12. Don't be Angry...

6.6K 625 40
                                    

"Tidak Papa~!"

Haris yang tak mengerti lantas mengerutkan dahi, "Kenapa?"

Kepalanya menunduk, memilin selimut yang masih membungkus tubuhnya dengan keadaan bug1L.

Pipinya merona hingga telinga, kemudian mulutnya mencicit. "Lingga malu.."

Haris tersadar, memejamkan mata sejenak guna menetralkan jantungnya yang kini terasa berdetak lebih cepat dari manusia normal. ßokongnya digeser, mendekatkan tubuhnya ke arah Lingga.

Tangan besar itu terulur, menyentuh dagu Lingga agar menatap manik coklatnya. Ia kemudian terkekeh geli, "Sesama lelaki, apa yang perlu dimalukan?"

Netra hitam dengan sorot lembut, kini nampak bergetar. Lingga kembali menunduk. em- Bukannya itu hal lumrah ya, memiliki rasa malu kepada sesama jenis? Lingga tau, kita ini mempunyai burvng masing-masing. Namanya juga manusia yang masih beradaptasi 'kan? Lingga memang sedang berusaha akrab, tapi kalau masalahnya seperti ini, Lingga belum bisa.

Otak pintarnya mendadak tak bekerja, Lingga.. ingin sekali menolak. Seolah tengah beristirahat, otaknya justru memilih diam dengan seribu penolakan.

"Tidak usah berpikir terlalu berat, ini hanya ajakan biasa sebagai keluarga."

Lengkungan tipis tercetak pada bibir Haris saat atensi sang putra beralih padanya. "Menurut, jika ingin mendapat hadiah"

Lingga meneguk ludah, kata terakhir itu sangat membuat hatinya goyah, "Hadiah?"

Yang semulanya hanya senyuman tipis, kini diganti dengan seringaian kecil yang terhias pada wajah paripurna Haris, "Ya, hadiah. Adek ingin hadiah?"

Lingga menatap sang Papa dengan manik hitamnya yang basah. Hadiah, semalam baru saja Lingga mendapat hadiah, dan itu membuat hatinya senang.

"Iya, adek mau hadiah,"

Pria yang bertelanjang dada mendekatkan wajahnya pada yang lebih kecil, mengecup sekilas benda kenyal mengkilap yang terus menarik perhatiannya sedari kemarin.

"Apapun yang adek ingin, akan papa kabulkan."

"um? apapun?"

Haris terkekeh, "Tentu saja, apapun itu asal adek menurut"

Lingga terdiam, menatap tepat pada manik coklat Haris lama.

Nihil,

Lingga tak menemukan adanya kebohongan pada tatapannya. Merasa ragu, tetapi perlakuan Aswangga sedikit membuatnya percaya, bahwa mereka benar-benar dengan sikapnya.

Seharusnya Lingga percaya. Melihat senyuman yang kini terpasang apik pada wajah Haris, Lingga yakin itu bukanlah sebuah permainan.

Saat sedang asik melamun, tanpa meminta persetujuan, Haris menggendong Lingga menuju kamar mandi dengan Lingga yang sekarang nampak tak memberontak ataupun menolak.

Haris mendudukan Lingga pada pinggiran wastafel, "Tunggu sebentar, Papa akan menyiapkan air hangat." Setelah mendapat anggukan kecil, Haris melakukan apa yang tadi ucapkan.

Tak berselang lama, Haris menoleh kembali- memfokuskan diri pada Lingga. "Selesai, ayo mandi!"

Saat akan meraih tangan Lingga, suara pelan yang terdengar sedikit malu-malu menghentikan pergerakannya. "Papa tunggu-"

"Hm?" Haris mengangkat alisnya bingung.

Kerutan kecil pada dahinya bertambah berkerut ketika melihat anak kucingnya tertunduk, meremas selimut yang masih membungkus badan dengan telinga yang kini nampak memerah. Apa yang terjadi?

Haris sedikit membungkuk, menyangga kedua tangan pada wastafel disisi Lingga. Tatapannya terlihat serius menebak tingkah laku sang anak dengan cermat.

Pria yang masin bertelanjang dada memaku. Tak kuasa memandang, dengan kesadaran yang menipis Haris menggigit bibir bawah kuat-menahan agar tak tersenyum terlalu lebar sambil membuang muka.

Raut wajah putra kecilnya sangat cantik sekarang, Haris tak biasa jika tidak tersenyum!

Lingga masih menunduk, jemarinya memilin kain yang melingkar itu kuat. Pergerakan tiba-tiba sang ayah membuat Lingga mendongak, memandang bingung Haris yang telah melenggang pergi meninggalkan Lingga didalam kamar mandi seorang diri.

Sontak saja, itu membuat Lingga merasa sangat bersalah karena telah menolak. "Papa marah?" Mulut kecilnya nampak menggumam.

Sedangkan disisi lain, Haris yang baru saja keluar dari kamar mandin -menyandarkan punggungnya pada pintu- menatap lurus kedepan dengan napas tak beraturan.

Dua sudut bibirnya terangkat pelan, "Sial-" ucapnya dengan kekehan berat diakhir.

Kemudian tangannya terangkat menutup setengah wajah yang terhiasi senyuman lebar miliknya. Kekehan itu kembali terdengar, lalu ia melanjutkan kalimatnya "aku tak bisa menahannya."

OBEDIENT

Bibir tipisnya mengatup, ingin mengeluarkan sepatah kata tapi tak bisa, seakan lem telah menyatukan bibirnya dengan sempurna.

Tarikan kecil pada ujung kemeja Haris berhasil membuat si pemilik menunduk. Mendapati putra kecilnya yang sangat mungil dibandingkan dengan ketiga putra lainnya.

"Ada apa?"

Lingga refleks melepaskan tarikan ujung kemeja Haris, setelah mendengar nada datar Pria didepannya mengalun.

Tadi, saat Lingga selesai membersihkan diri di kamar mandi, Lingga mendapati sang papa yang tengah memakai pakaian formal. Ia menganggap jika Haris sudah mandi di kamar mandi lain. Dan itu membuat Lingga merasa tak enak hati.

"Papa marah?" Disaat dirinya sudah berhasil membuka suara, kini hening melanda di dalam kamar milik Haris.

Tidak, apa papa nya ini benar-benar marah? jika iya, Lingga merasa menjadi anak yang sangat buruk. Tidak bisa! ia harus membuat Haris kembali pada mode sebelumnya.

Dengan itu, Lingga meraih tangan kiri Haris. Menggenggam tangan besar sang papa dengan kedua tangan kecilnya. "Lingga minta maaf," kelopaknya menutup erat sejenak, sebelum mendongak menatap sang papa menahan tangis. "Jangan marah"

Haris terpaku, pagi ini ia mendapati dua serangan berturut-turut oleh putra kecilnya. Lihat, netranya yang mengkilap dan belah bibirnya yang sedikit melengkung kebawah. Itu terlihat menggemaskan dan sangat cantik!

Jujur saja, ia tak marah. Hanya sedikit mencampuri bumbu drama untuk toping.

Dan Haris,

pandai dalam perannya sekarang.

Tangan yang bebas dari genggaman Lingga, mengepal erat guna menetralkan detak jantung agar tak terlalu berisik. Pria tersebut mencondongkan tubuhnya, mengecup kelopak mata sang anak lembut. Ia kemudian mengangkat tubuh Lingga kedalam gendongan koala.

"Siapa yang mengatakan kalau papa marah?" Lingga yang mendengarnya lantas menggeleng kecil. Benar.. tak ada yang bilang. Lingga saja yang berpikir demikian.

Haris terkekeh, ia semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Lingga. "Berhenti menangis,"

"ingin ikut papa ke kantor?" ajaknya sambil mengusap lelehan air mata dipipi Lingga.

Kelopaknya mengerjap, menatap sang papa ragu-ragu. "em boleh?"

Pria itu kembali terkekeh gemas, "Tentu saja."

Ia adalah aktor sukses yang menjelma menjadi CEO perusahaan.

TBC

uwuww~

OBEDIENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang