6. Stardust Trail (When Shooting Stars Fall)

109 8 1
                                    

Ini penyakit yg mengerikan.

Sejak hujan meteor, penyakitku semakin parah. Perjalananku ke rumah sakit menjadi semakin sering. Suatu hari, aku tidak bisa pergi, aku tidak menduga apa-apa. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini.

Tapi yg benar-benar mengejutkanku adalah aku tidak pernah melihat Xavier lagi. Dia menghilang begitu saja tanpa jejak. Tidak ada yang tahu kemana dia pergi.

Tentu saja aku mencoba menghubunginya, tetapi tidak berhasil. Satu, dua, tiga hari berlalu, dan aku semakin cemas. Saat aku menyelinap keluar dari kamarku, dgn kekuatan yg tidak cukup untuk meninggalkan kamar rumah sakit, aku ingat apa yang dia katakan tentang cara meraih kebebasan berarti dgn melepaskannya.

Apa dia kehilangan kebebasannya saat pergi menonton hujan meteor bersamaku?

Aku berbaring di ranjang rumah sakit setiap hari, bolak-balik, tenggelam dalam pikiran seperti malam sebelum hujan meteor terjadi. Tapi langit tidak bersinar lebih cepat karena pikiran gelap ku.

Demikian pula, tidak peduli seberapa banyak aku memikirkan Xavier, dia tetap tidak muncul.

Bahkan jika aku bodoh, Sulit untuk mengabaikan fakta bahwa hidup ku hanya tinggal hitungan hari.

Aku tahu dari raut wajah perawat setiap kali dia masuk.

Lagipula, jantung yang lemah ini adalah milikku.

Tepat 1 bulan setelah hujan meteor, aku memaksakan diri untuk menyelinap keluar dari rumah sakit dan kembali ke dataran Salt, meskipun jika ini demi janji itu.

Aku punya firasat dia akan berada di sana.

Sungguh menakjubkan saat mendengar garam berderak dibawah kaki ku. Walau belum terlalu lama, aku bisa berlari & melompat saat terakhir kali kesini. Aku duduk di jembatan trestle untuk waktu yg lama. Lebih lama daripada malam saat aku menyaksikan hujan meteor bersama Xavier. Lagi pula, tidak ada waktu berikutnya.

Saat aku bersiap untuk pergi, aku melihat sebuah bintang terpantul di kejauhan.

Itu tergantung pada gagang pedang kayu, berayun kesana kemari.

Itu Xavier.

Dia berlari.

Ke arahku.

Dia berhenti di depanku. Saat itulah aku melihat luka di tangan dan wajahnya.

Sambil mengatur napas, dia mengulurkan tangannya, menunjukkan padaku Protocore kecil yg bersinar. Ini pertama kalinya dia menatapku dengan tatapan putus asa. Saat dia mendekat, aku melihat lingkaran cahaya di lehernya. Warnanya merah mencolok dan menyesakkan.

"...Apa kamu menukar kebebasanmu untuk ini?"

Dia tidak menjawab. Dia bilang ini Protocore yang bisa menyelamatkanku. Dia menemukannya. Tapi jantung yang lemah ini tetap akan ada di dalam diriku. Ini seperti lilin yg berkedip-kedip yg akan padam kapan saja hanya berpegang kuat pada keinginanku untuk bertemu Xavier lagi.

Aku mengulurkan tangan dan menyentuh luka pada wajahnya. Sebagian darahnya sudah mengering. Aku tidak mengerti mengapa Xavier yangg begitu tenang dan pintar, mempertaruhkan nyawanya tanpa berpikir sama sekali.

Dia rela terjun ke dalam bahaya demi jantung ku yang sekarat ini.

"ini sdh sangat terlambat."

Aku ingin menyentuh leher Xavier, aku mengambil nafas.

"Kembalikan Protocore ini ke tempat kamu menemukannya, oke?"

Xavier tidak berkata apa-apa, Dia mencengkeram Protocore sampai jari-jari nya menjadi putih.

"Kamu berjanji kita akan menyaksikan hujan meteor lagi."

"Kita punya takdir masing-masing... Beberapa hal tak bisa dipaksakan..." Aku mengulurkan tangan dan mencolek sudut mulutnya.

"Jangan bersedih. Aku sangat bahagia selama sebulan terakhir ini."

Aku tak tau kenapa, tapi meskipun aku tidak ingin menangis, air mata mulai jatuh begitu aku selesai berbicara. Xavier menyekanya. Di sekitar kami, dataran garam bagai cermin yang menghubungkan surga dan bumi, membuat langit tampak begitu tak berbatas. Dan pada saat yg sama, hal itu membuat kami merasa sangat kecil.

"...Berbicara lah dengan ku." Aku menunjuk ke tempat di sampingku, membiarkannya duduk lebih dekat. Tatapannya melembut. Setelah beberapa saat, dia mengendurkan cengkeramannya pada Protocore, membiarkannya jatuh ke tanah, dan duduk di sampingku.

"...Jika aku tidak sakit, maukah kamu melihat bintang bersamaku?"

"Ya." Xavier merangkulku, membiarkanku bersandar di bahunya.

"Bukan hanya bintang. Akan ku tunjukkan gunung dan sungai, matahari dan bulan. Kita akan melihatnya bersama-sama."

"Oke, tapi bukan pegunungan. Mendaki gunung itu penuh dengan usaha, aku tidak mau..."

"Apa pun yang terjadi, aku akan berada di sisimu. Dan tidak peduli berapa lama kamu beristirahat, aku akan menunggumu."

"Baiklah, karena kamu bersikeras, aku hanya... harus... setuju..."

Bersandar di bahu Xavier dan memimpikan masa depan yang bebas dari penyakit membuatku bahagia. Aku merasakan kekuatan ku perlahan-lahan melemah. Aku menggunakan kekuatanku yg tersisa untuk melihat ke langit.

"Sayang sekali... Tidak ada bintang malam ini..."

"Ada satu."

Aku melihatnya mengulurkan tangannya di depanku, telapak tangannya bersinar. Ini seperti saat di auditorium, tapi malam ini, cahayanya tampak lebih terang.

Bintang jatuh milik nya bersinar lagi untukku.

Aku memejamkan mata dan membisikkan keinginan terakhirku.

"Aku ingin bertemu denganmu di kehidupanku selanjutnya... Aku ingin tahu apakah itu akan menjadi kenyataan..."

"...Itu akan terjadi."

Dia memegang tanganku. terasa nyaman dan hangat. Aku mengangguk meyakinkan diri nya, lalu aku merasa seolah-olah ada yg memanggil namaku dari atas. Kelopak mataku terasa berat. Lalu, aku tidak bisa membukanya lagi. Di saat-saat terakhir hidupku, aku merasa seperti sedang ditahan. Aku mendengar bunyi yg mirip seperti bintang yg sedang terbakar di langit, satu demi satu, seolah-olah hujan meteor besar dan cemerlang telah muncul. Dengan aroma yang mengingatkan ku pada bulan, suara yang hangat dan lembut mencapai telingaku seperti bintang jatuh.

"Tidak peduli seberapa banyak waktu diperlukan, di mana pun kamu berada... aku akan menemukanmu."

Xavier anecdote (Translate)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang