2. Ice Cream

12.3K 882 20
                                    

Semilir angin berhembus, menyentuh kulit putih Lingga yang bersih tanpa cacat, sampai menggoyangkan Surai hitam lembut miliknya. Masih di hari yang sama, tapi suasana hati Lingga nampak lebih baik dari sebelumnya.

Lingga meremat jari tangannya, gugup. Apa Pria itu marah? apa justru tidak terima?

Tuhan, tolong.. hari ini saja berbaiklah pada Lingga,

"Apa yang aku dapatkan, jika aku memaafkan mu?"

Mendengarnya, Lingga otomatis mendongak. Apa itu sebuah pertanyaan? kenapa ambigu sekali.

"Ya?"

Tanpa meminta persetujuan dari si empu-- Pria itu langsung menarik tangan Lingga, mau tak mau Lingga harus menuruti. Langkahnya begitu lebar sampai Lingga saja kewalahan menyamakan langkah Pria tersebut.

"Pelan-pelan om" Lingga meringis, merutuki dirinya sendiri yang reflek mengucapkan kata itu. Bisa saja jika orang lain mendengarnya, akan salah paham 'kan?

Lipatan tercetak di dahi Lingga, bingung. Kenapa kita disini?

"Bari saya satu, yang besar. Rasa.."

"Rasa apa?" sembari berucap, Pria tersebut menoleh pada Lingga yang masih mencerna keadaan.

"Ya? em.. coklat?" Lingga menjawab, mengikuti hatinya yang seolah 'kudu' dijawab.

Pria itu kembali mengatensikan pada penjual, "Coklat." ucapnya yang diangguki si penjual.

Sedangkan Lingga-- menatap lurus seperti orang yang punya banyak pikiran. Sebetulnya Lingga ragu, tapi hatinya nurut-nurut saja.

Lingga lantas membatin, "Gue takut kena culik," Lingga membuang napas, berusaha tenang.

"Bukan om-om pedo 'kan?" bukannya tenang, pikiran Lingga malah mengajaknya negatif thinking.

"Gue harap bukan," lirihnya kembali membuang napas.

"Hey, ini."

Lamunannya buyar saat Pria tersebut menepuk pundaknya. "Ya?"

'Mulut gue ya, ya mulu njrit' batin Lingga protes.

Sejenak, Pria dengan tinggi sekitaran seratus delapan puluh sembilan-- tersenyum tipis. Terbilang tipis, Lingga masih tetap bisa melihatnya.

"Kamu banyak membuang napas.

Ini untukmu," Lingga menerima eskrim rasa coklat berukuran besar dengan sedikit binar di manik gelap miliknya.

"T terimakasih,"

"Jangan gugup, aku tidak akan menculikmu."

"Mendekat, duduk di sini. Habiskan eskrim-mu terlebih dahulu."

Lingga mengangguk kaku sebisa mungkin menampilkan senyuman termanis miliknya, langkahnya terdorong untuk mendekat. Lalu duduk di kursi dekat gerbang sekolah, dengan Pria berpakaian formal disamping Lingga.

Lingga memarkirkan sepeda gunung, disamping rumah yang ia tempati. Panti Asuhan Ramah Anak-- terpasang apik di depan bangunan yang tak terbilang besar juga tak kecil.

Belum sempat menginjakkan lantai teras bangunan, sepasang sepatu hitam itu berhenti. Lingga tersenyum manis, disana-- wanita tua berdiri dipintu utama, tersenyum hangat menatap Lingga.

Tungkai kakinya bergerak, berjalan mendekati wanita tersebut. Lalu, Lingga mengulurkan tangannya kepada wanita itu untuk dicium.

"Bunda," lengkungan manis masih menempel di wajah sempurna Lingga. Tanpa gula, wajah Lingga sudah sangat manis.

Arista selaku pemilik panti, membelai rambut gelap Lingga dengan penuh kehati-hatian, membuat si empu seperti tersengat listrik.

'Bunda' mengelus kepalaku. Perasaanku jadi menghangat...

"Ganti dulu gih, nanti temuin Bunda di ruang tamu, oke?"

Kepalanya mengangguk semangat sampai poni hitam miliknya bergoyang seiringnya anggukan.

Tbc

OBEDIENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang