur pada kakeknya untuk mencium tangan serta pada tantenya.

"Tumben pagi-pagi ke rumah, ada apa?" tanya bapak. Akupun membantu anak-anakku untuk duduk di kursi sementara ibu langsung memberikan makan pada mereka.

"Fitri masak Cuma goreng telur, malas aku makan di rumah," jawabku jujur sembari meraih piring dan tak sabar makan rendang.

"Ya ampun, istri macam apa itu, kok bisa masak goreng telur doang. Habis ke mana tuh gajimu yang besar." Ibu mulai memanasiku.

Aku mau bicara soal ibu yang pinjam tapi melihat responnya nampaknya tidak mungkin kalau orang tuaku pinjam. Lihat saja nih, makanan enak semua, masa sampai pinjam uang pada anaknya yang tidak seberapa gajinya dibandingkan gaji bapak. "Nggak tahulah." Aku lekas menyuap makanan itu ke dalam mulut. Walau tak seenak masakan istriku tapi aku tetap melahapnya.

"Bilangin sama istrimu, jangan sampai boros, Ibu sering lihat dia belanja online."

"Belanja online?" Aku baru dengar hal itu. Kan, istriku hapenya jadul, bagaimana ia bisa pesan online?

"Ah, masa sih, Bu?"

"Dih, nggak percaya kamu. Tanya sana sama tetanggamu."

Aku jadi kepikiran juga, tapi bagaimana ia pesan online kalau hapenya saja jadul. Atau jangan-jangan dia punya uang lebih dan beli hape bagus tanpa sepengetahuanku. Kan, tadi saja dia sombong kalau kerja ngajar ngaji hingga bisa memasak telur dadar untuk kami.

Atau orang tuanya menjual sawah sampai dikasih uang banyak?

Ah, nggak mungkin juga sih, kan istriku tidak punya rekening sendiri. Duh, aneh banget deh. Aku harus percaya siapa ya?

***

Karena ucapan ibuku, hatiku jadi tak tenang. Setelah main sampai siang hari—plus makan siang—kami pun akhirnya pulang. Di rumah aku langsung mencari sosok wanita yang aku pilih sebagai pendamping hidupku. Ia ternyata di belakang, tengah menjemur baju dengan tetap menggendong Fikram.

"Fit, aku mau ngomong."

Ia menoleh. "Kebetulan kamu sudah pulang, Mas. Tolong gendong Fikram dulu, biar kerjaanku cepat selesai." Dih, apa sih, aku kan mau ngomong kenapa malah di suruh jaga anak.

"Nggak ah, nanti aja kalau gitu." Aku balik badan meninggalkan istriku yang kepayahan menjemur baju sembari menggendong Fikram. Suruh siapa tuh anak digendong terus, kan bisa ditaruh saja.

Lama sekali aku menunggu Fitri selesai menjemur. Sebanyak apa sih, kok lama banget. Aku akhirnya tiduran di ruang tengah sembari menonton tv, dan mendengarkan pertengkaran kedua anakku yang kadang akur kadang bagai musuh. Sudah biasa jadi aku acuhkan saja.

Ternyata aku ketiduran dan langsung duduk karena ingat belum bicara dengan Fitri. Aku menoleh ke arah dapur, eh rupanya ia asik-asikkan makan di sana. Aku lihat Fikram tengah tidur tak jauh dari posisiku duduk. Aku pun bangun lalu mendekatinya. Ia melirikku cuek.

"Kok malah asik makan sih, kan aku bilang mau ngomong sama kamu."

"Ngomong aja," jawabnya cuek.

Dih, nggak sopan banget jadi istri. "Kamu tuh nggak ada sopannya ya sama aku. Mentang-mentang udah punya uang sendiri jadi sombong." Aku bicara sembari memperhatikan dirinya yang makan dengan lauk telur dadar serta sambal ulek mentah. Kok aku jadi ngiler juga ya? Tanpa sadar aku membuka mulut seolah meminta disuapi, dan rupanya istriku masih baik. Ia memberikan suapan terakhirnya padaku.

"Aku dengar kamu suka beli barang online?"

Fitri yang tengah berdiri hendak merapihkan piring bekas makannya langsung menoleh heran. Dari raut wajahnya ia agak kaget. "Mas kata siapa?" Nah kan, kali ini Ibu yang benar istriku yang bohong. Dari raut wajah jelas tergambar bahwa apa yang aku lontarkan benar adanya.

"Dari Ibuku, katanya sering lihat kamu terima barang online. Pantas saja ya, uang habis dan kamu harus bekerja, karena takut ketahuan akukan kalau uangnya dipake untuk hal gak penting?" tuduhku lebih lanjut.

"Mas percaya dengan ucapan Ibu?" Ia justru tersenyum sinis seolah mengejekku. Sontak aku berdiri tak terima.

"Eh, kalau memang bohong, kamu nggak akan berekspresi terkejut begitu."

"Oke, kalau benar aku beli barang online, apakah ada di rumah ini benda lain selain yang beli pakai uangmu?" Sontak aku memutar pandangan dan memperhatikan semuanya. Dan ya, tidak ada yang berubah sih, barang lama semua.

"Ya bisa saja barang pribadimu, kan aku nggak tahu."

"Pakaian dalamku saja walau sudah bolong tidak pernah aku ganti karena nanti kamu akan mempertanyakan ke mana saja uangnya. Dasterku saja bolong aku tambal, biar kamu nggak banyak tanya ke mana habis uang. Dan tidak menyalahkanku karena memakai uang untuk kepentinganku. Lalu, jika semua itu saja tidak ada yang berubah, barang apa yang aku beli?"

Duh, kok jadi puyeng gini sih. "Ya makanya aku tanya, kok kamu malah tanya balik aku."

"Ibumu yang beli dan aku yang bayar."

Aku langsung melotot. "Ya ampun, kamu salahkan Ibuku lagi? Gila kamu ya, ngajak ribut kamu?"

"Terserah mau percaya atau tidak, secara logika itu mungkin bagiku untuk memesan barang online. Satu, aku tidak punya uang, kedua aku tidak punya ponsel untuk mendukung interaksi beli online. Dan asal kamu tahu, orang tuamu sudah lama melakukan hal itu, dulu, waktu kita belum punya anak Ibu selalu minta satu juta padaku dengan alasan bayar arisan. Setelah punya anak dia minta lima ratus untuk kebutuhannya yang entah apa, sekarang kadang tiga ratus, kadang dua ratus dan terakhir satu juta terakhir kita diambil untuk menjamu calon mertua adikmu."

Aku mau bicara tapi istriku lebih dulu ngomong. "Seminggu bisa empat bahkan tiga aku bayar barang online Ibu. Awalnya aku berikan pada Ibu tanpa bayar, Ibu marah-marah padaku di depan tetangga. Akhirnya aku mengalah dan membayarkan untuknya. Awalnya murah, hanya 20-30 ribu, tapi kalau setiap minggu tentu uang akan terus berkurang. Dan sekarang, dengan seenaknya ia mengatakan jika aku yang beli? Baiklah kalau begitu, bilang pada Ibumu, barang itu akan jadi milikku nanti. Karena aku yang bayar pakai uang suamiku." Fitri langsung beranjak menjauh tanpa mencuci piring kotornya.

ISTRIKU TIDAK MENARIK LAGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang